Bagi generasi zaman sekarang, merek-merek seperti Starbucks, Disney, Sony, Nintendo, Apple, atau McDonald’s tidaklah asing di telinga. Bukan suatu hal yang aneh jika kita melihat seseorang membawa iPod, Sony’s PSP, atau Nintendo’s Gameboy di mall, bahkan barang-barang tersebut sudah merupakan suatu simbol untuk menunjukkan status sosial kita di tengah masyarakat. Sadar atau tidak, hal-hal seperti ini membentuk suatu kultur baru untuk generasi zaman sekarang.
Perusahaan-perusahaan yang mempunyai brand-brand terkenal seperti di atas bisa dikatakan adalah perusahaan-perusahaan yang making culture baru di kalangan masyarakat dunia. Kelebihan dari perusahaan-perusahaan tersebut adalah mereka bukanlah perusahaan biasa yang menjual produknya demi mendapatkan sebuah keuntungan saja (walaupun unsur profit pasti tetap ada), tetapi mereka juga menjunjung tinggi kepuasan pembeli (customer satisfaction). Mereka memperhatikan kepuasan pembeli hingga hal-hal yang sangat detil, sampai-sampai kita benar-benar merasa seperti raja ketika membeli produk mereka.
Saat duduk di Starbucks, saya sempat berpikir bagaimana caranya sebuah warung kopi di kota Seattle, Amerika, bisa menjadi sebuah warung kopi yang sangat terkenal di seluruh dunia, bahkan menulis ulang definisi ’warung kopi’. Dahulu kopi adalah minuman untuk menyegarkan pikiran yang di minum saat pagi hari, waktu istirahat di tempat bekerja, atau pada waktu begadang belajar SKS (sistem kebut semalam); kini minum kopi adalah untuk rileks, networking, atau hanya sekedar bergaya. Starbucks juga berhasil menarik orang-orang yang bukan peminum kopi regular menjadi peminum kopi regular seperti anak-anak muda yang setiap ke mall membeli paling tidak satu gelas Frappuccino. Starbucks juga memperhatikan kepuasan para pelanggannya dengan cukup detil, mereka menyediakan gula, tissue, susu, dan lain-lain secara self-service, jadi kita bisa mengambil sepuas-puasnya. Kita juga bisa duduk-duduk di sofa yang nyaman dan nongkrong berjam-jam di tempat itu tanpa takut diusir. Hal-hal yang detil ini dengan tidak kita sadari menjadi daya penarik, karena walaupun harga kopi yang sebenarnya mahal jadi terasa murah karena fasilitas yang mereka tawarkan.
Tetapi di balik semua itu tentu saja masih tersimpan suatu motivasi yang mereka pegang kuat, yaitu profit. Artinya di balik fasilitas-fasilitas tersebut, mereka sebenarnya juga mencoba menggunakan segala cara untuk mendapatkan profit sebesar-besarnya, termasuk menggunakan hal-hal yang tidak terlalu kita sadari. Misalnya di balik supply gula dan tissue yang self-service, selama kita ada di warung kopi tersebut, otak kita sedang dicuci dengan melihat warna hijau dan logo Starbucks yang terpampang ke mana pun kita melirik, juga dengan mendengar lagu jazz yang mengalun dengan rythm yang menyegarkan, bau kopi yang kencang membuat setiap kali kita mencium bau kopi mengingatkan kita kepada Frappuccino-nya Starbucks, kenyamanan duduk di sofa yang empuk, dan tentunya lidah yang sedang mencicipi kopi yang nikmat. Di dalam hal ini kelima indera kita sedang dirangsang dengan kenikmatan yang akan berbekas di otak kita bahwa Starbucks identik dengan bau kopi, sofa empuk, musik jazz, dan lain-lain sehingga setiap kali kita melewati counter Starbucks, kita tidak dapat menolak godaan untuk membeli segelas kopinya. Tanpa sadar, orang yang tadinya hanya coba-coba kemudian menjadi pelanggan tetap. Harga kopi yang mahal terasa menjadi pengeluaran yang tidak seberapa dibanding kenikmatan kopi dan semua fasilitas yang ditawarkan tersebut, padahal semua fasilitas tersebut telah dimasukkan ke dalam harga kopi mahal yang kita bayar. Tapi saat kita sudah kepingin, masa sih kita sempat berpikir secara logis?
Apa salahnya bila menawarkan barang dengan sedikit men-brainwash seseorang untuk mendapatkan profit yang banyak? Toh para customer juga menyukai dan menikmati kepuasan dari apa yang mereka beli. Apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut sebenarnya adalah menulis ulang definisi kata puas, nikmat, senang, bahagia, dan lain-lain di otak pelanggan mereka. Mereka memberikan pandangan bahwa dengan menggunakan produk mereka, kita bisa merasa bahagia, senang, atau puas. Tetapi apakah benar? Kalau memang benar, mengapa setelah mendapatkan barang-barang tersebut kita tidak lagi merasa puas? Malahan setelah beberapa saat, produk baru akan keluar dan membuat kita hanya mengejar dari produk yang satu ke produk yang lain. Kalau kita mau jujur, hal tersebut menjadikan kita seperti dibelenggu dengan sesuatu yang berputar-putar, ibarat seekor anjing yang terus-menerus mengejar ekornya sendiri.
