Rasa Keadilan

Tanpa diajari, setiap individu mempunyai kemampuan mendasar untuk merasakan ada yang
tidak benar jika prinsip keadilan dilanggar. Sebelum mendapatkan pelajaran teori-teori
keadilan, bahkan seorang anak kecil dapat membandingkan dirinya dengan saudara
kandungnya, tentang apa yang didapatkan (“Kok, dia dapat, saya tidak dapat?”), apa yang
boleh dilakukan (“Kok, dia boleh?”), dan keberatan-keberatan lainnya. Itulah rasa
keadilan yang ditanamkan oleh Sang Pencipta di dalam hati manusia untuk menuntun manusia
memperlakukan orang lain dengan adil.

Hanya saja, di dalam konteks kejatuhan manusia ke dalam dosa, kompas keadilan yang Allah
berikan di dalam hati manusia itu sendiri dapat meleset dan harus disetem kembali. Kapankah
tanda-tanda kompas kita telah tidak berfungsi dengan baik? Terutama saat kita merasa
tindakan Allah tidak adil, ketika kita berkata kepada Tuhan, “Engkau tidak adil. Mengapa ini
terjadi padaku? Bukankah seharusnya aku mendapatkan yang lebih baik daripada ini?”

Bawalah rasa keadilan kita yang telah dibuat disfungsi oleh dosa untuk membaca
perumpamaan dari Tuhan Yesus tentang orang-orang upahan di kebun anggur (Mat. 20:1-16),
jangan-jangan kita bersimpati dengan para pekerja yang bekerja dari pagi dan ingin ikut
demontrasi menuntut keadilan upah kepada pemilik kebun. Masa, pekerja yang bekerja dari
pagi-pagi benar beroleh upah yang sama dengan pekerja yang baru masuk kerja pukul lima
sore? Rasa keadilan di dalam jiwa kita berseru, “Ini tidak adil!”

Namun, pemilik anggur itu tidak melakukan kesalahan apa pun. Satu dinar sehari adalah upah
yang telah disepakati antara dia dengan para pekerja dari pagi. Kalaupun dia ingin
memberikan upah yang sama kepada para pekerja yang baru mulai bekerja pukul lima sore,
itu adalah karena kemurahan hatinya. Para pekerja yang masuk sore itu menunggu di pasar
karena tidak mendapatkan pekerjaan seharian dan tentunya mereka juga memerlukan uang
sedinar untuk menghidupi dirinya ataupun keluarganya untuk sehari. Bahkan, kalaupun si
pemilik kebun mau memberikan langsung uang sedinar kepada mereka karena belas kasihan
tanpa mengharuskan mereka bekerja selama satu jam, itu adalah sepenuhnya wewenangnya.
Maka, benarlah jawabannya kepada pekerja yang tidak puas, “Atau iri hatikah engkau, karena
aku murah hati?”

Seperti itulah Kerajaan Allah, kata Tuhan Yesus, “Demikianlah orang yang terakhir akan
menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir.” Kita yang ada di
dalam pelayanan mungkin merasa sudah dekat dengan Tuhan dan layak mendapatkan tempat
khusus di hati-Nya. Perumpamaan ini menjungkirbalikkan identifikasi diri kita. Jika kita dari
awal merasa diri sebagai yang terdahulu, kita akan dijadikan yang terakhir. Bukankah di
dalam Kerajaan Allah kita semua sama dengan penganggur yang menunggu di pasar hingga
sudah hampir malam dan meskipun begitu kita belum mendapat pekerjaan dan kita tidak tahu
kita dan seisi keluarga kita bisa makan apa malam ini? Kita semua tidak layak diundang
masuk ke dalam Kerajaan dan mengambil bagian di dalam pekerjaan-Nya. Meskipun
demikian, kita telah dilayakkan oleh pengorbanan Kristus di kayu salib.

Karena itulah, di hadapan Allah, mari kita menyetem kembali rasa keadilan kita yang telah
malfungsi di hadapan Allah. Dari perumpamaan Yesus, kita belajar bahwa hal itu baru dapat
dilakukan jika kita mengjungkirbalikkan diri kita untuk mengeluarkan rasa syukur kita karena
ketidaklayakan. Kalaupun nantinya Tuhan mengasihi dan memberkati orang yang kita
anggap bekerja kurang banyak daripada kita sama dengan Dia mengasihi dan memberkati
kita, bukankah itu semata-mata karena kelimpahan dan kemurahan hati-Nya?