Justified in Christ: God’s (not Paul’s) Plan for Us in Justification

Justification is the hinge on which the religion turns” (Calvin), “Justification is the article by which the church stands or falls” (Luther). Kedua kalimat di atas adalah dua kalimat yang sangat terkenal di kalangan orang-orang Reformed, Calvinist, dan setidaknya Lutheran. Apakah yang dimaksudkan oleh Luther dan Calvin mengenai “justification”[1] terlalu berlebihan? Justru tidak, mereka menempatkan “justification” di tempat yang sepatutnya. Mengapa demikian? Untuk mengetahui hal ini, kita perlu mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “justification”.

Justificationand Union in Christ
Bagi Calvin, justification tidak dapat dipisahkan dari satu bagian dari theologi yang menjadi perjuangan B. B. Warfield pada abad ke-20, yaitu “The Person and the Work of Christ”[2].

Kita perlu mengerti bahwa manusia pada awalnya diciptakan oleh Allah untuk menaati Allah, namun Adam memberontak kepada Allah dengan melakukan apa yang tidak diizinkan oleh Allah, yaitu memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Karena pemberontakan ini, dosa masuk ke dalam seluruh hidup manusia. Karena Allah yang suci tidak tahan melihat dosa, maka Allah mengusir Adam dan Hawa keluar dari taman Eden, sehingga terjadi permusuhan (enmity) kekal antara Allah dan manusia. Di dalam permusuhan ini, manusia yang tidak lagi suci patut menerima hukuman kekal, yaitu kematian. Namun sebelum Allah mengusir Adam dari Eden, menjanjikan bahwa akan ada yang mati menggantikan mereka “karena begitu besar kasih Allah kepada kita…” (Yoh. 3:16). Di dalam settingcosmic drama” seperti inilah kita harus mengerti Kristus. Manusia tidak mungkin dapat menghadapi murka Allah dan selamat, maka Kristus datang ke dalam dunia untuk menanggung murka Allah di atas kayu salib, sebagai persembahan yang kudus, tidak bercacat cela agar manusia dapat diperdamaikan dengan Allah.

Melalui kisah di atas, kita mengerti bahwa “justification” hanya dapat diperoleh di dalam Kristus. “Justification” bukan hal utama yang melayakkan kita untuk diterima oleh Kristus, tetapi justru “Union in Christ” menjadikan kita sebagai orang-orang yang “justified” – dibenarkan. Dengan mengerti ini, Calvin merumuskan bahwa pendosa pertama-tama di dalam “union in Christ” diperdamaikan dengan Allah dengan dua status. Ketika kita dipersatukan dalam Kristus (union in Christ)[3], kita dibenarkan (justified), dan diadopsi (adopted) menjadi anak-anak Allah. Kemudian “justification” memampukan kita untuk memulai “sanctification” dengan kuasa Roh Kudus yang mengubah hati kita yang sudah mati dengan hati yang baru. Calvin menjelaskan bahwa “justification” dan “adoption” ini tidak dapat dipisahkan, mereka merupakan dua sisi dari koin yang sama. Secara status legal, kita tadinya adalah pelanggar perintah Allah, maka kita menjadi terdakwa yang “guilty” dan pada saat yang sama, status kita sebagai anak-anak murka diubah menjadi anak-anak Allah yang hidup.

Surat Paulus adalah surat yang paling banyak berbicara tentang “justification”, “sanctification”, dan “union in Christ”. Sepanjang sejarah Gereja bahkan sejak Agustinus, pengertian demikian tentang surat Paulus sudah ada, namun setelah masa Agustinus pengertian ini diganti menjadi perbuatan baik dan semakin kita banyak berbuat baik, semakin besar kemungkinan orang tersebut masuk sorga, layak untuk masuk dalam hadirat Allah. Seluruh pemikiran ini menemukan akarnya dalam Pelagianisme. Pada abad ke-16 Luther menemukan kembali inti perkataan Paulus, yaitu bahwa Allah telah menciptakan manusia, namun manusia jatuh ke dalam dosa dan menjadi tercemar seluruh aspeknya, sehingga dianggap sebagai orang-orang berdosa. Namun di dalam kedaulatan Allah, Dia telah mengirimkan Anak-Nya untuk hidup di atas dunia ini, sepenuhnya taat kepada kehendak Bapa di sorga dan Dia rela merepresentasikan kita dalam menjalankan keseluruhan hidup yang taat kepada Allah. Kita tidak mungkin dapat menaati Allah secara sempurna karena dosa telah menodai seluruh aspek manusia. Oleh karena itu, Kristus mutlak harus datang ke dalam dunia dan “imputation of Christ’s righteousness” menjadi sesuatu hal yang mutlak ada supaya manusia dapat diperdamaikan kembali kepada Allah.

