Dulu sewaktu remaja, saya pernah dinasihati oleh orang yang lebih tua, “Jadi orang jangan
terlalu lurus. Jangan terlalu jujur.” Nasihat tersebut tentunya bukan diberikan di dalam
konteks perdebatan tentang apakah ada ruang untuk kebohongan di dalam etika Kristen
(misalnya, apakah Rahab berdosa sudah berbohong demi menyelamatkan dua pengintai
Israel), melainkan di dalam konteks menjadi seorang pengusaha. Supaya untung, tidak ada
salahnya tipu-tipu sedikit. Demikian nasihatnya.
Kita dapat mengerti jika nasihat seperti ini keluar dari orang dunia yang lebih mementingkan
keuntungan daripada kebenaran hidup. Namun, jika itu keluar dari tulisan Pengkhotbah,
nasihatnya membuat kita bingung.
Janganlah terlalu saleh, janganlah perilakumu terlalu berhikmat;
mengapa engkau akan membinasakan dirimu sendiri? (Pkh. 7:16)
Apa maksud Pengkhotbah mengkhotbahkan ini? Apakah dia sedang menganjurkan kita untuk
mengompromikan kesucian demi selamat dari kesusahan hidup? Saking tidak masuk akalnya
nasihat ini bisa dikeluarkan oleh Pengkhotbah, ada tafsiran yang mengatakan mungkin
Pengkhotbah sedang mengutip perkataan dari orang yang tidak saleh, yang kemudian
ditanggapi oleh Pengkhotbah pada ayat 17 (“Janganlah terlalu fasik, janganlah bodoh!
Mengapa engkau mau mati sebelum waktumu?”). Meskipun tampaknya masuk akal, penafsir
tersebut tidak dapat menjelaskan mengapa ayat selanjutnya menyarankan jalan tengah.
Adalah baik kalau engkau memegang yang satu, dan juga tidak melepaskan
yang lain, karena orang yang takut akan Allah luput dari kedua-duanya. (Pkh. 7:18)
Jadi, apa sebenarnya maksud Pengkhotbah? Penjelasan para editor ESV Study Bible sangat
masuk akal. Kata saleh, yang di dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai righteousness,
di dalam PL tidak selalu berarti kebenaran-hidup. Sering kali, kata tersebut juga berarti
“benar” (tidak bersalah) di hadapan pengadilan. Dengan demikian, ketika Pengkhotbah
mengatakan di ayat 15 bahwa dia melihat “orang saleh binasa di dalam kesalehannya”, itu
dapat diartikan bahwa orang yang bersikeras membela dirinya sebagai orang benar dapat saja
kalah di pengadilan, sedangkan orang yang tampak bersalah dapat menang.
Dengan demikian, nasihat untuk tidak terlalu saleh sangat mungkin berarti saran untuk tidak
menganggap diri tidak mungkin bersalah di dalam sebuah pertikaian. Di dalam bahasa yang
lebih gamblang, kalimat ayat 16 dapat dipahami sebagai, “Janganlah merasa terlalu saleh,
janganlah berlagak sebagai orang yang saking berhikmatnya menjadi tidak mungkin salah
lagi. Sikap seperti itu akan menghancurkan dirimu sendiri.” Sebaliknya, jangan pula
menerima tuduhan-tuduhan yang tidak benar supaya tidak mati konyol. Jalan tengah adalah
yang paling bijaksana. Di satu sisi, kita perlu merendahkan hati kita, bahwa kita mungkin
salah dan tidak menyadarinya. Di sisi lain, kita tidak boleh merendahkan diri kita, sampai-
sampai kita menyetujui tuduhan-tuduhan yang tidak benar. Jika kita takut akan Allah, kita
tahu apa yang harus kita akui dan apa yang harus kita pertahankan di hadapan dunia.
Sudahkah kita lebih takut kepada Allah daripada dunia? Dialah yang lebih mengenal diri kita
daripada dunia, bahkan daripada kita mengenal diri kita sendiri. Di pengadilan Allah, kita
tidak mungkin terlalu saleh atau terlalu berhikmat. Kita akan menjadi diri kita, apa adanya.