Little Good Sheep

Baru-baru ini telah diadakan sebuah pameran buku impor besar-besaran di Bumi Serpong
Damai. Buku-buku impor, yang biasanya sulit terjangkau oleh masyarakat Indonesia pada
umumnya, baik dalam hal ketersediaan maupun harga, kini dihadirkan dalam jumlah yang
spektakular (diklaim jutaan buku) dan potongan harga menggiurkan (kurang dari separuh
harga aslinya). Sesuai dengan – atau malah lebih dari – harapan penyelenggara, pameran
langsung diserbu oleh puluhan ribu pengunjung per hari, dan antrean di kasir hanya sempat
sedikit melenggang di sekitar pukul 4 hingga 6 pagi. Apakah ini berkaitan dengan minat baca
yang tinggi?

Kecocokan antara fenomena dengan esensi adalah sesuatu yang dituntut oleh Yesus Kristus.
Pada masa pelayanan-Nya, berita tentang Yesus dari Nazaret menyebar luas dengan cepat
meskipun belum ada medsos. Ribuan orang berbondong-bondong datang kepada-Nya.
Mereka suka mendengarkan ajaran-Nya dan menyaksikan perbuatan-Nya yang ajaib. Namun,
apakah fenomena ini menyenangkan hati Yesus? Faktanya, Yesus tidak percaya kepada
massa yang datang kepada-Nya karena Dia mengetahui isi hati mereka (Yoh. 2:24-25).
Menurut Yesus, banyak yang datang kepada-Nya salah satunya karena mencari makanan
gratis (Yoh. 6:26).

Jumlah massa yang biasanya langsung menyenangkan banyak pemimpin ternyata tidak begitu
saja memuaskan hati Yesus. Bahkan sebagai pengajar, Dia tidak senang jika audiens-Nya
hanya suka mendengarkan ajaran-Nya.

Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang
yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. . . . Tetapi setiap orang yang
mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh,
yang mendirikan rumahnya di atas pasir. (Mat. 7:24, 26)

Animo masyarakat pada pameran buku yang dimaksud sebenarnya adalah hal yang
menggembirakan. Namun, seorang pecinta buku adalah seseorang yang suka membaca buku,
dan sudah merasakan bagaimana buku dapat memperkaya dan memperdalam pemahaman
dan kualitas hidupnya. Jika tidak berakhir pada pembacaan buku, fenomena diskon besar-
besaran, antrean di kasir sampai subuh, dan pembelian setumpukan buku setinggi pinggang
hanya menjadi fenomena shopping, layaknya para pemburu di midnight sale pada
umumnya: kepuasannya bukan pada pemakaian barangnya, tetapi pada aktivitas belanjanya.

Ini sama halnya dengan orang yang hanya suka mendengar khotbah dan membaca buku
theologi, tetapi tidak suka melakukan firman Tuhan. Pada masa Yesus, banyak orang suka
mendengarkan khotbah Yesus, tetapi Yesus tidak mengkehendaki agar ajaran-Nya hanya
didengarkan dan dipikirkan. Memang, ajaran-Nya sangat indah untuk dipikirkan dan
direnungkan. Namun, jika pendengar hanya sebatas suka memikirkan perkataan-Nya, mereka
sama dengan orang bodoh yang membangun rumahnya di atas pasir. Mereka tidak tahan uji.
Angin dan badai akan membuktikan identitas mereka yang sesungguhnya. Sedangkan,
identitas pengikut-Nya yang sejati tidak akan dirobohkan oleh ujian. Pengikut-Nya ada orang
yang menerima ajaran-Nya bukan hanya secara epistemologis, tetapi mengalami perubahan
secara eksistensi dan praktik hidup. Bagaimanakah dengan kita selama ini?