Menyebut tahun 2020 sebagai tahun yang melelahkan adalah sebuah understatement. Bagaimana tidak? Tahun 2020 dibuka dengan hujan lebat sepanjang malam yang menyebabkan banjir besar di Jakarta. Belum selang satu bulan, dunia dikagetkan dengan gosip ancaman Perang Dunia Ketiga akibat ketegangan politik internasional. Di belahan dunia yang lain, Australia dilanda kebakaran hutan hebat yang menjadi headline di mana-mana. Saat itu, 2020 bahkan belum sampai seperempat jalan. Waktu itu, kita semua berpikir bahwa 2020 tidak mungkin menjadi lebih buruk daripada ini. Ternyata, ini baru “pemanasan”.
Memasuki bulan ketiga, World Health Organization mengumumkan wabah COVID-19 sebagai pandemi. Siapa yang menyangka bahwa di abad ke-21 sebuah virus bisa membuat seluruh dunia “berhenti” secara literal? Jumlah orang yang positif COVID-19 terus bertambah, demikian juga dengan angka kematian akibatnya. Negara-negara yang selama ini kita pandang sudah sangat maju dan canggih dibuatnya bertekuk lutut. Kepanikan ada di mana-mana. Semua orang mengunci diri di rumah—sekadar pergi ke warung dekat rumah pun rasanya sangat berbahaya. Kesulitan ekonomi dan ancaman resesi perlahan-lahan mulai menampakkan dirinya. COVID-19 telah sukses menjungkirbalikkan seluruh dunia, menimbulkan duka, ketakutan, ketegangan, dan ketidakpastian di segala tempat.
Seolah itu semua masih belum cukup, permasalahan-permasalahan lainnya terus datang silih berganti: kasus George Floyd, demo besar-besaran Black Lives Matter, kebakaran hutan di Amerika, ledakan di Beirut, dan masih banyak lagi. Kita hanya bisa duduk diam di rumah melihat berita datang silih berganti, kewalahan. Entah sampai kapan ini semua akan berlanjut.
“Semoga gak sampai Natal” adalah pemikiran yang pasti pernah terlintas di kepala kita semua. Sepanjang tahun 2020 sudah dipenuhi oleh segala jenis masalah dan berita buruk. Paling tidak, di akhir tahun, di hari yang ditunggu-tunggu, kita bisa merayakannya dengan bebas, bisa jalan-jalan, makan-makan, belanja, ngumpul-ngumpul, dan kegiatan-kegiatan menyenangkan lainnya. Kita ingin menutup tahun yang buruk dan melelahkan ini dengan perayaan yang meriah seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sayangnya, memasuki akhir tahun 2020, keadaannya tidak jauh berbeda dengan masa-masa awal pandemi. Vaksin belum ditemukan dan angka positif COVID-19 masih terus bertambah. Harapan untuk merayakan Natal “dengan semestinya” pun kandas. Batal sudah rencana makan-makan besar, belanja, dan kumpul-kumpul. Jangankan pesta Natal, Kebaktian Malam Natal di gereja ditemani dengan prosesi penyalaan lilin ramai-ramai di gereja pun rasanya terdengar mustahil. Natal di tahun 2020 tidak terdengar menarik lagi. Natal apanya? Tidak terdengar seperti Natal kalau kita hanya bisa diam di rumah, kebaktian di rumah, dan “merayakan” di rumah dengan makanan rumah. Di titik ini kita sudah burnt out.
Hal yang serupa dirasakan oleh Phillips Brooks, pengkhotbah dari Boston, Amerika Serikat. Sejak tahun 1861, Amerika dilanda Perang Saudara. Perang itu terus berlanjut selama bertahun-tahun dan merenggut banyak nyawa. Hampir semua orang memiliki kenalan yang tewas di pertempuran, tidak terkecuali jemaat Brooks. Setiap hari Minggu selalu ada wanita yang datang beribadah dengan baju hitam, menunjukkan bahwa ia sedang dalam keadaan berduka akibat tewasnya orang yang dikasihi di medan perang, entah itu ayah, suami, atau putranya. Minggu demi minggu Brooks berkhotbah, berusaha memberikan penghiburan, pengharapan, dan inspirasi di tengah kondisi yang begitu sulit. Ketika perang berakhir di pertengahan tahun 1865, Brooks sudah kelelahan baik secara fisik, spiritual, maupun mental. Di bulan Desember tahun itu, Brooks memutuskan untuk berziarah ke Yerusalem dengan harapan memperbarui semangatnya.
