Kita memasuki minggu terakhir dan puncak dari sengsara Kristus. Segala pergumulan dan penderitaan Kristus yang terberat—doa peluh di Gestemani, pengadilan yang tak adil, siksaan praeksekusi, jalan salib, salib—terjadi di minggu ini. Jemaat mengingat kembali peristiwa agung itu dengan menyanyikan himne penyembahan dan penghormatan bagi Raja yang mati bagi mereka.
Himne yang baik tentunya tidak hanya menghadirkan kembali imajinasi peristiwa tersebut dengan jelas bagi jemaat, tetapi juga merefleksikan makna sejati salib dan membangkitkan anggapan perasaan yang tepat di dalam hati jemaat. Salah satu himne teragung yang pernah dituliskan berlirik demikian.
When I survey the wondrous cross
On which the Prince of glory died,
My richest gain I count but loss,
And pour contempt on all my pride.
(Memandang salib yang agung
Raja mulia mati di sana,
Kemuliaan pada diriku,
hanya kehinaan belaka.) [1]
Mengapa orang dapat merasa diri hina saat memandang salib Kristus? Bukankah salib itu hanya alat eksekusi bagi para kriminal, orang-orang yang memang layak direndahkan? Memang benar, tetapi tidak pernah terjadi dalam sejarah tanggapan penonton eksekusi seperti yang dicatat oleh Lukas ini.
Ketika kepala pasukan melihat apa yang terjadi, ia memuliakan Allah, katanya: “Sungguh, orang ini adalah orang benar!” Dan sesudah seluruh orang banyak, yang datang berkerumun di situ untuk tontonan itu, melihat apa yang terjadi itu, pulanglah mereka sambil memukul-mukul diri. (Luk. 23:47-48)
Satu-satunya alasan orang yang memandang salib Yesus dapat merasa diri hina adalah karena salib itu terlalu mulia. Alat eksekusi yang hina itu tidak sedang digunakan untuk menghukum orang berdosa, melainkan Allah yang suci yang telah menjadi manusia. Pada saat itu terjadi, segala dosa umat manusia ditimpakan kepada Dia, tetapi kemuliaan-Nya mentransformasi salib yang hina menjadi agung. Tidak ada alat eksekusi lain yang begitu ditinggikan di aristektur mana pun. Hari ini, tidak ada gedung yang memasang tiang gantung atau kursi listrik di depan atau atapnya untuk menyatakan identitas mereka. Namun, bentuk salib kini menjadi bagian dari cakrawala keindahan dalam sejarah arsitektur.
Kematian Yesus mengingatkan kembali kesejatian keilahian-Nya. Kematian orang biasa tidak dapat menghadirkan dampak dan transformasi bagi sejarah seperti kematian Yesus karena Dia adalah sumber dari segala kehidupan, kuasa, dan kebaikan dalam kelimpahan. Apa pun yang disentuh-Nya menjadi bernilai, baik, dan indah. Orang sakit yang menyentuh-Nya menjadi sembuh. Orang hina yang mengikuti-Nya dimuliakan-Nya.
Sebagai pengikut Kristus, dampak apakah yang kita tinggalkan bagi orang ataupun benda yang kita sentuh? Apakah kehancuran, kemarahan, dan perpecahan bagi kehidupan orang lain? Apakah kerusakan bagi benda-benda dan alam ciptaan Allah? Ataukah kasih dan kehidupan bagi dunia?
Memandang kembali salib Kristus, hati kita yang congkak merasa hancur dan segala kekayaan dunia kehilangan nilainya. Tidak ada manusia teragung di dunia atau benda paling bernilai di dunia yang masih dapat mempertahankan kemuliaannya setelah disandingkan di sebelah Yesus dan karya-Nya di atas kayu salib.
[1] “When I Survey the Wondrous Cross”, Isaac Watts, terjemahan Kidung Reformed Injili.