Menebus Fokus

Bagaimana mungkin si paranoid Herodes tidak terkejut ketika mendengar orang-orang majus bertanya seperti ini? Hari itu, dia mungkin baru saja berpikir keras siapa korban selanjutnya yang harus dia sembelih karena mengincar kedudukannya. Mungkin dia baru saja bernostalgia, sejak puluhan tahun yang lalu, dia sudah mengerjakan tugasnya dengan baik. Dia sudah membunuh satu persatu keluarga Mariamne, istrinya sendiri, karena mereka sungguh mencurigakan. Sedih campur marah menguasai dia ketika dia ingat suatu hari Mariamne sendiri pun terlihat mencurigakan, sehingga dia terpaksa menyingkirkannya juga. Pembersihan pun dilakukan sampai beberapa tahun yang lalu. Tuduhan Aristopanes, anak sulungnya, terhadap Alexander dan Aristobulus, anak-anaknya dari Mariamne, terdengar masuk akal, sehingga mereka pun harus dibasmi.[1]

Sekarang, Herodes tentu berpikir keras, siapakah anak yang disebut-sebut oleh orang majus itu? Tetapi, siapapun itu, darahnya harus dicucurkan. Darahnya harus dibuat tumpah di atas darah para pemberontak yang belum kering. Maka Herodes membiarkan orang-orang majus itu pergi melihat anak itu untuk memastikan lokasi bersembunyinya bibit ancaman itu. Kenyataan bahwa Dia adalah Yang Diurapi itu tidak digubris Herodes, sebab Herodes adalah orang yang jika langit berperkara dengan dia, dia akan berperkara dengan langit. Maka, setelah dia dapati bahwa orang-orang majus itu telah mengingkari janji mereka (bahwa mereka akan kembali kepada Herodes), dia mengutus orang ke Betlehem untuk memusnahkan semua anak di bawah umur 2 tahun.

Namun, Yusuf sekeluarga sudah eksodus ke Mesir. Mereka lari dari kejaran Herodes, melewati padang gurun tanpa tiang awan pada siang hari dan tiang api pada malam hari. Jika mereka memilih jalan ke Selatan melewati daerah Pegunungan Sinai, mungkin terbayangkan oleh mereka bagaimana Musa turun dari sana dengan 2 loh batu di tangan, sementara muka keriputnya bercahaya. Tentu mereka akan menyadari bahwa anak yang mereka gendong secara bergantian itu jauh lebih besar daripada 2 loh batu, namun muka mereka tidak bercahaya. Bukan saja mereka tidak bercahaya, mereka sedang berada dalam teror. Bagaimana jika  para algojo Herodes menemukan mereka? Bagaimana jika di tengah jalan mereka dihadang perampok? Bagaimana jika bayi itu dirampas orang jahat? Hanya ada seorang tukang kayu dan istrinya; demikianlah Anugerah Terbesar bagi umat manusia itu digendong menyeberangi gurun pasir.

Sebenarnya, hal-hal yang tidak menyenangkan sudah terjadi ketika anak itu masih dalam kandungan. Berapa kali Maria yang hamil berjalan ke pasar melihat orang-orang di sekitarnya berbisik-bisik dan melirik ke arahnya? Bukan itu saja, karena keadaan yang demikian bisa tiba-tiba menjadi bahaya teror bagi Maria. Provokator bisa sewaktu-waktu mengerahkan massa untuk melempari dia dengan batu sampai mati. Bagaimanapun juga, Maria sudah berserah pada Tuhan ketika menerima panggilan untuk melahirkan Juruselamat ke dalam dunia ini, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38)  Inilah suasana Natal pertama dua ribu tahun yang silam.

Di dalam salah satu bab tentang Natal yang pernah saya baca ’Birth: The Visited Planet’, Philip Yancey menceritakan bagaimana gambar-gambar dan kata-kata indah dalam kartu Natal yang dia terima sudah begitu jauh dari suasana Natal yang sebenarnya. Kota-kota di New England yang terbenam salju (yang biasanya diberi sentuhan tambahan dengan kereta kuda); gambar-gambar binatang seperti rusa kutub, tupai, raccoon, burung kardinal, dan tikus abu-abu yang lucu; gambar malaikat yang kalem, berpipi dan berbadan tembem, yang pasti tidak perlu berkata, “Jangan takut!” kepada orang-orang yang melihatnya; Maria yang digambarkan begitu tenang di hadapan malaikat; keluarga Yusuf yang digambarkan sangat kontras dengan orang biasa (karena ada lingkaran cahaya seperti mahkota menghiasi kepala mereka); gambar-gambar inilah yang menjadi image Natal zaman ini.[2]

Ketika Yancey kembali melihat realita yang diceritakan di dalam Injil Matius dan Lukas, hal-hal yang terjadi ternyata begitu berbeda: Maria yang terkejut melihat malaikat; Yusuf yang ragu-ragu akan kesucian Maria; Yohanes Pembaptis dilahirkan dengan sambutan meriah sedangkan Yesus dilahirkan dengan diam-diam; bayi-bayi dibantai di Betlehem; dan kejadian lainnya yang jika dihadirkan di dalam kartu-kartu Natal akan membuat kartu-kartu tersebut bertumpukan terus di toko-toko sampai tahun baru lewat.

