Mari kita merenungkan salib ITU, yang tertancap di atas tanah lebih dari dua ribu tahun yang
lalu. Sejauh apakah salib itu berarti bagi kita yang hidup lebih dari dua ribu tahun kemudian?
Di salib itu dia begitu buruk rupa, tidak ada kemuliaan sedikit pun, bahkan tidak kelihatan
selayaknya sebagai seorang manusia. Dia yang kudus dinyatakan bersalah oleh standar manusia
berdosa atas tuntutan menghina Allah. Di salib itu, Dia digantung dengan tangan dan kaki
dipaku, dinaikkan ke tempat yang tinggi untuk dipertontonkan kepada semua orang. Di sebelah
kanan dan kirinya disalibkan para penjahat yang bahkan menghina-Nya pula. Dia dikira kena
tulah, dipukul, dan ditindas Allah.
Allah memang berkehendak meremukkan Dia dengan kesakitan. Dia diremukkan karena
kejahatan kita, Dia sengsara karena menanggung penyakit kita, Dia ditikam karena
pemberontakan kita, dan Dia terputus dari negeri orang-orang hidup.
Dia menyerahkan diri-Nya sebagai korban penebus salah. Dia memikul kejahatan kita, dia
menyerahkan nyawa-Nya ke dalam maut, Dia menanggung dosa banyak orang, terlebih lagi Dia
berdoa untuk para pemberontak, yaitu kita, yang sesungguhnya memberontak terhadap Allah.
Dia tidak berbuat kekerasan, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. Dia layak bertindak sebagai
imam, yaitu perantara antara Allah yang suci dengan kita, pendosa yang cemar. Dia membawa
korban yang sempurna untuk menggantikan kita menerima hukuman atas dosa kita. Oleh
ketaatan-Nya Dia memberikan pembenaran kepada banyak orang. Oleh luka-luka-Nya, kita
menjadi sembuh.
On that cross, he bore our shame and punishment and gave us his glory and blessings! Layaklah
kita melemparkan mahkota kita di hadapan takhta-Nya (Why. 4:10). How should we live then?