Pada tanggal 24 Desember, Brooks mengendarai kudanya sendirian menuju Betlehem, mengunjungi tempat-tempat yang berkaitan dengan kelahiran Kristus. Ketika matahari terbenam, ia tiba di lahan lapang tempat para gembala menerima kabar kelahiran Kristus dari para malaikat, kemudian meneruskan perjalanannya hingga ke Betlehem. Di tahun 1865, Betlehem bukanlah kota besar dan ramai seperti sekarang, melainkan sebuah desa kecil, terpencil, dan sederhana. Malam itu, Brooks mengikuti Kebaktian Malam Natal di Church of the Nativity yang terletak di tempat kelahiran Kristus. Pengalaman ziarah ini membuka mata Brooks dan ia pulang dengan semangat yang telah diperbarui. Ia membagikan pengalamannya kepada teman-temannya di Boston bagaimana di kebaktian malam itu jam demi jam dilewati dengan nyanyian pujian syukur dari jam sepuluh malam hingga tiga pagi. Brooks bercerita bahwa sampai saat ini ia masih bisa mendengar suara-suara mereka mengabarkan satu sama lain kelahiran Kristus di malam yang indah ini dengan penuh sukacita.
Pengalaman ini yang menginspirasi Brooks untuk menulis sebuah lagu Natal untuk anak-anak Sekolah Minggu gerejanya di tahun 1968. Dengan melodi yang sederhana karya organis gerejanya, Lewis Redner, Brooks menulis “O Little Town of Bethlehem”. Kontras dengan lagu-lagu Natal yang menekankan kemegahan, kemeriahan, dan keagungan kelahiran Kristus, “O Little Town of Bethlehem” menekankan kesederhanaan dan kesunyian kelahiran Kristus di tengah desa kecil yang “antah-berantah”, betapa sedikitnya orang dari dunia yang besar memberi perhatian. Di tengah-tengah desa yang kecil dan “tidak signifikan” (apalagi dibandingkan dengan Amerika Serikat, negara besar dan berkuasa tempat asal Brooks) ini, Brooks mendapatkan kekuatan dari berita Natal yang sesungguhnya: sukacita kelahiran Kristus di tengah-tengah kesederhanaan dan kesunyian yang memberikan pengharapan bagi seluruh dunia. Di tengah-tengah dunia yang gelap, Sang Terang hadir dalam kesunyian, memberikan pengharapan dan penghiburan di dalam Dia. Lagu ini ditutup dengan bait terakhir yang menjadi doa agar Kristus hadir di tengah-tengah kita, diam bersama kita.
Secara umum syair dari lagu tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian besar. Bagian pertama adalah pembentukan latar belakang di mana seolah-olah kita berada di dalam peristiwa Natal atau kelahiran Kristus tersebut, seperti yang dinarasikan oleh Alkitab. Bagian ini dapat kita lihat di dalam empat baris pertama di bait pertama. Bagian kedua merupakan analisis, refleksi, atau implikasi dari peristiwa tersebut. Hal ini terdapat di dalam sisa bait pertama, bait kedua, dan bait ketiga. Bagian terakhir adalah sebuah kesimpulan yang disampaikan di dalam bentuk doa kepada Allah yang dikaitkan dengan pergumulan personal. Hal ini dapat kita lihat di bait keempat.
Bait pertama dari lagu ini membawa imajinasi kita ke kota Betlehem di malam kelahiran Sang Juruselamat. Dengan menggunakan teknik personifikasi, syair ini membawa kita untuk melihat kota Betlehem ini seolah-olah mempunyai karakter seorang manusia. Dari empat baris pertama di bait pertama ini, kita melihat bahwa penyair menggunakan tiga karakter dalam menggambarkan peristiwa ini: keheningan, visi mengenai cahaya yang bersinar dalam kegelapan, dan peristiwa penting kelahiran Kristus yang merupakan “the hopes and fears of all the years”. Ketiga karakter ini digunakan oleh penyair untuk menekankan betapa pentingnya malam kelahiran itu, harapan yang datang di tengah keheningan. Pentingnya peritiwa kelahiran tersebut diperjelas di bait kedua yang menyatakan bahwa para malaikat menyaksikan peristiwa tersebut, dan bintang-bintang menyatakan kelahiran yang suci tersebut dan memuji Allah sambil menyatakan damai di dunia.
