,

Gerombolan Siberat Aja…

Kosmopolitan

“Mau hang-out ke mana nih, puanasss buangettt dehh. Kebangetan nih Jakarta, udah musim ujan gini tapi panasnya amit-amit. Frozen frappuccino yukk. Tempat biasa dongg…” Itulah yang menjadi lukisan dari sebuah pojok kota kosmopolitan di dunia ini. Di dalam iklan sebuah mal yang menjadi ikon sebuah kota besar lainnya tertulis kalimat yang kira-kira isinya seperti ini: It is not just a shopping mall, but it is a lifestyle. Mengapa sebuah kota dapat disebut kosmopolitan? Apa yang mendasari definisi kosmopolitan (cosmos + polis = cosmopolitan) itu? Sebuah kota yang bertaraf kosmos, bukan lagi pada level megapolitan ataupun metropolitan. Sebuah istilah yang berkembang di era globalisasi seiring dengan perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi. Sebuah kota yang dirasakan mampu dan berkapasitas untuk menampung segala aspek dan akulturasi budaya dari berbagai pelosok kosmos ini. Pdt. Dr. Stephen Tong sendiri juga pernah mengatakan bahwa GRII Pusat di Kemayoran menjadi cosmopolitan church yang berfungsi untuk mengisi kebutuhan seluruh kota Jakarta dan sekitarnya.

Apakah sebenarnya kota-kota kosmopolitan yang kita lihat ini sebenarnya menjadi tanda kemajuan yang mewakili suatu peradaban dan kebudayaan umat manusia? Jika demikian, apa yang menjadi perbedaan peradaban kita di abad ke-21 ini dengan berbagai peradaban lain sepanjang sejarah umat manusia, seperti peradaban Mesir misalnya? Mengapa di Mesir tidak ada shopping mall tetapi hanya ada piramida? Atau justru yang harus kita pertanyakan adalah: Bolehkah kita membandingkan shopping mall dengan piramida? Bukankah keduanya itu jelas berbeda secara mutu, kualitas, dan bidangnya? Yang satu menjadi budaya konsumsi tanpa bobot yang kuat dan yang lain benar-benar menjadi simbol kemajuan suatu puncak peradaban. Yang satu menjadi simbol ekonomi kapitalis sedangkan yang lain adalah simbol kemajuan teknologi, matematika, dan arsitektur.

Q: “Lahhh… penulis ini tanya sendiri dijawab sendiri. Gimana toh? Trus jawabannya juga self-defeating. Udah tahu ndak bisa diperbandingkan, malah sengaja diperbandingkan. Haiyaa…”

A: “Iya, justru itu sengaja ditulis untuk menunjukkan kontrasnya. Bukankah kita semua yang sering membaca buletin PILLAR sudah sering mendengar istilah mandat budaya. Seberapa dalam kita harus peka untuk membandingkan hal-hal yang penting dalam kebudayaan sepanjang sejarah, yang bernilai kekal dan tidak digeser waktu, yang harus dikejar dan digarap, untuk membawa kita kepada pengenalan akan Allah yang benar. Kita dapat melihatnya dalam beberapa artikel di edisi PILLAR mengenai Kehidupan Bergereja dan Gereja Sebagai Tubuh Kristus. Dalam edisi kali ini juga dibahas bahwa tubuh Kristus bukanlah gereja lokal atau gereja sebatas di seluruh dunia ini saja, tetapi juga mencakup sejarah Gereja yang Tuhan pimpin dari abad ke abad. ”

Q: “Oke oke. Cukup bertele-telenya. Langsung aja to the point and practical, gimana mau belajar sejarah yang segudang and seabrek-abrek itu? Ngomong kok abstrak-abstrak and nggak jelas gitu.”

