Pernah mendengar nama di atas? Seorang jurnalis perempuan Hilde Janssen bersama sahabatnya fotografer Jan Banning, warga Belanda, baru-baru ini menggelar pameran foto mengenai para jugun ianfu Indonesia. Pameran ini mengungkapkan kembali luka lama dan trauma akibat pendudukan Jepang selama Perang Dunia Kedua. Menurut catatan Wikipedia, sejarawan Jepang Yoshiaki Yoshimi yang pertama kali melakukan studi mengenai topik ini, memperkirakan ada sekitar 50.000 sampai 200.000 ribu jugun ianfu.
Siapa mereka ini? Jugun ianfu adalah para perempuan yang dipaksa masuk bordil militer Jepang! Banyak di antara mereka yang masih berusia di bawah umur ketika direkrut secara paksa. Para jugun ianfu ini kebanyakan berasal dari Korea, Cina, Jepang, dan Filipina, tetapi jumlah mereka di Indonesia pun tidak sedikit yaitu sekitar 5.000 – 20.000 orang.
Penelitian sejarah sebagaimana tercantum dalam arahan kementerian perang Jepang tahun 1938, mencatat beberapa alasan pendirian rumah bordil militer Jepang ini. Pertama sebagai upaya yang efektif untuk mengobarkan semangat pasukan, kemudian untuk menghindari penyebaran penyakit kelamin dan pemerkosaan massal. Terakhir, hal ini membuat para tentara tidak perlu izin cuti untuk pulang kepada istri mereka. Tetapi ternyata sistem ini membuat pemerkosaan dan kekerasan seksual terjadi di mana-mana.
Awalnya pemerintah Jepang menyangkali keberadaan para jugun ianfu ini ketika pemerintah Korea Selatan melakukan litigasi. Tetapi ketika sejarawan Yoshimi menemukan dokumen-dokumen resmi dalam kementerian pertahanan Jepang tentang hal ini, perdana menteri Jepang Kiichi Miyazawa pun meminta maaf secara resmi kepada para korban di Korea Selatan. Selanjutnya Yohei Kono, Ketua Sekretaris Kabinet pemerintah Jepang mengeluarkan pernyataan pada tanggal 4 Agustus 1993 yang mengakui masalah ini, meminta maaf, dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Meskipun pernyataan tersebut merupakan sebuah permintaan maaf, pemerintah Jepang tetap menolak untuk bertanggung jawab secara hukum karena menganggapnya bukan sebagai kejahatan perang atau kejahatan yang melawan kemanusiaan.
Janssen berhasil mewawancarai 50 perempuan mantan jugun ianfu. Ia mengakui sempat dihantui mimpi buruk karena berulang kali mendengar kisah mereka. Misalnya saja Paini yang sejak berumur 13 tahun dipaksa bekerja di sebuah tangsi dekat desanya. Suatu malam ia dijemput paksa oleh serdadu Jepang, dibawa ke tangsi, dan diperkosa berulang-ulang. Begitu terus setiap malam. Begitu dalam trauma yang mereka alami sehingga kebanyakan mantan jugun ianfu ini menyembunyikan identitas mereka dan menolak untuk berbicara.
Sampai saat ini para mantan jugun ianfu masih merasa trauma dan sangat menderita akibat pengalaman buruk yang mereka alami. Belum lagi cap negatif yang kadang dilekatkan pada mereka. Mungkin yang paling mengenaskan adalah sikap pemerintah Indonesia yang menganggapnya aib (Tempo, 5 September 2010). Inikah harga yang harus dibayar oleh perempuan-perempuan tersebut untuk negeri mereka?
Cerita mengenai jugun ianfu hanyalah salah satu akibat mengerikan yang ditorehkan oleh Perang Dunia Kedua. Silakan Anda menjelajahi dunia maya untuk menemukan kasus-kasus serupa. Tetapi yang ingin saya refleksikan dari peristiwa ini adalah apa yang dikatakan oleh Janssen bahwa mereka rela berbagi kisah karena sejarah mereka ditulis sehingga bisa diingat orang. Dengan mengingat penderitaan mereka, keberadaan mereka diakui.
Kisah ini sekali lagi mengingatkan saya pada peristiwa perjamuan kudus di dalam gereja. Perjamuan kudus dilakukan sebagai sakramen untuk mengenang akan Kristus. Mengenang bagaimana Ia sudah menyerahkan tubuh-Nya untuk dipecahkan bagi kita.
Mantan jugun ianfu dipaksa untuk menyerahkan tubuh mereka. Kristus menyerahkan-Nya dengan rela. Mari kita renungkan kedua hal ini dan bertanya apa yang telah kita lakukan dengan tubuh kita…
Ev. Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat
Kepala Sekolah SMAK Calvin