Kemudian kalau kita pikirkan lebih dalam, sebenarnya kenapa sesuatu yang tidak terlalu dibutuhkan tiba-tiba menjadi suatu kebutuhan yang sepertinya sangat penting? Misalnya apakah benar kita perlu untuk minum kopi waktu jalan-jalan di mall? Tetapi zaman sekarang sepertinya kalau ke mall nggak beli apa-apa rasanya aneh. Ya paling nggak beli secangkir kopi Starbucks lah! Padahal pada saat kita membeli, kita tidak lapar, tidak ngantuk, tidak cape, hanya kepingin saja. Atau memang kita hanya mau bergaya saja atau kalau nongkrong di warung kopi Starbucks lebih merasa keren? Nah sikap seperti inilah yang harus kita pertanyakan. Kenapa manusia membutuhkan barang-barang untuk memuaskan dirinya? Bukankah kita diciptakan sebagai image of God yang seharusnya sudah sempurna dan diciptakan jauh lebih tinggi dari barang apapun juga? Manusia diciptakan sempurna karena manusia merupakan gambar dan rupa Allah. Kesempurnaan ini termasuk kesempurnaan hubungan pribadi dengan Penciptanya, yaitu Allah. Tetapi manusia sudah jatuh di dalam dosa, sehingga terputus hubungan dengan Penciptanya. Kesempurnaan jasmani dan rohani manusia tidak ada artinya bila manusia tidak berjalan dengan Allah. Keterpisahan hubungan dengan Sang Pencipta membuat manusia mulai mencari hal-hal lain yang ada di dalam dirinya atau di luar dirinya untuk melengkapi kesempurnaan yang dulunya pernah dicapai. Ini karena, sadar maupun tidak sadar, manusia mempunyai image kesempurnaan di dalam dirinya yang kita sebut-sebut ideal, tetapi karena keberdosaan manusia, ideal ini menjadi sekedar ide.
Untuk manusia yang berdosa, ideal ini dikejar dengan atribut-atribut yang ada di dunia ini. Produsen barang-barang bermerek sadar akan kelemahan manusia yang satu ini, sehingga mereka dengan mudah dapat menarik pembeli dengan iklan-iklan yang sesuai dengan ide ideal manusia berdosa tersebut. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya Starbucks hanyalah sebuah coffee shop, Nokia hanyalah merek sebuah telepon genggam atau alat komunikasi, Sony hanyalah merek mainan elektronik yang portable, iPod hanyalah sebuah MP3 player. Tetapi kenapa barang-barang tersebut seperti mempunyai kelas tersendiri, padahal masih banyak produsen lain yang memproduksi barang sejenis yang lebih baik. Sebagai contoh, iPod Nano hanya bisa memainkan MP3, padahal produsen lain seperti Creative telah menciptakan alat yang hampir sama besarnya, tetapi dapat dipakai untuk merekam dan untuk mendengarkan radio dengan harga lebih murah. Tetapi kenapa kalau membawa iPod rasanya lebih keren ya? Di sini jelas, iPod bukan lagi berfungsi sebagai MP3 Player, tetapi sebagai simbol status.
Dalam kekristenan, kepuasan tertinggi kita seharusnya adalah menikmati Tuhan dan kebahagiaan tertinggi adalah menyenangkan Tuhan. Jadi segala sesuatu sumbernya dan golnya adalah Tuhan, bukan di dalam diri sendiri atau barang yang kita miliki. Apa artinya? Kita boleh saja menikmati secangkir kopi yang kita beli di Starbucks, tetapi secangkir kopi tersebut seharusnya tidak membuat kita menjadi kebutuhan, atau malah membeli secangkir kopi demi gengsi. Kita boleh menikmati hal-hal yang kita sukai, tetapi janganlah hal itu membelenggu kita. Kalau kita kepingin sesuatu dan tidak dapat menahan diri untuk membelinya, sadar atau tidak kita sudah kecanduan (addicted). Karena itu, kita sebagai orang Kristen harusnya tidak terpengaruh oleh culture Hedonisme dan Materialisme yang terus menyebar pengaruhnya di dunia ini.
Walaupun demikian, tidak semua hal yang dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan seperti Starbucks adalah buruk. Mereka di dalam ‘anugerah umum’ telah menunjukkan kepada kita untuk tidak ‘hanya’ bekerja untuk mencari uang, tetapi juga membentuk sebuah kultur baru yang lebih baik (menurut mereka). Kita sebagai orang Kristen dapat belajar mengambil inisiatif (bukan mengambil motivasinya yang salah) seperti perusahaan-perusahaan tersebut, sehingga di mana pun kita berada kita bisa mempengaruhi sekitar kita dan ‘menularkan’ culture Kristen yang bersumber pada kebenaran Firman Tuhan kepada orang-orang di sekitar kita. Sungguh disayangkan bila perusahaan yang profit-oriented saja berani ambil inisiatif mengubah kultur sebuah bangsa untuk meraup profit yang besar seperti yang dilakukan beberapa perusahaan Amerika di Asia, tetapi kita orang Kristen yang jelas-jelas mengerti kebenaran tidak berani melakukannya. Walaupun hal ini mungkin sulit dilakukan karena biar bagaimana pun setan tidak akan tinggal diam, tetapi kita tidak perlu gentar, karena Tuhan telah menanamkan benih kebenaran di hati setiap orang pilihan-Nya, sehingga tidaklah sesulit yang kita duga untuk menyebarkan culture kebenaran asalkan kita mempunyai hati yang takut akan Tuhan dan berani taat melakukan kehendak-Nya bahkan dengan resiko ditolak dunia.
Sebagai orang Kristen seharusnya kita berpikir, ”Mengapa perusahaan yang tidak mementingkan kekekalan saja dapat membuat arus kultur? Seharusnya saya sebagai orang Kristen bisa melakukan yang lebih baik karena kuasa kebangkitan Kristus ada dalam hidup kita.” Karena itu marilah kita bekerja setiap hari dengan refleksi, ”Apakah saya sedang mengikuti arus atau melawan arus dengan membuat arus yang berlawanan dengan dunia?” Let’s make God-centered culture in this sinful world!
Adhya Nandana Kumara
Redaksi Pelaksana PILLAR