A: “Yah, aku juga mana tahu. Hehe… Masih perlu belajar buanyakkk…. Belajar sama-sama yukk… Kita kembali ke kosmopolitan aja. ”

Globalisasi dan Glokalisasi

Prof. William Edgar di dalam kuliahnya mengenai “Cultural Apologetics” memaparkan fakta dan tren yang terjadi pada kota-kota kosmopolitan beberapa dekade ini yang memasuki abad ke-21. Ketika mata dan otak manusia di dunia ini pada umumnya melihat fenomena dan memikirkan tentang global world peace, global warming, global ecological crisis, global economic crisis, yang menjadi wujud konkret dari globalisasi, muncullah fenomena dan reaksi yang berlawanan dengan globalisasi, yaitu: glokalisasi.[1] Terjadi proses glokalisasi dan homogenisasi antara kota-kota besar di dunia. Mengapa Jakarta lebih mirip dengan New York daripada Jayapura? Mengapa Jakarta lebih mirip dengan Kuala Lumpur ataupun Singapura daripada Anyer dan Cirebon? Dan mengapa Singapura lebih mirip dengan Jakarta daripada Batam? Dan memang kita telah melihat bahwa biaya transportasi Singapura-Jakarta beberapa kali ditemukan lebih murah daripada Singapura-Batam karena persaingan harga, demand and supply serta opportunity pasar yang berbeda. Mengapa baik di Jakarta dan Singapura sama-sama ada McDonalds dan Starbucks, sedangkan di Jayapura hanya ada KFC dan di Surabaya belum ada Burger King?

Jadi, apakah benar bahwa proses globalisasi membawa kebudayaan mengalami akulturasi, kelimpahan, dan saling memperkaya, seperti yang menjadi foreword dari rektor salah satu universitas di Singapura bahwa universitas tersebut merupakan the melting pot of myriads of culture? Atau yang terjadi justru sebaliknya, yaitu glokalisasi budaya konsumtif, kapitalis, dan hedonis? Apakah yang terjadi justru homogenisasi budaya dengan pola survival of the fittest dari pragmatisme budaya instan utilitarianisme dan hedonisme serta emergence (yang bersifat tiba-tiba dan bersamaan) postmodernisme dengan segala kerumitannya di mana rencana kekal Allah tidak terlihat, bahkan Allah mungkin tidak bekerja lagi di zaman ini? Dan kalaupun yang terjadi adalah akulturasi dan kelimpahan kebudayaan, bukannya budaya dangkal, populer, konsumtif, dan komersial tadi, benarkah itu sudah memenuhi kualifikasi dan dapat disebut mandat budaya yang menjadi fungsi tubuh Kristus sebagai garam dan terang di dunia ini?

Sebagaimana telah dibahas dalam artikel lain di edisi PILLAR ini, tubuh Kristus tidak dapat berdiri sendiri-sendiri dalam konteks masing-masing. Justru tubuh Kristus disebut tubuh Kristus karena tubuh itu milik Sang Kepala yaitu Kristus sendiri. Itu berarti semua perbedaan disatukan oleh keserupaan kita kepada Kristus, gambar dan rupa yang memiliki kesetaraan dengan Allah yang sejati[2]. Baik budaya tinggi, aristokrat, berkelas, intelektual, ataupun budaya rendah, jelata, dangkal dan populer, kedua dapat menjadi budaya yang berdosa dan juga dapat menjadi budaya yang kudus. Ada musik klasik yang jelek dan melawan Tuhan, tetapi ada musik kontemporer yang indah untuk memuji Tuhan. Sama halnya dengan ada orang kaya yang cinta Tuhan dengan sungguh-sungguh dan ada orang miskin yang tinggi hatinya sudah tidak tertolong lagi. Jadi, semua manusia umat pilihan Tuhan yang dicipta dengan jiwa berbudaya di dalam konteks hidupnya masing-masing telah dibaptis oleh satu Roh menjadi satu tubuh Kristus dengan seluruh kaum pilihan sepanjang zaman. Bagaimana mungkin kita dapat bersekutu dengan seluruh tubuh Kristus jika kita tidak belajar pergumulan mereka di sepanjang sejarah Gereja? Mungkinkah kita dapat bertumbuh jika kita tidak mencari, mencium, dan meneliti hikmat dan kehendak Allah; jika tidak melakukan perbandingan budaya dan pergumulan dari saudara-saudari seiman dari berbagai pelosok dunia dengan potensi teknologi informasi dan komunikasi yang ada? Yang berkebudayaan tinggi meremehkan dan menghina yang barbarian baik secara sadar ataupun tidak, yang kaya tidak mengetahui pergumulan yang miskin, yang miskin kelelahan karena selalu disalah mengerti dan tidak bisa berbuat apa-apa, yang kaya tapi pernah miskin sudah lupa dan tidak menghiraukan kesusahan yang lain dan apa itu kemiskinan, yang ada di kota maju tidak tahan kalau hidup kurang nyaman sedikit saja, yang hidup dalam lingkungan keras secara sombong dan kasar menentang mereka yang hidup tenang-tenang. Rumitnya kehidupan ini. Apalagi bagi mereka yang tinggal di kota kosmopolitan dengan informasi yang hampir tidak terbatas dan dengan keterbukaan wawasan yang begitu luas. Saya percaya tuntutan tanggung jawab dari Tuhan akan lebih besar dengan adanya anugerah umum yang Tuhan berikan ini. Akankah kita menganggap kerinduan untuk bersatu dan saling mengerti di tengah-tengah semua perbedaan itu tidak realistis? Justru pasti ada poin positif yang bisa diambil dari berbagai kelebihan konteks kebudayaan yang akan membawa kita menuju kebijaksanaan yang lebih baik, tetapi lebih sulit karena membuat kita berbeda arus dengan budaya setempat kita. Mimpikah kita jika kita memiliki kerinduan untuk mengikis habis kebudayaan, kebiasaan, dan gaya hidup kita yang berdosa di hadapan Tuhan?

