Saya pusing. Saya tidak tahu apakah Baudrillard juga akan mengalami kepusingan yang sama, atau mungkin ia akan lebih pusing lagi. Mengapa? Baudrillard melihat Disneyland sebagai sebuah simulakrum yang menyajikan hiperrealitas, sementara saat ini simulakrum sudah beranak pinak demikian canggih, sampai memproduksi “super” hiperrealitas seperti crypto, NFT, dan metaverse. Untuk membatasi pembicaraan, kita fokus pada NFT saja.
Saya sendiri kurang paham dengan istilah-istilah tersebut dan hanya baru-baru ini terpapar dengan dua istilah terakhir. Tidak ada ide sedikit pun di benak saya, hewan apakah keduanya, kecuali bahwa metaverse ada kaitannya dengan Facebook. Subjek ini diangkat di sini bukan karena saya paham, tetapi lebih karena ingin menggugah pembaca sebagai seorang Kristen untuk memperhatikan ke mana gerangan dunia ini bergerak.
Mari kita mulai dengan sedikit mengingat kembali apa sih itu simulakrum (jamaknya adalah simulakra) dan hiperrealitas. Simulakrum adalah sesuatu yang menggantikan realitas dengan representasinya, sehingga tidak memiliki rujukan atau asal muasal, menjadi sebuah hiperrealitas. Sedangkan hiperrealitas adalah sebuah kondisi yang membaurkan yang nyata dan yang maya menjadi suguhan yang merayu dan menghanyutkan. Bingung? Ya, begitulah. Tetapi paling tidak deskripsi sederhana tadi dapat membuat kita sedikit lebih memahami NFT.
NFT adalah singkatan dari non-fungible token dan tidak ada hubungannya dengan jamur, karena maksudnya ini adalah aset investasi yang tidak tergantikan yang dapat dibeli dengan mata uang crypto. Aset investasi ini beragam media, mulai dari karya seni, klip video, musik, dan sebagainya. Yang menjadi kontroversi dari NFT ini adalah nilainya yang bisa gila-gilaan. Remaja berusia 12 tahun, Benyamin Ahmed, meraup miliaran rupiah dari menjual karya seni NFT buatannya. Lebih sadis lagi, sebuah karya seni berbasis NFT yang dijual oleh rumah lelang Christie dapat mencapai 69,3 juta dolar! Fantastis, bukan? Saya bingung membacanya. Patutkah dihargai sedemikian besar?
Beberapa pertanyaan dasar muncul. Mengapa hal ini dapat terjadi? Apa yang membuat NFT meraup uang yang begitu besar? Apa yang membuat karya seni digital ini dihargai lebih dari karya seni nondigital? Apakah jauh lebih sulit membuatnya? Saya tidak tahu. Namun, teori Baudrillard tentang masyarakat konsumen yang berujung pada simulakra yang makin rumit bisa membantu menjawabnya. Singkatnya begini, dalam masyarakat konsumerisme, individu akan mengejar kebahagiaannya melalui objek-objek yang diharapkan memberi kepuasan maksimal. Ketika dunia nyata kurang dapat memberikan kepuasan, sedangkan teknologi mulai dapat menciptakan dunia virtual yang makin kompleks, hal ini tentu memberikan sensasi baru yang berbeda. Sensasi yang diharapkan dapat menyediakan kepuasan yang lebih maksimal. Ujung-ujungnya makin mengonsumsi, orang akan makin lapar, seperti orang kecanduan. Tentu saja jawaban yang lebih jauh masih harus dicari. Bagi saya, Baudrillard baru memberi sebagian jawaban saja. Jawaban yang lebih utuh mungkin dapat ditemukan pada Agustinus yang mengatakan bahwa ada satu tempat kosong bagi Sang Pencipta dalam hati manusia. Virtual tak dapat menggantikan Sang Supernatural. Manusia adalah gambar-Nya dan bukan gambar NFT, crypto, metaverse, dan teman-temannya.
Memasuki tahun yang baru ini, apa atau siapa yang dapat memuaskan kekosongan hati kita? Allah atau …? Selamat Tahun Baru 2022!
Vik. Maya Sianturi Huang
Wakil Koordinator Bidang Pendidikan Sekolah Kristen Calvin