Sesudah berbulan-bulan melewati pandemi dan merenung di tempat kita masing-masing, ada
delapan artikel mengenai pandemi. Sesudah itu, pada artikel ke-9 dan seterusnya, kita
memasuki seri Ars Moriendi: seni mempersiapkan orang menghadapi kematian:
9. Mengenal Tuhan: Injil dan Kuasa Pengampunan-Nya[9]
10. Berjalan Bersama Tuhan: Melewati Pencobaan Iman[10]
11. Berjalan Bersama Tuhan: Melewati Pencobaan Keputusasaan[11]
12. Berjalan Bersama Tuhan: Melewati Pencobaan Ketidaksabaran[12]
13. Berjalan Bersama Tuhan: Melewati Pencobaan Puji-Pujian Sia-sia[13]
14. Berjalan Bersama Tuhan: Melewati Pencobaan Ketamakan[14]
15. Mengenal Tuhan: Meneladani Kristus[15]
16. Berjalan Bersama Tuhan: Kelembutan Kemanisan di dalam Kelemahan[16]
Di seri yang kesembilan sampai keenambelas, kita belajar Seri Ars Moriendi dari
tradisi Katolik sebelum Reformasi di tahun 1400-an, dan di seri ketujuhbelas ini kita akan
belajar seri Ars Moriendi dari Bapak Reformator yaitu John Calvin. Kita akan belajar
mengenai, “Mengenal Tuhan: Melihat Kasih Bapa di dalam Kedukaan” dan kita berespons dengan
Kasih Moderasi, Iman Kokoh, dan Penuh Pengharapan.
Kira-kira di dalam menghadapi kematian, apakah yang direnungkan dan dibagikan oleh John
Calvin? Dia sendiri sebagai pribadi pernah kehilangan istri dalam waktu yang tidak lama,
anak-anak, dan pada akhirnya dirinya juga sakit-sakitan. Tentu saja adalah suatu hal yang
baik apabila kita bisa belajar dari Bapak Reformator ini: John Calvin. Di dalam pemikiran
Calvin ada beberapa hal yang dapat kita pelajari mengenai kedukaan bagi yang sedang
menuju kematian dan mereka yang ditinggalkan:
1. Moderasi: Calvin mengharapkan dirinya sendiri dan mendorong orang lain untuk
menjaga prinsip moderasi (keseimbangan–tidak ekstrem) di dalam kedukaan, berdasarkan
ketegangan antara kemanusiaan kita dan ketaatan yang kita utang kepada Allah.
2. Iman dan Pengharapan: Meskipun mungkin lebih fundamental, Calvin percaya bahwa
orang Kristen haruslah mengembangkan suatu rasa percaya yang kokoh dan penuh
pengharapan di dalam maksud baik Bapa kepada anak-anak-Nya, bahkan di dalam waktu-
waktu yang paling gelap sekalipun.
Prinsip moderasi dan rasa percaya yang kokoh dan penuh pengharapan inilah yang terus
dipakai di dalam seluruh aspek kehidupan dan khususnya dalam konteks ini, pada kedukaan.
Termasuk kepada yang akan meninggal maupun bagi yang akan ditinggalkan.
Bagi Yang Ditinggalkan: Tentu saja adalah sah untuk menangisi kepergian seseorang yang
kita kasihi seperti Abraham menangisi istrinya, selama kita melakukannya di dalam
penguasaan diri dan tidak memberikan diri sepenuhnya kepada kedukaan tersebut.
Bagi Yang Akan Meninggal:
1. Yang Melewati Kesengsaraan: Keseimbangan di dalam kedukaan juga berlaku bukan
hanya kepada yang ditinggalkan tetapi kepada mereka yang akan meninggal: bagaimana
mereka yang akan meninggal haruslah belajar untuk tidak putus asa melihat pemeliharaan
Allah dan kebaikan-Nya, dan belajar mengucap syukur akan Tuhan yang memberikan
kasih dan kemanisan untuk mengurangi rasa duka kita. Biarlah kita jangan terlampau
putus asa seperti Rahel yang bahkan anaknya sendiri tidak dapat menghibur dia dan
bahkan memberikan nama anaknya sebagai gambaran keputusasaannya: Ben-Oni (anak
dari penderitaanku).