Gerombolan Siberat

Tidak pelak lagi, tingkat obesitas di kota-kota kosmopolitan dengan budaya kapitalis, konsumtif, hedonis adalah katalisator dan atmosfer terbaik untuk menjamurnya lemak nabati dan hewani di dalam tubuh manusiawi ini. Hal yang sangat cocok dengan nubuat di Alkitab bahwa akhir zaman akan ditandai dengan orang-orang yang makan, minum, kawin dan mengawinkan seperti pada zaman Nuh. Mereka tidak sadar akan hukuman Allah yang sudah di ambang pintu dan hampir penuh tercurah. Padahal rasul Paulus telah mengatakan bahwa Kerajaan Allah yang menjadi puncak meta-narasi (cerita) kehidupan Kristen itu bukan tentang makan dan minum. Tetapi penulis tidak bermaksud membahas terlalu jauh di wilayah fisik ini dan hendak memfokuskan pembahasan kepada pengertian budaya massa (orang banyak) yang menjadi bagian dari hasil pencitraan media, perkembangan televisi, media massa, dan dampak langsung dari era informasi ini. Di dalam kuliah “Christianity and Culture” mengenai hiperrealitas[3] dipaparkan bahwa realitas di mana kita hidup ini merupakan hiperrealitas. Apa maksudnya? Seluruh totalitas kehidupan kita ini dengan segala kerumitannya telah didefinisi, dibentuk ulang, dan dibangun oleh media dan budaya massa. Hidup kita disimulasi oleh media yang bisa bengkok, tidak jujur, dan bermuatan politis. Orang Amerika tahu bahwa teroris di Indonesia hanya sebatas kotak monitor televisi, kotak monitor komputer, surat kabar kertas yang berbentuk kotak yang menjadi jendela informasi tentang Indonesia. Sedangkan orang di desa-desa melihat kemajuan dunia ini melalui jendela beberapa inci yang disebut televisi. Ada sebuah riset yang mengatakan bahwa anak-anak yang terlalu lama menghabiskan waktunya di depan televisi dan bermain game tidak memiliki daya konsentrasi yang kuat dan tahan lama karena mereka telah membentuk kebiasaan respons yang pasif, terlepas dari potensi kreativitas, informasi, intelektual, dan pendidikan yang berkembang. Hidup kita dibentuk oleh aksi-reaksi, komunikasi, respons, pembicaraan, arus informasi, yang semuanya didasarkan pada persepsi dan pencitraan. Informasi menjadi begitu fleksibel, luwes, cair, pervasif, masif, dan tidak bisa dilumpuhkan, yang menembus setiap sendi-sendi kehidupan kita. Siapakah di antara kita yang sudah tidak lagi membaca koran, majalah, tabloid, menonton TV, radio, dan lainnya? Saat ini pun teman-teman pasti sedang membaca sebuah media, yaitu buletin pemuda GRII: PILLAR.

