Dua tahun yang lalu, tahun 2011, saya menonton sebuah mini documentary di Youtube. Isinya adalah cuplikan anak-anak muda bergaya Metal yang berada di arena konser musik Rock/Metal. Mereka diwawancara dan dengan entengnya mereka berkata bahwa mereka tidak suka segala sesuatu yang berbau agama. Yah, kita dapat membayangkan bagaimana gaya mereka menjawabnya. Namun yang membuat saya kaget adalah isi acara konser musik tersebut. Di tengah lagu-lagu keras yang dibawakan oleh beberapa kelompok band, diikuti dengan reaksi penonton yang begitu liar, dorong-mendorong, melakukan moshing/surfing (bertiduran di atas tangan-tangan banyak penonton yang mengangkat), ada selipan acara yang tidak biasa. Apakah itu? Di sana ada khotbah, kesaksian pertobatan, dan talk show. Seorang mengatakan, “The presentation changes, but the Word doesn’t change”. Para penonton dengan tenang dan dengan mata yang penuh ketakjuban, sebagian menangis, menyaksikan kesaksian seorang remaja perempuan yang bertobat dari dunia prostitusi dan menerima Tuhan. Itulah The Whosoevers Movement.
Nama ini diambil dari Yohanes 3:16, “For God so loved the world, that he gave his only begotten Son, that whosoever believeth in him should not perish, but have everlasting life.” Maka setiap orang yang percaya bisa mengatakan, “I am the whosoever”. Pertanyaannya adalah, apakah setelah pergi ke acara The Whosoevers para penonton akan kembali ke gereja? Tidak. Karena bagi mereka di sanalah gereja mereka. Mereka menolak agama, tetapi menerima Yesus. Di website mereka dituliskan “Warning, this movement is a threat to formalized religion”. Di sini kita melihat postmodernisme yang sangat berani dan menyatakan kesombongannya. Mereka membuang tradisi Kristen yang adalah pekerjaan Tuhan sendiri. Mereka menolak kekristenan, namun karena tetap ingin selamat, mereka tidak menolak Yesus, karena Yesus satu-satunya Juru Selamat. Bagi mereka dunia ini hancur karena gereja tertidur. Ada benarnya, namun respons mereka sangatlah sombong karena menolak semua aliran gereja tanpa mengenalnya terlebih dahulu. Ini adalah pola postmodernisme yang terus berulang, yaitu merelativisasi segala sesuatu dan memutlakkan diri sendiri. Dengan kata lain, semua salah kecuali saya.
Di sini saya bukan mengajak pembaca untuk main kritik atau membenci mereka yang menyeleweng, tetapi untuk merefleksikan pola-pola ketidakbenaran yang sangat-sangat relevan dalam diri kita. Dalam pengamatan yang terbatas, ada dua personil mereka yang saya tahu. Pertama adalah Brian Welch, mantan gitaris sebuah band yang memelopori aliran Nu-Metal yaitu KoRn. Karir yang sangat sukses di mana ia bersama rekannya sesama gitaris mengembangkan permainan gitar 7 senar (7-strings) dan meraih dua Grammy Awards. Setelah dua belas tahun, ia meninggalkan KoRn dan memilih Tuhan Yesus. Ini menghebohkan dunia musik metal seluruh dunia. Dalam website-nya, KoRn memberi pengumuman “parted ways with [Welch], who has chosen the Lord Jesus Christ as his savior, and will be dedicating his musical pursuits to that end”. Dalam autobiografinya yang berjudul Save Me From Myself ia menceritakan pertobatannya. Pada tahun 2004 ia sudah bercerai dan mempunyai anak perempuan berumur lima tahun yang sangat ia sayangi. Ia meninggalkan KoRn karena anak perempuannya suatu hari menyanyikan lagu KoRn yang sangat rusak berjudul A.D.I.D.A.S. (All Day I Dream About Sex). Ia tidak mau anaknya rusak, maka ia keluar dari KoRn. Padahal menjadi rock star adalah impiannya sejak kecil sehingga ini adalah keputusan yang berat baginya. Tetapi tahun ini (2013), ia kembali masuk band KoRn. Membingungkan… Kedua adalah Sonny Sandoval dari band POD (Payable On Death). Lirik lagu mereka banyak memakai ayat Alkitab namun musiknya keras. Saya pernah membaca di suatu majalah bahwa mereka mengadakan konser gratis dan salah seorang fans mengaku tidak jadi bunuh diri karena menyaksikan mereka membawakan lagu berjudul Alive. Bagus bukan? Tetapi sampai sekarang Sonny tetap mau kerja sama dengan band-band metal lain yang memang parah. Dia juga masih berani memakai T-shirt bertuliskan AC/DC (Anti-Christ/Devil Child) pada saat ia konser. Ini juga membingungkan.