Bait ketiga dari lagu ini memberikan sisi rendah hati dari kelahiran tersebut. Terdapat tiga hal yang digambarkan di dalam bait ketiga ini, yang kontras dengan bait-bait sebelumnya. Pertama, latar belakang sorgawi di bait kedua dibandingkan dengan latar belakang di dunia yang berdosa ini (world of sin). Kedua, jikalau di bait kedua digambarkan kelahiran Kristus disambut dengan puji-pujian sorgawi, di bait ketiga ini digambarkan dengan kondisi yang hening (“How silently, how silently” dan “No ear may hear His coming”). Ketiga, berita kelahiran yang sebelumnya digambarkan dengan adanya sebuah pernyataan dari sorga, pada bait ketiga ini digambarkan bagaikan sebuah karunia rohani yang Allah tanamkan di dalam “human hearts” and “meek souls”.
Cara penyair membuat kontras dalam dua bait lagu ini mencerminkan betapa mulianya Kristus yang berinkarnasi. Ia lebih memilih datang ke dalam dunia yang berdosa, bahkan ke dalam hati manusia yang cemar, daripada mempertahankan kemuliaan-Nya di sorga. Ia memilih lahir di palungan yang hina daripada tempat yang mulia. Ia memilih hadir di dalam keheningan daripada kemeriahan.
Pujian ini diakhiri dengan bait keempat yang merupakan sebuah doa yang sekaligus mengandung unsur perenungan yang ditujukan kepada Sang Bayi Kudus di Betlehem. Penyair menggunakan enam ungkapan permohonan di dalam doanya ini. Tiga ungkapan yang pertama, “descend to us”, “come to us”, dan “abide with us”, adalah tiga ungkapan yang berkait dengan Kristus yang berinkarnasi, turun dari sorga ke dunia ini. Ungkapan berikutnya adalah “be born in us today” yang merupakan permohonan secara personal dan spiritual dari kelahiran Sang Bayi Kudus tersebut. Dilanjutkan dengan permohonan untuk “cast out our sin and enter in” yang mengekspresikan sebuah keinginan akan kelahiran baru atau regenerasi. Lalu permohonan ini ditutup dengan “our Lord Emmanuel”.
Permohonan dari penyair ini merupakan doa yang seharusnya dipanjatkan oleh semua orang berdosa. Dosa begitu menjerat kehidupan manusia, sehingga tidak ada satu pun yang dapat membebaskannya kecuali Allah mengintervensi langsung kehidupan mereka. Oleh karena itu, satu-satunya harapan manusia berdosa hanyalah di dalam Kristus.
Inilah yang harus menjadi perenungan kita. Kondisi tahun 2020 mungkin memaksa kita untuk mengalami Natal dengan “Silent Night” secara literal, tetapi ini membawa kita pada perenungan yang tidak pernah kita alami di perayaan Natal yang megah nan meriah di tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini, kita diberikan kesempatan untuk mengalami situasi malam Natal 2.000 tahun yang lalu: malam yang sepi, sunyi, dan tenang, tetapi dipenuhi oleh sukacita oleh karena bayi yang sedang tertidur lelap di dalam palungan itu. Bayi itu, dan bukan yang lain.
Sebagaimana bait terakhir berdoa, “O come to us, abide with us, our Lord Emmanuel,” biarlah di tengah kesulitan dan pergumulan kita senantiasa memohon dan berharap pada satu yang pasti, yakni Imanuel, Allah beserta kita.
O little town of Bethlehem,
How still we see thee lie!
Above thy deep and dreamless sleep
The silent stars go by;
Yet in thy dark streets shineth
The everlasting Light.
The hopes and fears of all the years
Are met in thee tonight.
For Christ is born of Mary
And, gathered all above
While mortals sleep, the angels keep
Their watch of wond’ring love.
O morning stars, together
Proclaim the holy birth,
And praises sing to God the King,
And peace to men on earth!
How silently, how silently
The wondrous gift is giv’n!
So God imparts to human hearts
The blessings of his heav’n.
No ear may hear his coming,
But in this world of sin,
Where meek souls will receive him, still
The dear Christ enters in.
O holy Child of Bethlehem,
Descend to us, we pray;
Cast out our sin and enter in,
Be born to us today.
We hear the Christmas angels
The great glad tidings tell;
O come to us, abide with us,
Our Lord Emmanuel!
Tirza Amadea Nugroho
Pemudi GRII Pusat