Kisah pertemuan Yesus dan Herodes Antipas menunjukkan ironi terbesar (Luk. 23:8-12).
Herodes merasa berkuasa di hadapan Yesus, padahal gelar “raja wilayah” (tetrarch)
yang disandangnya boleh dikatakan “raja ecek-ecek” karena merupakan pemberian dan di
bawah kendali Kaisar Romawi. Di sisi lain, Yesus yang adalah Raja di atas segala raja
tidak memamerkan kekuasaan-Nya di hadapan manusia. Bagaimana identitas orang Kristen
dapat dibangun melalui kisah yang ironis ini?
Sebelum pertemuan itu, Lukas sudah mencatat bagaimana Herodes mengikuti perjalanan
pelayanan Yesus. Herodes pertama-tama merasa tidak aman dengan kehadiran Yesus karena
mengira Yesus adalah Yohanes Pembaptis yang bangkit kembali (9:7). Di satu sisi, dia ingin
bertemu untuk melihat tanda-tanda yang dibuat-Nya (9:9). Di sisi lain, Herodes juga ingin
membunuh Yesus, mungkin karena dia melihat-Nya sebagai ancaman (13:31).
Meskipun Herodes “mengikuti” perjalanan Yesus ke mana-mana, dia jauh dari definisi
pengikut Kristus. Dia lebih tepat dikatakan sebagai seorang yang mengikuti berita perjalanan
rombongan sirkus dan tertarik untuk menonton. Pada pasal 23, Yesus dilihatnya sebagai
macan sirkus yang sedang “tidak berdaya” dan Herodes merasa punya waktu untuk bermain-
main dengan Yesus. Karena itu, “ketika Herodes melihat Yesus, ia sangat girang. Sebab
sudah lama ia ingin melihat-Nya, karena ia sering mendengar tentang Dia, lagi pula ia
mengharapkan melihat bagaimana Yesus mengadakan suatu tanda” (23:8). Namun, dia cepat
menjadi bosan karena Yesus tidak melakukan apa-apa, sehingga disuruhlah anak buahnya
mempermainkan-Nya sebagai hiburan.
Dari adegan ini, tampaklah bagi kita siapa yang sebenarnya mulia dan siapa yang hina.
Penistaan Herodes terhadap Yesus tidak mengurangi sedikit pun kemuliaan-Nya. Malahan,
dengan kelakuan hinanya, Herodes telah membuat kontras antara dia dan Yesus makin jelas.
Dengan diam dan tidak meladeni Herodes, Yesus menunjukkan betapa berharga setiap kata-
kata yang keluar dari mulut-Nya, dan Herodes tidak layak mendapatkannya. Yesus datang ke
dunia untuk menjalankan kehendak Bapa-Nya, bukan untuk memberikan hiburan kepada
manusia.
Kehadiran orang Kristen di dunia ini mungkin saja akan menarik perhatian orang-orang
dunia. Namun, sebagai pengikut Kristus, kita mungkin saja akan mengecewakan dunia yang
meminta hiburan dari kita dan berakhir pada olok-olok. Meskipun kita taat kepada Tuhan
untuk melayani orang lain, tanggung jawab kita bukanlah meladeni keinginan dunia,
melainkan taat kepada Bapa kita yang di sorga. Itulah prinsip yang menjadi tulang punggung
kita. Gereja diminta untuk menjadi uluran tangan Kristus untuk memberikan penghiburan
bagi dunia berdosa, bukan menjadi “badut” yang memberikan hiburan. Kita adalah pembawa
pesan dari Tuhan, bukan kata-kata yang memanjakan kuping orang yang mendengarkan.