Doksologi

Sama halnya dengan banyak pekerjaan baik yang dibiasakan, doksologi mungkin sering
dilakukan tanpa perenungan mendalam. Namun, jika kita pikirkan kembali kata-katanya,
mungkin ada hal yang kita lewatkan selama ini. Kata-kata yang kita nyanyikan biasanya
adalah sebagai berikut.

Puji Allah, Bapa, Putra
Puji Allah Rohul Kudus
Ketiganya yang Esa
Pohon S’lamat sumber berkat. Amin.

Untuk mengetahui makna aslinya, ada baiknya kita melihat kembali ke bahasa aslinya, yang
ditulis oleh Thomas Ken (1637-1711). [1]

Praise God from whom all blessings flow;
Praise him, all creatures here below;
Praise him above, ye heavenly host:
Praise Father, Son, and Holy Ghost.

Tampaknya, terjemahan bahasa Indonesia yang kita nyanyikan setiap minggu tidak
menangkap semua nuansa dari teks aslinya. Namun, dengan pujian yang padat makna seperti
ini, kehilangan makna dari satu baris pun sudah merupakan kerugian besar. Oleh karena itu,
meskipun tetap terbatas karena melalui proses terjemahan, perlu ada usaha untuk
mengembalikan makna aslinya sebisa mungkin.

Apa yang hilang? Terjemahan bahasa Indonesia sesungguhnya telah berhasil
mempertahankan Allah Tritunggal sebagai tujuan dari pujian tersebut, bahkan boleh
dikatakan penekanan terhadap Allah Tritunggal terlalu besar hingga menempati dua baris.
Versi Indonesia juga menggunakan metafora yang sangat baik, Pohon Selamat, untuk
menerjemahkan Allah sebagai sumber berkat, karena memang dari Pohon tersebut semua
kehidupan bersumber dan keselamatan datang. Namun, penggunaan dua baris untuk
menyebutkan Allah Tritunggal sebagai tujuan pujian dibayar dengan menghilangkan tujuan
ajakan pujian tersebut, yakni makhluk yang di bumi maupun di sorga. Sementara itu, ajakan
itu diungkapkan dengan tersurat di dalam doksologi di Mazmur.

Mulutku mengucapkan puji-pujian kepada TUHAN
dan biarlah segala makhluk memuji nama-Nya yang kudus untuk seterusnya dan selamanya. (Mzm. 145:21)

Segala makhluk di Mazmur ini diperinci oleh Thomas Ken menjadi “all creatures here
below
” dan “ye heavenly host”. Dengan demikian, sewaktu kita menyanyikan doksologi,
kita sedang berkomunikasi kepada tiga pihak sekaligus: Allah Tritunggal, makhluk sorgawi, dan
makhluk di bumi. Hal inilah yang hilang di dalam terjemahan Indonesianya.

Apa perbedaannya jika kehilangan kata-kata ajakan kepada makhluk-makhluk ini?
Perbedaannya nyata, bahwa doksologi seharusnya tidak hanya bersifat pribadi kita kepada
Allah Tritunggal, tetapi merupakan kesaksian kita atas segala kemuliaan-Nya kepada dunia
ini dan seisi sorga. Doksologi membuat kita rendah hati, bahwa kita masih belum terlalu
mengerti dan mengenal kemuliaan Allah, bahwa kita harus lebih berdekat kepada Allah
supaya kita dapat mengajak orang lain, binatang-binatang, dan malaikat-malaikat untuk
memuji Dia. Bagaimana caranya kita mengomunikasikan kemuliaan Allah kepada ciptaan
yang begitu beragam? Adalah tugas kita untuk mencari tahu ketika kita keluar dari sebuah
kebaktian dan kembali ke rumah kita masing-masing.

Puji Allah sumber berkat
Pujilah Dia makhluk bumi
Pujilah Dia makhluk sorga
Puji Bapa, Putra, dan Roh. Amin.

[1] https://www.christianitytoday.com/history/issues/issue-31/where-did-we-get-doxology.html