,

Entrusted

Perumpamaan talenta yang dituturkan Yesus dari Nazaret dalam Matius pasal 25 kembali menggugah pikiran saya akhir-akhir ini. Anda masih dapat mengingat kisahnya dengan baik, bukan? Saran saya, cobalah sekali lagi membacanya dengan teliti. Ceritanya memikat dan sekaligus mendorong kita untuk memikirkan ulang tidak hanya etos kerja kita selama ini tetapi juga gaya manajemen yang kita hidupi.

Alkisah pada zaman dahulu kala, seorang tuan yang kaya hendak bepergian jauh. Maka ia memanggil tiga orang hambanya yang terpercaya untuk menitipkan sebagian hartanya pada mereka agar dikelola. Tiap hamba mendapat bagian sesuai kemampuan mereka. Lalu pergilah sang tuan, tanpa diketahui berapa lama dia akan pergi dan kapan dia akan kembali.

Bagian yang paling menarik hati dalam perumpamaan di atas, bukan pada perdebatan mengenai apa yang dimaksudkan dengan talenta. Bagian yang paling menggelitik adalah gaya manajemen sang tuan saat memercayakan hartanya kepada hamba-hambanya. Tuan tersebut ‘hanya’ memberikan hartanya untuk dikelola. Tidak ada instruksi spesifik bagaimana menjalankannya. Tidak ada mandor atau CCTV yang mengawasi kerja mereka. Bahkan tidak ada tenggang waktu yang jelas. Yang ada hanya satu tujuan yang telah dijabarkan dengan lugas: Kelolalah harta sang tuan selama ia pergi sehingga menghasilkan laba yang menyukakan hatinya! Singkatnya, sang tuan memberikan sebuah tugas besar bagi tiap hambanya sesuai kemampuan mereka yang disertai kebebasan penuh dalam cara menjalankan tanggung jawab tersebut. Wow, luar biasa!

Pembaca mungkin akan makin takjub dengan perumpamaan talenta jika membandingkannya dengan hasil penelitian MIT, artikel yang ditulis di situs Harvard Business Review dan apa yang dikatakan oleh Dan Pink dari Ted yang berjudul The Surprising Truth About What Motivates Us (Anda dapat melihat video pendeknya di Youtube yang dibuat oleh RSA Animate dengan sangat menarik). Untuk detail materinya, saya sarankan Anda untuk melihatnya sendiri di situs yang bersangkutan. Tetapi inti dari pembahasan mereka adalah bahwa uang bukan menjadi motivasi utama yang menentukan performa. Ideologi stick and carrot harus ditinggalkan. Tujuan yang transenden, kebebasan berekspresi, dan tantangan untuk mengembangkan potensi diri, itulah yang membuat seorang berjuang menampilkan performa terbaiknya. Namun semua hal tadi, tetap tidak akan terjadi tanpa adanya motivasi intrinsik – gairah mencapai tujuan yang dianggap mulia yang lahir dari hati. Ujung-ujungnya masalah hati.

Kembali lagi ke perumpamaan tentang talenta. Ada satu hal yang mendasar yang membedakan gaya manajemen sang tuan empunya talenta dengan gaya manajemen yang ditawarkan para pakar modern. Masalah utamanya bukan hanya motivasi intrinsik alias hati, karena hati punya keterkaitan yang tak terpisahkan dengan sebuah aspek sosial yang paling esensial: relasi. Cobalah renungkan dengan baik Matius 25:20, 22, dan 24. Anda akan mendapatkan jawaban mengapa perumpamaan talenta memiliki kebijaksanaan yang lebih agung daripada temuan pakar manajemen modern (ini bukan berarti mengecilkan hasil pemikiran mereka tentunya).

Lalu yang terakhir yang tak kalah penting adalah bagaimana kita melihat semua hal tadi dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai hamba Kristus. Silakan merenungkannya dengan pertolongan Allah Roh Kudus… Soli Deo Gloria.

Ev. Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat
Kepala SMAK Calvin