,

Toxic Positivity

Pernahkah Saudara, pada satu masa, berusaha memositifkan segala sesuatu? Secara khusus di era pandemi ini, banyak yang berusaha menjadikan positif segala hal yang sebelumnya dianggap buruk. Salah satu alasannya adalah hal yang negatif dapat menurunkan imunitas. Biasanya ayat yang digunakan untuk membela pendirian tersebut adalah ayat Alkitab yang mengatakan bahwa hati yang gembira adalah obat.

Menarik untuk menyimak apa yang dibahas oleh World Economic Forum mengenai toxic positivity. Memang melihat secara positif dapat meningkatkan kesejahteraan jiwa dan mengurangi stres. Namun menurut para psikolog, memositifkan segala sesuatu juga berbahaya karena dapat meracuni jiwa (toxic). Kata mereka, hal itu mengurangi rasa empati karena mengabaikan kesedihan orang lain, dan mengurangi kesempatan untuk bertumbuh melalui kesulitan yang ada. Belum lagi fakta bahwa marah, takut, dan sedih adalah emosi yang alami. Para psikolog ini kemudian menawarkan satu jalan keluar yang mereka sebut optimisme realistis. Lalu, bagaimana kita sebagai orang percaya melihat hal ini?

Alih-alih terjatuh dalam pandangan sekuler, mari kita membaca kembali Kitab Habakuk. Kitab yang pendek ini, hanya tiga pasal, dapat mengajar kita merespons keadaan yang buruk. Kitab ini dibuka dengan sebuah pergumulan yang membuat Habakuk meratapi situasinya. Berbeda dengan kitab nabi-nabi kecil lainnya, apa yang dituliskan di sini adalah pergumulan pribadi sang nabi. Bacalah baik-baik kitab ini dan jadilah tercengang, seperti apa yang dirasakan Habakuk. Mengapa? Karena keadaannya begitu buruk. Situasi yang buruk di pasal satu, diperburuk dengan apa yang terjadi di pasal dua. Bahkan dapat dikatakan, pasal tiga adalah puncak terhadap segala yang buruk, karena di bagian ini diungkapkan datangnya penghakiman Tuhan yang dahsyat itu. Lalu, bagaimanakah respons Habakuk?

Di awal pergumulannya, Habakuk nyaris diracuni oleh kenegatifan kejahatan dan kelaliman yang terjadi di sekitarnya. Ketika ia memilih untuk berani bertanya lebih jauh kepada Tuhan, pandangannya juga tidak berubah menjadi positif. Di bagian akhir pergumulannya dengan Tuhan, doanya bahkan dinaikkan menurut nada ratapan karena ia melihat pekerjaan Tuhan yang membuat gentar dan gemetar. Namun menariknya, justru di bagian ini pula Habakuk mendapatkan penghiburan dan sukacita. Bukan karena situasinya berubah, atau ia memositifkan pandangannya, tetapi lewat pergumulannya terhadap keadaan yang begitu merisaukan, Habakuk, seperti namanya, memilih merangkul Tuhan yang menawarkan pelukan-Nya! Jadi, akan seperti apa respons kita di tengah situasi pandemi yang memanjang ini?

Vik. Maya Sianturi Huang

Wakil Koordinator Bidang Pendidikan Sekolah Kristen Calvin