The Right God, The Right Way
Hukum kedua adalah “Jangan membuat patung yang menyerupai apapun, jangan menyembahnya.” Umumnya sering disebut “Jangan menyembah berhala.” Dalam tradisi Katolik dan Lutheran, Keluaran 20:3-6 bukanlah dua hukum yang berbeda melainkan satu hukum. Tetapi tradisi Reformed dengan tajam membedakan keduanya. Hukum pertama adalah kita harus menyembah Allah yang benar, sedangkan hukum kedua memerintahkan kita untuk menyembah Allah yang benar dengan cara yang benar. Ilustrasi yang sangat jelas adalah kisah Raja Yehu. Dalam kitab 2 Raja-Raja 9:30-37, Raja Yehu mengingat perkataan Elia dan menghabisi si ratu jahat Izebel. Di dalam kitab 2 Raja-Raja 10:18-27, Raja Yehu memusnahkan seluruh penyembahan terhadap Baal. Yehu tahu mana Allah yang benar dan mana allah yang palsu. Ia menjadi pengikut Elia, mengingat perkataan Elia mengenai jangan bercabang hati. Tetapi di ayat 29, “Hanya, Yehu tidak menjauh dari dosa-dosa Yerobeam bin Nebat, yang mengakibatkan orang Israel berdosa pula, yakni dosa penyembahan anak-anak lembu emas yang di Betel dan yang di Dan.” Kita harus mengetahui bahwa anak lembu emas yang dibuat oleh orang Israel ketika Musa naik ke gunung Sinai, tidak mereka identifikasikan sebagai allah lain, tetapi sebagai YHWH. Allah tidak ingin diidentifikasikan dengan apa pun. Mengapa orang Israel memilih binatang sebagai gambaran YHWH? Karena di Mesir hampir semua dewanya berlambang binatang. Artinya, bukan tidak mungkin seseorang yang sudah percaya kepada Allah yang benar tetapi dengan mengatasnamakan Allah ia melakukan dengan cara-cara hidup yang lama.
Paulus pernah berada di Atena, kota yang paling intelektual di zamannya. Tidak ada hal lain yang mereka lakukan selain mencari ide-ide terbaru. “All the Athenians and the foreigners who lived there spent their time doing nothing but talking about and listening to the latest ideas” (Acts 17:21). Kota ini juga penuh dengan berhala. Dikatakan bahwa di sana kita lebih gampang menemukan berhala daripada manusia. Kisah Para Rasul 17 mencatat bahwa Paulus sangat sedih hatinya ketika melihat begitu banyak patung dewa di kuil-kuil. Paulus mau memberitakan Injil di sana. Kira-kira, apa dasar firman Tuhan yang Paulus pakai untuk berkhotbah? Banyak dari kita mungkin akan berpikir tentang hukum pertama, yaitu, “Jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku.” Tetapi, Paulus justru menggunakan hukum kedua, bahwa Allah tidak dapat disembah dengan cara demikian. Ia memulai khotbahnya dengan point of contact, “Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa. Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu. Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang.”
Di gereja kita sekarang, apakah memiliki berhala? Sepertinya tidak. Gereja kita tidak membuat anak lembu emas seperti orang Israel sampai Raja Yehu. Gereja kita juga tidak membuat banyak patung untuk disembah seperti kota Atena zaman dulu. Tetapi jangan berhenti di sana, karena Hukum Taurat juga bersifat spiritual, bukan hanya berbicara mengenai yang kelihatan. John Calvin berkata bahwa hati manusia adalah pabrik berhala sejak di dalam kandungan. Dunia image dan video hari ini sangat berbahaya bagi kita karena sangat menjauhkan kita dari ingatan akan firman Tuhan. Secara psikologis kita sudah dirusak dengan screen. Dua puluh tahun yang lalu hanya screen televisi yang masih cukup lama menyala di rumah dan channel masih sedikit jadi jarang mengganti channel. Sekarang ada HP dan komputer, di mana kita sering bertemu istilah New, Save, Close. Sehingga banyak hal kita lupa termasuk firman Tuhan. Karena sudah biasa dengan mulai yang baru, lalu ditutup, dan mulai yang baru lagi, dan ditutup lagi. Kondisi yang sudah alamiah dan tanpa sadar kita lakukan sehari-hari ini masih kita golongkan sebagai religious. Tanpa sadar kita membuat patung baru, atau gambaran baru tentang Allah yang sesuai dengan pikiran kita, yang bisa dikontrol: User-friendly god.