Ketika kita membuang semua ini, bukankah kekristenan menjadi sama dengan agama lainnya? “Justification” inilah yang membuat iman Kristen berbeda dengan agama lainnya. Ada theolog yang mengatakan bahwa kita percaya kepada Allah yang mengasihi manusia sedemikian besarnya, tetapi apa yang menjadi tidak masuk akal adalah kenyataan bahwa Allah yang penuh kasih ini melampiaskan kemarahan-Nya terhadap Anak-Nya sendiri, masa benar?[4] Namun kenyataannya memang begitu, Anak Allah datang untuk menanggung murka Allah kepada manusia yang memang dilampiaskan di atas kayu salib. Jikalau kita tidak berani mengakui Kristus yang di atas kayu salib karena alasan apa pun, maka kita perlu mempertanyakan iman kita terhadap Kristus. Di atas kayu salib terjadi sebuah transaksi, The Great Exchange begitu judul buku yang ditulis oleh Jerry Bridges. Dosa kita ditukarkan dengan ketaatan Kristus.

Alasan mengapa isu mengenai “justification” menjadi sangat penting dewasa ini adalah karena ada suatu theologi yang sedang berkembang belakangan ini yang dikenal sebagai “New Perspective on Paul” (yang selanjutnya akan disebut NPP) dari N. T. Wright, Bishop of Durham di Inggris. Yang pertama kali menyebutkan theologi ini dengan nama NPP bukan dia, tetapi James D. G. Dunn. NPP ini bukan juga dimulai oleh N. T. Wright, tetapi banyak pendahulunya. Penulis akan mencoba untuk memberikan gambaran tentang NPP.

Banyak yang memperdebatkan sebenarnya dari mana NPP muncul. Ada yang mengatakan bahwa Albert Schweitzer yang mendirikan “Red Cross” yang menjadi cikal bakalnya.[5] Schweitzer mengatakan bahwa Paulus merupakan seorang Yahudi, Farisi, ahli Taurat, bukan seorang Helenist, maka kita harus mengerti pemikiran Paulus dengan kerangka berpikir Yahudi, bukan Yunani, dan itu berarti orang Protestan sudah salah mengerti inti dari Injil.

Sebenarnya Schweitzer sangat tidak mendukung posisi kaum Protestan. N. T. Wright menjelaskan pada bukunya[6] bahwa yang terpenting bagi Schweitzer adalah “di dalam Kristus” bukan perdebatan yang membingungkan tentang “justification”[7] (sudah jelas dia sedang menyindir para Reformator, karena bagi Luther dan Calvin, “union in Christ” bukan yang terakhir melainkan awal dari berkat sorgawi (Ef. 1:3) yang di dalamnya termasuk “justification” dan “sanctification”).

Selanjutnya, setelah dimulainya serangan terhadap doktrin “justification” oleh Schweitzer, datanglah akhir Perang Dunia II di mana ada sebuah kejadian yang mencengangkan seluruh dunia ketika berita itu dikeluarkan, yaitu Holocaust. Pengertian tentang doktrin “justification” yang dimunculkan oleh para Reformator khususnya Luther menegaskan bahwa Yesus mengecam orang-orang Yahudi dan Farisi karena mereka mencoba untuk membuat diri mereka layak untuk diterima dengan melakukan perbuatan baik dan menaati Hukum Taurat sampai sedetail mungkin. Dengan itu, orang-orang Yahudi dan Farisi dilihat sebagai orang-orang yang munafik dan patut dikecam. Namun ketika berita tentang Holocaust ini muncul, seluruh dunia prihatin dan mencoba untuk bersimpati kepada bangsa yang disiksa secara kejam ini, sehingga pandangan para Reformator mengenai orang Yahudi yang sudah dijelaskan tadi menjadi sebuah momok di tengah-tengah perasaan simpati terhadap bangsa Yahudi ini. Bahkan ada yang menganggap bahwa pandangan semacam demikian merupakan sebuah pandangan yang sangat anti-semitic dan sangat tidak bertoleransi. Hal ini sangat disetujui oleh para kaum terpelajar, khususnya W. D. Davies yang melanjutkan pandangan dari Schweitzer.