2. Yang Tidak Melewati Kesengsaraan: Calvin juga kurang menghargai seorang tua yang
masih berpegang teguh kepada hidup sekarang ini dan masih memiliki semua antusiasme
anak muda: umur panjang adalah berkat Tuhan tetapi adalah salah apabila seseorang
memiliki umur panjang tetapi masih takut kematian. Orang percaya haruslah
menggunakan hidup mereka untuk mempersiapkan kematian seperti Ishak, sehingga
dengan nurani yang baik, mereka tidak takut bertemu dengan Tuhan ketika mereka mati.
Hanya orang fasiklah yang perlu takut ketika menghadapi kematian.
3. Sikap Yesus terhadap Yang Sudah Meninggal: Demikian juga Kristus berduka melihat
kematian Lazarus. Dia berduka karena bersimpati dengan Maria dan lainnya yang
menangis, Tuhan Yesus juga berduka karena umat manusia yang terkurung di dalam
dosa. Yesus menangis bagi seluruh umat manusia, yang berada di bawah kuasa jahat.
Calvin bersikeras mengatakan bahwa Yesus merasakan kepiluan mendalam seolah-olah
saudara Dia sendiri yang meninggal. Yesus berempati. Namun terkadang kedukaan kita
itu berdosa, karena kedukaan kita itu lepas kontrol. Tetapi kedukaan Yesus tidak pernah
merampas apa yang terbaik dari diri-Nya. Perasaannya diarahkan dan diatur di dalam
ketaatan kepada Allah.
Kedukaan manusia itu berdosa ketika:
1. Impetus dan kedukaan yang tidak teratur dan membawa kita kepada keputusasaan.
2. Kita berduka kepada hal-hal yang tidak seharusnya kita berduka. Pdt. Stephen Tong
mengatakan agar kita senantiasa to feel after God’s feeling. Memiliki pengudusan emosi
atau dukacita yang kudus. Kita menangisi hal-hal kecil yang tidak berguna, atau kita
terlalu membaktikan diri kepada keberadaan di dunia ini. Kedukaan pada dirinya sendiri,
khususnya kedukaan atas kematian seseorang yang kita kasihi, tidaklah berdosa di dalam
dirinya.
Lebih jauh, di dalam menjalankan pelayanan penggembalaannya, Calvin menjalankan:
1. Menangis bersama dengan orang yang menangis (Rm. 12:15).
2. Mengenal Allah sebagai Bapa yang baik yang memiliki maksud baik bagi anak-anak-
Nya.
3. Perasaan sikap hati yang tunduk dan bersyukur haruslah mengontrol kesedihan kita
(moderasi) dan kesedihan kita haruslah tetap ada di masa-masa yang memang berduka.
Kiranya kita makin mengenal Tuhan dan melihat kasih Bapa di dalam kedukaan dan kita
dapat berespons dengan ketundukan, ucapan syukur, iman, dan pengharapan. Penulis
hanyalah seorang yang menemukan seri Ars Moriendi dan kagum terhadap isinya lalu
menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan beberapa penyesuaian.[17] Penulis hanyalah
seorang kecil yang duduk di pundak para raksasa dan melihat bagaimana mereka melewati
berbagai ujian, cobaan, dan tantangan zaman khususnya di masa pandemi.
Endnotes:
[9] http://buletinpillar.org/renungan/mengenal-tuhan-injil-dan-kuasa-pengampunan-nya-1 (Agustus 2020)
[10] http://buletinpillar.org/renungan/berjalan-bersama-tuhan-melewati-pencobaan-1 (September 2020)
[11] http://buletinpillar.org/renungan/berjalan-bersama-tuhan-melewati-pencobaan-2 (November 2020)
[12] http://buletinpillar.org/renungan/berjalan-bersama-tuhan-melewati-pencobaan-3 (Januari 2021)
[13] http://buletinpillar.org/renungan/berjalan-bersama-tuhan-melewati-pencobaan-puji-pujian-sia-sia-4 (Februari 2021)
[14] http://buletinpillar.org/renungan/berjalan-bersama-tuhan-melewati-pencobaan-ketamakan-5 (Maret 2021)
[15] http://buletinpillar.org/renungan/mengenal-tuhan-meneladani-kematian-kristus (April 2021)
[16] http://buletinpillar.org/renungan/berjalan-bersama-tuhan-kelembutan-dan-kemanisan-di-dalam-kelemahan (Mei 2021)
[17] Untuk seri Calvin ini diambil dari tulisan Prof. Herman Selderhuis yang diringkas oleh theologymatters.com.
https://theologymatters.com/suffering/death-and-grief/2018/john-calvin-on-death-and-grief/