Saya percaya teknologi banyak berperan bagi penafsiran dan perkembangan theologi. Software Alkitab misalnya, mempermudah mencari bahasa asli, mengerti grammar, dan sebagainya. Namun di sana juga mengandung bahaya yang besar. Richard Gaffin mengatakan sekarang adalah zaman hyperhermeneutical. Banyak orang merasa sudah punya tools dan sanggup menafsirkan firman Tuhan sendiri. Memang benar kita sendiri harus bergumul akan firman Tuhan secara pribadi, namun tidak lepas dari gereja yang memiliki pengakuan iman dan Theologi Reformed yang sudah dibangun dan terus direformasi sesuai Alkitab. Bagi saya, gejala ini lebih berbahaya dari gejala The Whosoevers. Mereka di luar gereja yang bertheologi ortodoks, mereka lemah, dan tidak akan menjadi threat yang signifikan bagi gereja kita. Yang berbahaya adalah orang-orang di dalam organisasi gereja yang kuat dan berlabel ortodoks, namun ajarannya tidak ortodoks. Theologi kita memang tidak pernah final dan harus terus mereformasi dirinya. Namun reformasi bukan sekadar berubah, tetapi semakin sesuai Alkitab. Betapa bahayanya jika opini-opini atau tafsiran-tafsiran pribadi yang berlainan dengan tradisi mulai berkoar-koar dan memecah-belah di dalam gereja.
Kita harus berbalik, bukan membuat Allah sesuai image kita, tetapi membuat diri kita menjadi sesuai dengan image Allah. Bukan saja mengakui Dia adalah Allah yang benar, tetap menyembah Dia dengan benar. Reformasi yang benar harus sesuai Alkitab, bukan sekadar melakukan sesuatu yang kira-kira mirip dengan apa yang Alkitab ajarkan.
Orang tua saya tidak berjemaat di GRII, namun pernah ikut KKR Pdt. Dr. Stephen Tong ketika masih muda. Beliau mengatakan bahwa kebaktian yang dipimpin Pak Tong berbeda, karena Pak Tong mengajak semua jemaat untuk betul-betul menghayati apa itu ibadah. Ini adalah reformasi. KPIN adalah reformasi dalam hal kesaksian pertobatan yang biblical dan juga teladan pelayanan yang benar. Pergi dari kota ke kota, persiapan panitia yang singkat, membuat acara besar tanpa mengandalkan uang. Riwayat hidup Cornelius Van Til juga adalah reformasi, dari theolog besar sampai penginjil jalanan. Wtsbooks.com terakhir menulis profil singkat Van Til: Philosopher, theologian, street preacher, and evangelizer of nuns, Van Til turned down the peaceful pastorate in the midwest to found the apologetics department at Westminster. Banyak orang akan berpikir aneh tentang street preacher, tapi itu adalah reformasi dan Alkitabiah. Reformasi boleh terlihat aneh oleh dunia, tetapi sesuai dengan Alkitab. Kita tidak akan merasa aneh ketika melihat teman satu tim dengan kita menggunakan jersey yang sama dengan kita, melakukan tugasnya, dan melawan musuh. Kita merasa aneh ketika teman satu tim kita memakai jersey musuh kita dan melawan kita. Jersey siapakah yang sedang kita pakai?
Chias Wuysang
Pemuda FIRES
Referensi:
“The Second Commandment: The Right God, the Right Way”, oleh Philip Graham Ryken di dalam buku “Exodus: Saved for God’s Glory”, penerbit Crossway Books, 2005.
“Second Commandment—Worship”, oleh Cornelius Van Til di dalam “The Ten Commandments”, penerbit Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1970.
“Save Me from Myself: How I Found God, Quit Korn, Kicked Drugs, and Lived to Tell My Story”, oleh Brian Welch, penerbit HarperCollins Publishers, 2008.