Dengan tidak setia pada kejadian di Alkitab, kartu Natal sudah menjadi sebuah media paling efektif untuk membelokkan pesan Natal yang sesungguhnya. Sebenarnya ada satu tema yang selalu ditekankan oleh kartu-kartu Natal yang beredar sekarang: kedamaian. Ketika kita membuka sebuah kartu Natal, kita cenderung merasakan suatu kedamaian. Tapi kedamaian yang bagaimana? Inilah yang tidak terkandung dalam pesan kartu-kartu Natal sekarang.

Alkitab menceritakan kedamaian di tengah-tengah teror dan aib sosial, Magnificat di tengah-tengah beban berat. Yang lebih penting lagi, Alkitab menceritakan sementara dunia sibuk dengan rutinitasnya dan hari kelahiran Kristus lewat seperti hari biasa, Kristus menjadi pusat perhatian seluruh sorga, fokus dari rencana kekal Allah. Manusia boleh tidak tahu kedatangan-Nya, tapi sorga merayakannya.

Sayangnya citra Natal kita sekarang sudah begitu dipengaruhi oleh kartu-kartu Natal yang menyesatkan itu. Tanpa kita sadari, pusat perhatian kita sudah diarahkan ke tempat yang salah. Begitu Natal tiba, perhatian kita disita oleh hal-hal yang sepele sementara kita melupakan sosok yang paling penting dalam kejadian Natal tersebut.

Kesalahan menempatkan pusat perhatian memang bisa berakibat fatal. Seseorang yang sedang mempersiapkan pesta ulang tahun untuk temannya bisa saja begitu tenggelam di dalam persiapannya, sehingga pesta itu menjadi pusat perhatiannya, bukan temannya yang berulang tahun. Sama halnya, tanpa hati-hati, kita mungkin saja sudah menganggap Natal lebih penting daripada Kristus. Atau bahkan Natal adalah segala-galanya sedangkan Kristus tidak perlu ada.

Dua ribu tahun yang silam, ketika orang majus menengadah ke angkasa, mereka melihat dengan jelas bintang Kristus dan datang jauh-jauh ke Betlehem untuk menyembah-Nya. Hari ini, ketika kita menengadah ke angkasa, pohon-pohon cemara yang tinggi-tinggi menghalangi pemandangan kita, dan satu-satunya celah yang masih tersisa tertutup oleh kereta Sinterklas yang sedang lalu lalang. Bintang Kristus itu kini tidak kelihatan lagi.

Fokus atau pusat perhatian pun berpindah dari segi geografis. Natal seharusnya membuat kita mengingat Betlehem, Timur Tengah. Namun tanpa pengumuman yang resmi, fokus Natal sekarang sudah dipindahkan ke Kutub Utara. Dan Polar Express, satu-satunya alat transportasi menuju ke sana, datang setiap malam Natal untuk menjemput anak-anak yang sudah dipilih.

Orang-orang Kristen sejati mempunyai tugas berat untuk membersihkan angkasa raya ini dari semua penghalang-penghalang pemandangan. Kita perlu menempatkan pohon-pohon Natal di tempat yang semestinya. Kita perlu menghalau Sinterklas yang sedang terbang seenaknya di angkasa. Ketika langit sudah bersih, bintang itu bisa terlihat jelas, dan cahayanya menarik umat manusia di seluruh bumi untuk datang mencari-Nya dan menyembah-Nya seperti orang majus dua ribu tahun yang silam.

Di waktu itu, ketika Yesus Kristus dilahirkan, tidak ada humas yang heboh mempublikasikannya. Seluruh humas yang ada, humas dari sorga justru berduyun-duyun berkumpul di satu tempat, mengelilingi beberapa gembala yang diundang untuk ikut menyaksikan kejadian yang menjadi fokus seluruh sorga: Tuhan sudah lahir menjadi manusia. Yancey memperkirakan mungkin saksi-saksi yang hadir pada waktu kelahiran Kristus lebih banyak binatang daripada manusianya. Kejadian yang menjadi fokus perhatian seluruh sorga ternyata berlangsung dengan tidak digembar-gemborkan di bumi, sehingga Yancey menuliskan dengan takjub, “How silently, how silently, the wondrous gift is given.”[3]

Anugerah paling besar itu memang diturunkan dengan begitu diam-diam. Tidak ada orang yang berteriak di pasar, tidak ada brosur yang dicetak, tidak ada papan pengumuman yang dibuat, tidak ada spanduk yang dipasang, dan yang diundang hanyalah beberapa gembala. Memang pada saat itu belum tiba waktunya. Sekarang, ketika waktunya sudah genap, ketika Sang Tokoh Utama telah menyelesaikan tugas-Nya di bumi. Marilah kita bersama dengan para ‘humas’ sorgawi berseru, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” Namun kali ini tidak terbatas pada beberapa orang gembala saja, tapi kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini (Mat 28:18-20). Inilah fokus Natal sesungguhnya, berita Injil untuk manusia berdosa, Allah lahir menjadi manusia untuk mati di atas kayu salib demi menebus Saudara dan saya. Selamat Natal!

Erwan

Pemuda GRII Pusat


[1] “The New Bible Dictionary,” Inter-Varsity Press (1988). Diterjemahkan oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF (1994) dengan judul “Ensiklopedi Alkitab Masa Kini.” Herodes

[2] Yancey, Philip. (1995). The Jesus I Never Knew. Grand Rapids: Zondervan Publishing House. Chapter 2.

[3] Idem. Hlm. 37.