Waktu dan Musafir

Di dalam 10 tahun belakangan, waktu berlalu dengan sangat cepat bagi mereka yang hidup di
perkotaan. Perubahan besar dan dinamika hidup yang tidak berhenti, ada di sekitar kita.
Banyak orang merasa restless dan berusaha mencari ketenangan. Pariwisata menjadi industri
yang berkembang di mana-mana ditandai dengan munculnya budget airlines dan budget
hotel
. Restoran mewah banyak menggunakan nama-nama seperti desa, kampoeng, dan
bamboo tidak seperti dulu di mana restoran menunjukkan kesan yang mewah dan modern.

Pada suatu kesempatan saya mengunjungi Pulau Belitung untuk mengajar di sekolah, saya
bertemu dengan masyarakat lokal yang menceritakan sisi lain kehidupan yang indah. Ada
rakyat kecil yang lebih memilih menggunakan kapal laut menuju Pulau Bangka selama 4 jam
dengan harga Rp 200 ribu daripada menggunakan pesawat terbang selama ½ jam dengan
harga Rp 300 ribu. Tentu saja, alasannya pasti karena lebih murah. Tetapi ada alasan yang
menarik selain karena lebih murah yaitu cara mereka menghitung harga. Mereka menganggap
naik kapal laut itu jauh lebih murah karena hanya Rp 50 ribu per jam dan naik pesawat
terbang itu menjadi Rp 600 ribu per jam. Karena mereka sangat menikmati naik kapal laut
menikmati udara dan ombak, bahkan bisa piknik di atas kapal. Mungkin bagi mereka,
perjalanan ke Pulau Bangka sudah merupakan perjalanan yang jauh, panjang, dan jarang
sehingga mereka sangat menikmati setiap momen waktu yang dilewati dan menjadi
perjalanan yang sangat berkesan, mirip dengan perjalanan musafir.

Bagaimana dengan kita dalam melihat hidup ini? Bagaimanakah perjalanan kita bersama
Tuhan? Akankah itu menjadi perjalanan yang berkesan atau hanya lewat di dalam event demi
event? Sanggupkah kita melihat keindahan rangkaiannya dalam rencana Allah atau hanya
sepotong demi sepotong sejarah hidup yang kebetulan terbentuk dalam diri kita?