Bukanlah kebetulan jika Lukas menempatkan khotbah Yesus tentang dua macam dasar setelah
pohon dan buahnya (Luk. 6). Kedua khotbah tersebut menyoroti kesatuan antara jati diri dengan
perbuatan. Namun, secara permukaan kedua khotbah tersebut tampak bertolak belakang. Pada
khotbah yang pertama, tampaknya tidak ada ruang untuk perbedaan antara buah dan pohon, atau
antara kata-kata dan perbendaharaan hati, tetapi khotbah kedua mempertanyakan seruan “Tuhan”
kepada Yesus, dengan asumsi orang yang tidak menganggap-Nya Tuhan juga dapat memanggil-Nya
demikian.
Lengkapnya, Yesus bertanya, “Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu
tidak melakukan apa yang Aku katakan?” (Luk. 6:46). Ini adalah pertanyaan yang tentunya
mengagetkan pendengar-Nya karena pertanyaan ini membuat setiap orang yang mendengarnya
memikirkan kembali seluruh hubungan mereka dengan Yesus. Ini seperti suami bertanya kepada
istrinya, “Mengapa kamu menyebut aku suamimu?” Atau ayah kepada anaknya, “Mengapa kamu
memanggil saya papa?” Panggilan “Tuhan” (kurios) menunjukkan hubungan antara hamba dan
tuan, atau umat dan Tuhan, yang hanya dapat dibuktikan dengan satu hal: menjalankan perintah.
Setelah pertanyaan kejutan tersebut, Yesus melanjutkan dengan mengatakan orang yang
mendengarkan dan menjalankan perkataan-Nya adalah seperti orang yang membangun rumah di
dasar batu yang kokoh. Pada saat rumah tersebut diterjang arus banjir, rumah itu tidak roboh.
Sementara itu, orang yang hanya mendengarkan dan tidak menjalankan perkataan-Nya bagaikan
orang yang mendirikan rumah tidak hanya di atas tanah, tetapi juga tanpa fondasi, sehingga
hebatlah kehancurannya setelah dilanda arus banjir. Perbuatan menunjukkan fondasi jati diri
kita.
Khotbah Yesus tentang buah dan pohon tidaklah bertentangan dengan khotbah-Nya tentang
rumah dan fondasi. Khotbah yang kedua adalah untuk mempertajam pesan dari khotbah yang
pertama. Buah yang sesungguhnya dari seseorang adalah ketaatannya pada perintah Tuhan yang
tercermin dari tindakannya, bukan pengakuan verbal saja.
Marilah kita renungkan kembali seluruh hubungan kita dengan Kristus. Apakah kita sudah
melakukan perintah-Nya? Tuhan tidak menghendaki agar kita menjadi pendengar khotbah yang
baik saja, tetapi lebih daripada itu, juga menjadi pelaku firman yang setia.