Melihat Allah

Kerapuhan Manusia vs. Kemurahan Allah

Di tengah-tengah wabah virus korona yang mendunia dan belum juga usai, saya mengajak
kita semua untuk merenungkan firman Tuhan lebih dalam mengenai kerapuhan manusia
(fragility of man) dan kemurahan (great glorious mercy) Allah yang agung dan
mulia. Juga, bagaimana agar kita tetap dapat melihat Allah dan respons kita untuk tetap dapat
memegang tangan Tuhan di tengah-tengah situasi seperti ini.

Di dalam 2 Raja-raja 6-7, kita melihat bagaimana Elisa yang secara aktif membantu raja
Israel untuk berperang melawan bangsa Aram. Bahkan ketika hendak ditangkap oleh tentara
Aram, Elisa berdoa dan tampaklah kuda dan kereta berapi yang menyertai dia. Bukankah
kuda dan kereta berapi juga yang membawa Elia terangkat ke sorga? Dan kalimat Elisa yang
terkenal dalam kejadian ini, “Jangan takut, yang menyertai kita lebih banyak.”

Tetapi sesudah peristiwa yang dahsyat tersebut, kota Samaria dikepung oleh bangsa Aram.
Kota Samaria mengalami isolasi sampai pasokan makanan berkurang. Di dalam peristiwa
isolasi ini, ada dua ibu-ibu yang memakan anaknya sendiri sehingga membuat raja
mengoyakkan pakaiannya. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang memilukan dan mengapa
Tuhan mengizinkan hal ini terjadi? Sesungguhnya, Tuhan mengizinkan hal ini terjadi sesudah
empat kali tujuh kali lipat hukuman Allah yang didahului dengan batuk kering, demam
(bahasa Inggris: wasting disease–sejenis penyakit paru-paru atau yang menyerang organ
dalam), dan diakhiri dengan orang tua memakan daging anaknya sendiri yang merupakan
puncak penghukuman Allah bagi umat-Nya (Im. 26). Di manakah Elisa?

Sebelum melanjutkan cerita, mari kita melihat konteks zaman sekarang, yaitu: di
tengah-tengah situasi wabah COVID-19 yang mengharuskan sebagian besar populasi dunia
melakukan isolasi dan banyak kota melakukan karantina wilayah dan/atau bahkan lockdown,
apa yang dapat kita pelajari dari cerita ini dan bagaimana respons kita?

Meskipun kita sadar bahwa kasus isolasi Israel adalah karena dikepung tentara Aram dan
yang kita hadapi adalah virus, tetapi kita sadar sebagai orang Reformed, kita harus melihat
segala sesuatu yang terjadi dari kacamata Allah dan kedaulatan-Nya, dan kita dapat
merendahkan hati untuk sama-sama belajar melihat bagaimana Tuhan bekerja melalui
peristiwa ini. 

Ketika terjadi peristiwa dua orang ibu-ibu memakan daging anaknya sendiri, raja berkata,
“Sesungguhnya malapetaka ini dari TUHAN, mengapakah aku berharap kepada TUHAN
lagi?” Raja berikhtiar untuk membunuh Elisa pada saat itu. Apa yang dapat kita pelajari dari
Elisa? Di tengah-tengah kekacauan yang ada, kita heran melihat Elisa di sini hanya duduk
sedangkan raja menjadi gusar. Tidak mudah menjadi raja, dan kita melihat bagaimana Elisa
seperti bapak bagi Israel yang juga bapak bagi raja Israel yang terus mendoakan dan
memberikan firman Tuhan kepada Israel yang sangat membutuhnya (seperti dalam peristiwa
sebelumnya Elisa selalu memberikan bimbingan nasihat dan strategi kepada raja). Tetapi di
dalam kasus ini, Elisa duduk diam dengan tua-tua, tidak gelisah. Kita harus belajar agar kita
menjadi tenang agar dapat berdoa: Jadilah tenang agar kamu dapat berdoa (1Ptr. 4:7). Selain
berdoa, Elisa berjaga-jaga ketika suruhan raja, si pembunuh itu, datang supaya ditahan dan
jangan masuk (lain sekali dengan peristiwa tentara Aram yang bisa dibutakan dengan doa, di
sini Elisa bertindak untuk bertahan). 

Sesudah itu Elisa memberikan firman bahwa Tuhan akan memberikan pertolongan-Nya
besok. Justru 4 orang kusta, yang berada di luar pintu gerbang, yang mendapatkan anugerah
dari Tuhan terlebih dahulu. Sedangkan perwira yang menjadi ajudan raja itu meremehkan
firman Tuhan dan binasa. Kita melihat, bahwa kita tidak bisa meremehkan firman Tuhan, dan
kita perlu memohon agar Tuhan memberikan kekuatan bagi kita melewati kesulitan. Menantikan
sampai waktunya Tuhan tiba, meskipun bagi kita terlihat delay, dan bahkan
ada peristiwa ibu memakan anak (yang sesungguhnya harus kita sadari bahwa itu adalah bentuk
dari keberdosaan manusia dan bangsa-bangsa, sebab tidak ada seorang pun dan satu bangsa
pun yang benar di mata Tuhan). Dan ketika waktu-Nya Tuhan tiba, Dia dapat membuat
sesuatu yang tidak pernah terpikirkan di dalam kehidupan kita. Tuhan tidak perlu sampai
membuka tingkap-tingkap langit, dan jalan keluar sudah disediakan oleh Tuhan.

Kejahatan, kesedihan, peristiwa makan anak, bahkan kerusuhan Tuhan izinkan terjadi selama
isolasi, karantina, dan lockdown di Samaria, tetapi dari sini kita belajar melihat
betapa rapuhnya manusia yang membawa kita untuk belajar bergantung kepada-Nya dan menantikan
waktu Tuhan. Pada saat titik kegelapan itu paling pekat, cahaya itu bersinar paling terang.
The darkest hour is just before the dawn. Jam-jam yang paling gelap itu adalah saat
tepat sebelum fajar menyingsing. Justru pada saat puncak penghakiman (dalam konteks Imamat
26) dinyatakan oleh Tuhan atas Samaria (dan ini pun belum puncak, karena Tuhan masih
memberikan kesempatan mereka pulih, karena puncaknya adalah saat pembuangan oleh
Asyur), pertolongan Tuhan menjadi suatu rahmat kemurahan yang begitu agung dan mulia.
Orang-orang bisa makan, harga barang normal, orang terhibur, kembali sehat, dan bersyukur
kepada Tuhan.

Sungguh, yang menyertai Israel, yang menyertai Elisa, dan yang menyertai kita semua itu
hidup dan Dia mengirimkan tentara-Nya yang banyak. Dia ingin kita berharap kepada-Nya.
Sebagaimana Tuhan mengirimkan malaikat dengan pedang terhunus ketika mendatangkan
wabah, Tuhan juga akan memberikan jalan keluar atas segala kesulitan yang ada.

Hukuman Tuhan atas bangsa terus bergantian sebab tidak ada satu pun bangsa yang benar.
Hanya Tuhan sendiri yang benar. Tetapi bagaimana kita belajar melihat cara Tuhan bekerja di
tengah-tengah ini semua? Elisa tetap tenang, berdoa, meskipun ada kerusuhan, peristiwa
makan daging anak, isolasi, lockdown. Elisa menunggu waktu Tuhan. Mari kita belajar
dari abdi Allah yang diurapi Roh Tuhan dua kali ini. Mari kita belajar menghormati hamba
Tuhan, mengerti kesulitan raja, dan bertindak dengan berhikmat selama masa-masa yang
tidak mudah ini. Amin.