Suasana akhir tahun dan awal tahun memberikan sebuah momen bagi kita untuk refleksi ke belakang sekaligus juga pengharapan dan komitmen ke depan.
Apa yang harus kita refleksikan ke belakang sepanjang 2017? Dunia dengan semangat narsistiknya yang sangat berpusat pada diri mengajarkan manusia untuk berbangga atas pencapaian-pencapaian diri. Orang Kristen tentunya tidak lepas dari semangat zaman ini, kita sering membalutnya dengan istilah-istilah rohani, seperti “dari Tuhan” atau “berkat Tuhan”. Tetapi intinya adalah tentang diri dan pencapaian diri.
Memang betul suatu hal yang sama bisa dilihat dari dua perspektif berbeda: saya yang mencapainya atau Tuhan yang memberikannya. Yang pertama membuat kita berbangga diri atau bahkan menghina mereka yang gagal, sedangkan yang kedua sadar semua pencapaian adalah sekadar belas kasihan Tuhan dan sambil bingung mengapa Tuhan memberikannya kepada kita dan bukan kepada orang lain. Karena itulah, satu-satunya respons yang tepat adalah dengan rendah hati mengucap syukur kepada Tuhan dan dengan rela hati menolong mereka yang belum mendapat berkat seperti yang kita alami.
Apa yang harus kita harapkan ke depan di 2018? Beberapa resolusi paling populer berdasarkan pencarian di internet adalah komitmen untuk lebih berolahraga, untuk mengurangi berat badan, untuk mempunyai hobi pribadi yang baru, dan sebagainya. Orang Kristen mungkin berkomitmen lebih rajin membaca buku, lebih terlibat dalam pelayanan, dan sebagainya. Tetapi jangan-jangan keduanya sama saja. Keduanya diatur dengan semangat “Akulah pusat dunia”.
Mari kita belajar melihat tujuan-tujuan yang ingin dicapai di 2018 bukan untuk sekadar memenuhi keinginan diri (our personal goals) tetapi komitmen yang melihat diri sebagai bagian dari Kerajaan Allah. Komitmen yang melihat apa yang harus diperjuangkan di dalam konteks waktu dan tempat yang di mana kita ditempatkan Tuhan.
Ketika kita masuk ke sebuah perusahaan. Perusahaan tersebut mempunyai sebuah visi yang ingin dicapainya yang biasanya ditulis besar-besar dengan bagus. Lalu apakah kita bebas mengganti visi tersebut? Tentu tidak! Ketika kita bergabung di sana, kita otomatis menjadi bagian dalam memperjuangkan company’s goal tersebut. Demikian juga kita di dalam Kerajaan Allah! Kita tidak bebas menentukan apa yang kita inginkan dalam 2018. Kita harus melihat diri kita sebagai bagian dari sebuah gerakan yang besar, dan kita terpanggil di dalamnya.
Apakah resolusi Tahun Baru 2018 kita sebagai seorang warga dalam Kerajaan Allah? Lebih spesifik lagi, bagaimana dengan kita yang merupakan bagian dari Gerakan Reformed Injili?