Suam-Suam Kuku

Jemaat di Laodikia menerima komentar dari Tuhan Yesus dengan salah satu istilah yang
paling melekat di benak pembaca Wahyu, yakni “suam-suam kuku” (Why. 3:16). Namun,
apakah benar makna suam-suam kuku (tidak panas dan tidak dingin) itu adalah dalam hal
semangat pelayanan, seperti yang sering ditafsirkan, termasuk saya sebelumnya?

Barangkali itulah tafsiran yang paling langsung terpikirkan oleh pembaca awam zaman
sekarang yang tidak mengetahui sejarah dan latar belakang kebudayaan lokal Laodikia. Akan
tetapi, jika dipikir-pikir, aneh juga tafsiran itu. Jika panas berarti rajin pelayanan dan cinta
menggebu-gebu kepada Tuhan, dingin berarti tidak peduli kepada Tuhan, dan suam-suam
kuku berarti kadang semangat kadang tidak, mengapa Tuhan lebih suka orang yang sama
sekali tidak punya hati pelayanan daripada orang yang melayani-Nya dengan setengah hati?
Bukankah tidak adil kalau yang dingin tidak ikut dimuntahkan? Jika yang dingin mendapat
anugerah dan belas kasihan Tuhan, mengapa yang setengah hati tidak dikasihani juga?

Sedikit penjelasan konteks sejarah dan kebudayaan dapat memperjelas makna “suam-suam
kuku”. Sama halnya, pembaca dua ribu tahun mendatang ketika polusi udara sudah makin
parah akan salah mengerti ketika membaca kalimat pesan dari tahun ini, “Jangan lupa pakai
masker kalau ke luar rumah.” Tanpa riset lebih lanjut, pembaca dari masa depan akan
mengira orang-orang tahun ini memakai masker karena polusi udara.

Pembaca saat ini perlu menyadari bahwa Laodikia adalah kota yang kaya karena letak
geografisnya. Kota tersebut banyak dilalui oleh pedagang dan menjadi pusat keuangan.
Karena itu, pada saat gempa dahsyat menghantam wilayah Laodikia dan sekitarnya,
Laodikia-lah satu-satu kota yang bisa menolak bantuan luar karena tidak kekurangan apa-apa.
Ia adalah kota yang mapan, bahkan tak terhancurkan oleh gempa dahsyat.

Namun, kelemahan kota tersebut adalah mereka tidak mempunyai sumber air sendiri
sehingga harus diimpor dari Hierapolis dan Kolose. Hierapolis mempunyai sumber air panas
yang menarik banyak wisatawan. Kolose mempunyai sumber air pegunungan yang dingin.
Karena jaraknya yang jauh dari Laodikia, air yang tiba di sana tidak lagi panas atau dingin,
jadi tidak dapat digunakan lagi untuk berendam menghangatkan badan ataupun menjadi
minuman yang menyegarkan. Air yang suam-suam kuku tersebut sudah kehilangan rasanya.

Kehilangan rasa, itulah permasalahan terbesar orang Kristen di Laodikia. Identitas mereka
sudah tak kuat terpancar. Penyebabnya adalah karena mereka merasa sudah mapan secara
ekonomi. Mereka telah mendapatkan identitas mereka dari uang mereka, bukan jalan
penderitaan Kristus, kemuliaan melalui salib, dan kebenaran firman Tuhan. Itulah tiga
“komoditas” yang Yesus tawarkan kepada mereka untuk ditukar dengan uang mereka: emas,
baju kemuliaan, dan pelumas mata yang mencelikkan (Why. 3:18).

Ketika Tuhan Yesus datang, apakah dia mendapati kita sebagai saksi yang memberikan
perasaan panas atau dingin yang jelas kepada dunia? Marilah kita membeli emas, jubah, dan
pelumas mata dari Kristus, karena itulah yang membuat pancaran rasa kita makin kuat, dan
kehadiran kita lebih terasa oleh dunia.