Pada tahun 1948 Davies menerbitkan suatu buku yang berjudul Paul and Rabbinic Judaism. Dia mengatakan bahwa Saulus merupakan seorang rabi yang menemukan penggenapan janji-janji di dalam Perjanjian Lama mengenai Kristus.[8] Selanjutnya di tahun 1963 seorang theolog dari Swedia yaitu Krister Stendahl yang pada saat itu menjabat sebagai rektor Harvard Divinity School menerbitkan suatu makalah yang berjudul Paul and the Introspective Conscience of the West. Hal ini sangat aneh, karena sanggahan yang digunakan oleh penganut NPP merupakan sebuah ceramah yang ditujukan kepada para psikolog di dalam The American Psychological Society pada tahun 1961. Dampaknya tidak terlalu banyak kepada para psikolog, namun anehnya dia masuk ke dalam ranah para theolog Perjanjian Baru dalam zaman itu.[9] Stendahl berpendapat bahwa rasa bersalah yang muncul di dalam Paulus ini merupakan buatan kekristenan Barat khususnya karena kekristenan Barat sangat dipengaruhi oleh Agustinus. Stendahl yakin bahwa konsep semacam ini tidak muncul di dalam kekristenan di Timur. Apa yang Paulus alami di jalan ke Damaskus bukan suatu pertobatan, tetapi hanya suatu proses menyadari bahwa Yesus adalah Mesias. Meresponi ini, Paulus mulai percaya bahwa Yesus adalah Mesias dan kemudian mulai memproklamasikan bahwa Yesus Kristus adalah Mesias. Menurut Stendahl, Paulus tidak pernah sedikit pun berpikir bahwa relasi dia dengan Allah retak, Paulus berpikir bahwa relasi dia dengan Allah sudah benar. Lalu apa yang Paulus maksud dengan dosa? Stendahl mengatakan bahwa dosa yang Paulus paling sesali dan menurut dia paling tidak dapat dimaafkan adalah bahwa dia telah menganiaya gereja.[10]

Perubahan signifikan selanjutnya muncul ketika seorang theolog yaitu E. P. Sanders (menantu dari W. D. Davies) mengeluarkan bukunya Paul and Palestinian Judaism yang melanjutkan lebih jauh pekerjaan dari para pemikir di atas. Apa yang Sanders lakukan dalam buku ini secara garis besar banyak berhubungan dengan literatur-literatur Yahudi yang berasal dari tahun 200 BC sampai AD 200.

Di dalam bukunya, Sanders mengatakan bahwa di dalam konsep Yahudi, sebuah relasi yang benar dengan Allah dapat dicapai karena perjanjian yang Allah tentukan berdasarkan anugerah-Nya dan ketaatan berfungsi untuk memastikan bahwa orang tersebut tidak dikeluarkan dari perjanjian itu. Ketaatan adalah sebuah cara di mana orang itu dapat menjamin posisinya sebagai orang yang terpilih. Josephus ketika membaca sebuah ayat di dalam Perjanjian Lama sempat mempertanyakan kepada orang macam apa Allah memberikan anugerah-Nya. Sanders merumuskan dari pola agama yang dia dapati di dalam pembelajarannya tentang literatur-literatur Yahudi dari tahun 200 BC-AD 200, bahwa pandangan para Reformator tentang orang-orang Yahudi adalah salah, karena dia tidak melihat pola ini di dalam literatur yang dia baca. Sanders justru melihat bahwa adanya pola penerimaan anugerah daripada hasil dari usaha manusia mencoba untuk melakukan pekerjaan yang baik untuk melayakkan dirinya di hadapan Allah.