“[Kita] boleh menjadi seorang pilot yang setiap hari terbang menjauh dari bumi, seorang dosen yang sangat kritis, mahasiswa yang sangat radikal, pelacur, sopir taksi, seniman, rohaniwan, petani, buruh, atau apa saja, tapi [kita] tidak bisa hidup dalam ruang yang sepenuhnya bebas dari infiltrasi media dan budaya massa.”[4]

Dan lebih jauh lagi, sosiolog Jean Baudrillard mengatakan bahwa bahkan kehidupan realitas ini sudah tidak jelas lagi artinya apa, asalnya dari mana, sumbernya di mana karena kerumitan dan kompleksitas lapisan-lapisannya yang ada. Lapisan realitas mula-mula yang tadinya hanyalah merupakan simulasi dari media massa bahkan telah berkembang menjadi pensimulasi berbagai realitas baru yang tidak kunjung habis. Emergence realitas di atas banyak dan berbagai realitas lain yang juga emergence dan mungkin tidak berhubungan satu dengan yang lain. Realitas di atas realitas (hiperrealitas). Simulasi di atas simulasi (simulacra). Sehingga pengejaran arti kehidupan menuju kepada nihilisme impersonal menjadi sangat melelahkan, tak kunjung berhenti, tak memiliki batas, dengan kemungkinan keberhasilan nol karena kekompleksitasan realitas-realitas yang ada.

“Yang bisa kita lakukan hanyalah menonton aliran pelbagai citra tanpa peluang ke arah penilaian moral. Yang tersisa sekarang hanyalah gerombolan massa, mayoritas bungkam (silent majority), sebuah lubang hitam yang menyerap overproduksi energi dan informasi dari media, dan yang secara antusias melahap permainan memikat tanda-tanda yang tanpa akhir.”[5]Jean Baudrillard (dikutip dari buku Lubang Hitam Kebudayaan. Untuk lebih detail, baca catatan kaki).

Fenomena yang menuju kepada nihilisme, gerombolan massa (orang banyak) yang konsumtif (menggelembung menjadi siberat) dan menyerap overproduksi energi dan informasi dari media. Mayoritas yang diam, tidak bersumbangsih, dan membawa dunia menuju kerusakan dan kehancuran bagi generasi yang akan datang. Jika kita ingin menyebut fenomena di atas itu menggunakan istilah dan ilustrasi yang sering kita dengar walaupun tidak spesifik dan mewakili 100%, kita boleh menyebutnya sebagai orang yang mengikut arus sungai seperti ikan mati, bahkan bau busuknya pun membuat habitat sungai itu tidak layak ditinggali ikan lain di masa yang akan datang.

Jadi, bagaimanakah seharusnya kehidupan bergereja kita sebagai satu tubuh Kristus untuk mengisi abad ke-21 ini? Benarkah identitas kita adalah Gereja Tuhan yang dikuduskan oleh darah Kristus Yesus dan dipilih sejak dalam kekekalan? Bagaimana kita yang adalah Gereja Tuhan, yang dipilih sejak dalam kekekalan, mengerjakan dan mengaplikasikan fungsi kita sebagai satu Gereja (tubuh Kristus) di tengah arus globalisasi dan infiltrasi budaya kosmopolitan yang sementara ini? Jadi, apakah kita itu Gereja atau Gerombolan Siberat aja yang ngaku-ngaku sebagai Gereja dan mempermainkan dan memperlucu diri kita sendiri di dalam hiperrealitas Donal Bebek yang tidak real?

Lukas Yuan Utomo

Redaksi Bahasa PILLAR


[1]    Pembahasan mengenai proses glokalisasi (glocalization) juga muncul dalam buku Lubang Hitam Kebudayaan (karya: Hikmat Budiman, Penerbit Kanisius, hlm. 35), yang dikutip dari berbagai sumber.

[2]    Analogi tubuh Kristus yang begitu indah oleh rasul Paulus di dalam 1 Korintus 12.

[3]    Sesi mengenai Jean Baudrillard dengan teori Simulakra dan Hiperrealitas oleh Ev. Maya Sianturi

[4]    Budiman, H. Lubang Hitam Kebudayaan. (2002). Yogyakarta: Kanisius, hlm. 32.

[5]    Ibid, hlm. 30.