,

What Defines You?

Meski tidak sepenuhnya setuju dengan spirit di baliknya, tulisan Farina Situmorang, pemilik perusahaan konsultan pemasaran, di medium.com menarik untuk disimak. Artikel ini membahas tentang lima pelajaran hidup yang direfleksikannya saat mendengar penyanyi kesukaannya, Justin Bieber. Lucu? Menurut saya, patut dihargai. Jika lagu pop Bieber bisa memberikan refleksi yang menarik, bagaimana respons kita saat mendengar lagu himne? Atau saat mendengar firman Tuhan? Apa yang melintas di benak kita?

Kesimpulan saya tentang artikel yang ditulis itu ada di poin ketiga yaitu: Don’t let other people’s opinions or thoughts control your life. Unless you want to be their puppet. Pernyataan yang lugas sekaligus menohok! Jangan biarkan orang lain mendefinisikan dirimu dan hidupmu! Ironinya, pembahasan di atas lebih terkait dengan sesuatu yang dianggap negatif. Bagaimana dengan pendapat yang positif? Jangan biarkan pendapat orang lain – bahwa kamu pintar dan cantik – memengaruhi hidupmu? Bukankah kita akan membiarkan pendapat orang lain yang kita anggap baik, ikut mendefinisikan hidup kita? Saya jadi teringat ucapan Pdt. Stephen Tong yang mengatakan untuk belajar mati terhadap pujian dan melihat kritikan sebagai “bocoran” dari penghakiman Tuhan.

Sering kali opini dan pikiran yang negatif dari orang lain harus dibuang sejauh-jauhnya, seperti pendapat tulisan di atas. Saya tidak sepenuhnya tidak setuju. Namun sekali lagi saya terusik untuk usil. Sering kali pendapat yang positif dan memuji dari orang lain (yang kerap tidak berpijak pada realitas atau lebay), dijadikan patokan menilai diri. Artinya, kita hanya mau menerima penilaian yang kita sukai saja. Jadi, bagaimana?

Manusia itu makhluk sosial. Pendapat orang lain, baik negatif atau positif, akan memengaruhi hidupnya, bahkan ada sebagian orang yang terdefinisi oleh hal itu. Di sisi lain manusia adalah makhluk moral, sehingga pendapat Tuhan, Sang Standar Moral, suka tidak suka, tidak bisa tidak akan mendefinisikan hidupnya. Sebuah patokan yang tidak mungkin diabaikan apalagi ditentang. Anehnya, manusia lebih terusik oleh opini manusia daripada Tuhan. Tapi kemudian mengaku tidak ingin dipengaruhi oleh apa kata orang. Bingung, kan?

Lalu bagaimana? Alih-alih menjadi bingung, lebih baik kita merenungkan perkataan Paulus dalam 2 Korintus 5:9 yaitu “Sebab itu juga kami berusaha, baik kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan kepada-Nya.” Sebagai makhluk ciptaan, kita tidak bisa menghindar dari penilaian dan memerlukan persetujuan. Masalahnya penilaian siapa yang mendefinsikan hidup Anda? Lalu persetujuan siapa yang Anda rindukan?

Ev. Maya Sianturi Huang
Kepala SMAK Calvin