Apa yang Sanders lakukan di atas menjadi sanggahan terjadinya Revolusi Kopernikan dalam analisa Perjanjian Baru khususnya dalam pemikiran Paulus. James D. G. Dunn dan N. T. Wright mendapatkan sanggahan dari penulis-penulis sebelumnya dan mereka adalah orang yang dahulunya berlatar belakang Injili yang meyakini doktrin “justification” klasik. Namun setelah mereka berdiskusi dengan kerangka berpikir dan eksegesis yang bersandar pada literatur dari Palestinian Judaism dan Second Temple Judaism, mereka menjadi setuju bahwa apa yang sebenarnya Paulus bicarakan di dalam Roma dan Galatia bukan anti-thesis mengenai pembenaran diri, atau usaha untuk menjadikan dirinya layak diterima, namun lebih kepada keharusan/kewajiban yang perlu dilakukan. Ketika Paulus berbicara mengenai “justification” dia tidak berbicara bagaimana seseorang dapat menjadi bagian dari umat pilihan, tetapi lebih berbicara tentang bagaimana seseorang yang sudah berada di dalam komunitas itu untuk tetap berada di dalam komunitas itu.

Why does It Matter?
Tentu saja setelah melihat perkembangan dari pemikiran di atas, kita akan berpikir mengenai implikasi dari pemikiran tersebut. NPP memberikan beberapa “benefits” dalam arti Injil Kristen seolah-olah dibuat lebih menjadi bersahabat, tidak menuding orang tentang dosa dan lain halnya, tetapi apa yang sebenarnya sedang terjadi adalah (jikalau kita menerima pemikiran ini) kita harus membuang inti Injil itu sendiri karena bagaimanapun pembahasan tentang dosa sudah tidak ada, lalu separah apakah dosa itu sehingga Kristus perlu datang dan mati untuk kita sudah tidak lagi terlihat.

Pandangan mengenai apa yang Schweitzer percayai sangat berbahaya, namun tidak terlalu terlihat. Apa yang dia lakukan adalah memosisikan ecclesiology lebih tinggi dari Christology. Apa yang Wright coba lakukan adalah sebuah usaha untuk melumerkan tembok yang ada antara Protestan dan Katolik Roma. Wright secara pribadi tidak menyukai konsep “imputation of righteousness” yang sebenarnya adalah inti dari “justification”. Kita harus memegang apa yang Calvin paparkan mengenai justification sebagaimana telah dipaparkan di atas. Bagaimana seseorang dapat masuk ke dalam komunitas yang benar (Gereja) jika dia tidak terlebih dahulu dipersatukan dalam Kristus (union in Christ)?

Kita perlu berhati-hati, sejarah pernah menunjukkan bahwa ketika kita meletakkan sesuatu yang lain di atas Kristus, theologi menjadi kacau. Ingatkah Anda tentang social gospel oleh Walter Rauschenbusch? Concern dia adalah bagaimana manusia dapat dibantu, bukan bagaimana Kristus ditinggikan. Tentu saja perhatian terhadap manusia perlu ada, namun ketika kasih akan sesama lebih besar daripada kasih kepada Allah, saat itulah kita perlu berhati-hati. Kiranya hal ini dapat mengingatkan kita untuk tidak mengulangi kesalahan dalam sejarah.

Ryan Putra
Pemuda FIRES

Endnotes:
[1] Pembenaran oleh iman. Dalam artikel ini, justification tidak akan diterjemahkan semua penggunaannya.
[2] Pribadi dan Pekerjaan Kristus. Artinya pengertian tentang siapa itu Kristus dan apa yang menjadi pekerjaan-Nya.
[3] Mengenai ini, pembaca dapat melihat kembali The Institutes of Christian Religion oleh John Calvin di dalam Book III, bab 1-11.
[4] The Lost Message of Jesus, Steve Chalke.
[5] http://www.ligonier.org/learn/articles/whats-wrong-wright-examining-new-perspective-paul/
[6] N. T. Wright, What Saint Paul Really Said (Wm. B. Eerdmans Publishing), 1997.
[7] http://www.ligonier.org/learn/articles/whats-wrong-wright-examining-new-perspective-paul/
[8] Ed. K. Scott Oliphint, Justified in Christ: God’s Plan for us in Justification (Mentor Imprint) 2007. Article by Sinclair B Ferguson.
[9] Ibid, 8.
[10] Ibid, 9.