Nilai hidup seorang manusia ditentukan dari bagaimana ia berespons terhadap Tuhan. Bagaimanapun, kita tidak mampu menjamin respons kita akan selalu sesuai dengan kebenaran atau kehendak Tuhan. Saat kita mengamati perilaku sesama kita yang sudah putus asa, entah dalam kondisi terdesak atau di ranjang pesakitan, akan ada macam-macam respons. Dan kita kemungkinan akan melihat kontras antara sikap atau apa yang diyakini dan dijalankan selama ia hidup dengan bagaimana perilaku yang timbul waktu di kondisi genting tersebut. Ada yang selama hidup mungkin dikenal sebagai pribadi yang cukup saleh, tetapi saat sakit kritis muncul kepribadian seperti people pleaser, seeking recognition, porno, dan lain sebagainya. Salah satu contoh ketika seseorang mengalami penyakit Alzheimer. Kita bisa saja beranggapan perubahan sifat itu karena mereka sedang sakit, kerusakan otak, atau karena sudah sangat lemah, tidak lagi mempunyai kontrol diri maka menjadi seperti itu.
Tetapi Edward Welch [i] mengatakan sebaliknya: bukan karena sakit kemudian otaknya rusak maka mereka berubah, melainkan itulah sifat asli mereka yang selama ini tertutup oleh kesadaran mereka semasa mereka sehat. Kesakitan yang mereka alami tidak berdampak terhadap perubahan sikap, melainkan justru makin menyingkap apa yang sesungguhnya ada dalam hati mereka. Seseorang tidak berubah menjadi demanding, mencari perhatian, dan putus asa karena penyakit atau kesusahan yang ia alami, melainkan orang tersebut aslinya seperti itu. Seseorang bisa saja mempertahankan sifat saleh, hidup baik-baik, tetapi diam-diam dalam hatinya tidak setuju dengan pendapat semua orang, atau tidak setuju dengan kebenaran firman Tuhan. Sebuah hal yang gampang dilakukan, karena waktu sehat mempunyai kekuatan atau false contentment dari kesehatan fisik yang mereka punya, mereka punya alternatif yang menyenangkan.
Dunia mengatakan bahwa pengambilan keputusan bisa dari dua hal, yaitu secara rasional dan irasional. Rasional menggunakan logika. Inilah yang sering diagung-agungkan orang, karena terasa sangat berkualitas, pemikirannya tidak terganggu oleh suasana hati apa pun, karena rasional, logika, tidak mengandung perasaan di dalamnya. Satu lagi cara pengambilan keputusan yaitu irasional, yaitu yang tidak memakai logika, contohnya berdasarkan perasaan. Mengapa saya mengambil keputusan makan ini hari ini? Karena perasaan saya mengatakan saya harus makan ini hari ini. Kita bisa menggunakan kedua cara tersebut, tidak selalu rasional, tidak selalu irasional, situasional. Tetapi itu semua hanyalah cara-cara yang bisa secara sadar kita pakai. Saat seseorang sakit, barulah kita menyadari, semua cara pengambilan keputusan berakar pada satu hal: spiritualitas kita.
Seseorang yang hatinya tidak mengikut Tuhan, tidak mau tunduk kepada kebenaran yang sejati, akan terpancar sifat aslinya saat ia berada di titik terendah kehidupannya. Sebaliknya, jika kita betul-betul mencari Tuhan semasa kita sehat, sungguh-sungguh rendah hati mau ikut jalan Tuhan, waktu dalam keadaan tertekan pun tidak putus asa dan meninggalkan Tuhan. Keadaan sakit terasa seperti hal yang tidak bisa kita hindari, bagaimana kita memastikan iman kita tidak luntur? Yang pertama, iman kita bukan hasil usaha kita sendiri melainkan adalah karunia Roh Kudus. Yang kedua, Tuhan mengatakan siapa yang mencari akan menemukan, siapa yang mengetuk pintu akan dibukakan. Tuhan tidak bilang cari apa di ayat tersebut, tetapi di pasal-pasal berikutnya Tuhan melanjutkan dengan mengatakan: carilah dahulu kerajaan Allah serta kebenaran-Nya. Apakah kalau begitu kebaikan hanya ada bagi mereka yang mencari-Nya? Firman Tuhan mengatakan tidak demikian, siapa pun yang hidup berhak mendapatkan kebaikan Tuhan. Karena di ayat tersebut dikatakan bahwa siapa yang mencari kerajaan Allah, kepadanya segalanya akan ditambahkan, bukan diberikan. Jadi sebelum mencari pun sudah diberikan. Inilah aspek yang mengherankan dari firman Tuhan.
Kita perlu hati-hati dan observasi diri, apakah kita hanya setia saat semua keadaan baik-baik saja, dan berpaling dari Tuhan saat semua rencana kita gagal atau semua terlihat sangat buruk, yang mungkin berarti kita memang tidak beriman. Dengan kata lain, menunjuk sesuatu yang lain untuk menjadi tuhan, yang tak lain adalah diri sendiri. Menuhankan uang, jabatan, karena merasa itu bisa membantu mereka menghadapi masalah, maka self-glory adalah tujuan akhirnya. Tetapi kondisi seseorang ketika berada di titik terendah adalah tidak berdaya. Ini membuktikan manusia sama sekali tidak imun terhadap kelemahan. Tuhanlah satu-satunya yang berdaulat, manusia tidak. Sekalipun mempunyai kehendak bebas, setiap individu akan bertanggung jawab di hadapan Tuhan. Dengan seseorang dibukakan pengertiannya akan hal ini, bisa menjadi salah satu pintu, salah satu fondasi untuk ia menerima Tuhan. Kiranya Tuhan memberkati kita semua, kiranya kita selalu rendah hati untuk mendengar suara Tuhan.
2 Korintus 4:16: Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.
Bernadus Adikarsa
Pemuda GRII Pusat
[i] Welch, Edward T. 1998. Blame It on the Brain? Distinguishing Chemical Imbalances, Brain Disorders, and Disobedience. Phillipsburg: Presbyterian and Reformed Publishing.