‘You are great, Lord, and highly to be praised (Ps. 47:2): great is your power and your wisdom is immeasurable’ (Ps. 146:5). You stir man to take pleasure in praising you, because you have made us for yourself, and our heart is restless until it rests in you’. [1]
- Sebuah Literatur Agung
Jika kita diberi kesempatan untuk meninjau dan menceritakan kembali seluruh hidup kita sejak lahir–baik keputusan intensional maupun tidak, pikiran dan perasan yang terpendam maupun tidak–apakah yang akan kita katakan? Siapakah yang kita inginkan sebagai pendengar? Dan dengan cara apakah akan kita ceritakan semua itu?
Kemungkinan besar audiens yang kita inginkan adalah orang-orang terkasih kita, yang (kita harap) bersedia untuk mendengar dan menerima kita apa adanya; kita dengan segala kecemaran dan kejijikan kelakuan kita di dalam gelap. Agustinus memutuskan untuk melakukan yang sama. Dalam hal ini, audiensnya adalah Tuhan: pribadi yang paling ia kasihi.
Confessions karya Agustinus dari Hippo merupakan salah satu literatur paling penting dalam kebudayaan Barat. Hingga saat ini Confessions masih menjadi salah satu bacaan utama pendidikan liberal arts, theologi, dan filsafat di institusi-institusi pendidikan tinggi ternama dunia. Risalah-risalah filsafat dan theologi terus dibuat untuk menggali kedalaman pemikiran Agustinus dalam Confessions yang sepertinya tiada habisnya. Seorang yang familier dengan perkembangan pemikiran di bidang-bidang tersebut akan menyadari bahwa satu-dua kalimat Agustinus yang pada awalnya terdengar sepele, sekadar gumaman seorang yang kebetulan mampu berbahasa secara indah, sesungguhnya memiliki bobot yang cukup untuk menjadi fokus penelitian magister dan doktoral.
Sepenggal kalimat “But when I love you, what do I love?”[2] misalnya,telah menjadi fokus pembahasan buku filsafat kontemporer[3]. Demikian pula potongan paragraf berikut:
“Grant me Lord to know and understand which comes first–to call upon you or to praise you, and whether knowing you precedes calling upon you. But who calls upon you when he does not know you?”[4]
(Terjemahan bebas penulis: “Izinkan aku memahami, ya Tuhan, yang manakah yang lebih dahulu–berseru kepada-Mu atau memuji-Mu, dan apakah mengenal-Mu mendahului berseru kepada-Mu. Namun siapa berseru kepada-Mu jika ia tidak mengenal-Mu?”)
Potongan paragraf di atas mengingatkan kita mengenai paradoks faith seeking understanding[5] dan paradoks asal mula iman, tema-tema yang terus digumulkan gereja Tuhan hingga saat ini. Siapa yang dapat berseru kepada Tuhan dan mencari-Nya, jika ia tidak terlebih dahulu mengenal Tuhan yang ia cari? Tetapi siapa yang dapat mengenal Tuhan jika ia tidak terlebih dahulu berdoa dan menangis, memohon kepada Tuhan untuk menyatakan diri kepadanya? Kalimat-kalimat agung sedemikian tersebar di sepanjang buku Confessions dan terasa diucapkan sambil lalu oleh Agustinus. Namun mereka yang familier dengan sejarah pergumulan gereja Tuhan akan menyadari bahwa kalimat-kalimat tersebut menyentuh begitu banyak tema yang ‘berat’, tema-tema yang telah memicu konflik besar dalam gereja[6]. Lewat hal ini kita dapat melihat betapa cemerlang pemikiran Agustinus serta mengapa Confessions disandingkan dengan literatur-literatur terbesar kebudayaan Barat.
Confessions karya Agustinus dari Hippo merupakan salah satu literatur paling penting dalam kebudayaan Barat. Hingga saat ini Confessions masih menjadi salah satu bacaan utama pendidikan liberal arts, theologi, dan filsafat di institusi-institusi pendidikan tinggi ternama dunia.
Secara garis besar, Confessions dapat dibagi menjadi dua bagian: buku 1-9 yang ditulis sebagai autobiografi/memoar kehidupan Agustinus, di mana ia meninjau peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya disertai dengan perenungan-perenungan theologis, serta buku 10-13 di mana ia membagikan pemikirannya mengenai berbagai konsep yang penting, di antaranya memori, waktu, kekekalan, penciptaan, eksegesis, hingga konsep Tritunggal.
- Sudut Pandang Kristen
Siapakah Agustinus? Bapa gereja Agustinus dari Hippo, atau yang lebih umum dikenal sebagai Santo Agustinus, lahir di Thagaste pada tahun 354, di wilayah yang kini kita kenal sebagai Afrika Utara. Pada masa itu Kekaisaran Romawi telah mengakui kekristenan sebagai agama yang sah lewat Edict of Milan yang ditandatangani Kaisar Konstantinus I (juga dikenal sebagai Constantine the Great). Agustinus hidup cukup lama untuk mendengar kabar kejatuhan kota Roma serta kemunduran Kekaisaran Romawi.[7]
Confessions ditulis sekitar tahun 397-400, tidak lama setelah Agustinus mulai menjabat sebagai uskup. Menurut Agustinus sendiri, lewat Confessions ia memuji Allah yang baik dan adil untuk setiap tindakan yang Agustinus lakukan (baik ataupun jahat). Karya ini juga memperdalam pengenalan serta cinta pembaca kepada Tuhan. Efek ini Agustinus alami sendiri baik selama proses penulisan maupun ketika ia membaca ulang Confessions, meski secara implisit Agustinus mengakui bahwa ada orang-orang yang mengatakan hal yang bertolak belakang.[8]
Pembaca yang tertarik baik dengan ringkasan Confessions maupun diskursus akademis bidang filsafat, theologi, dan sejarah terkait karya inidapat dengan mudah menemukan materi-materi yang sangat baik secara online. Penulis resensi merasa ia tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk berkontribusi secara substantif dalam diskursus akademis tersebut. Namun lewat resensi ini penulis hendak mengajukan satu observasi pribadi kepada pembaca: begitu banyak karya yang membahas Confessions, baik berupa ringkasan, risalah terkait salah satu tema yang disentuh Confessions, maupun risalah mengenai karya Confessions itu sendiri, membedahnya lewat worldview yang bukan Kristen.
Penulis berharap hal ini dipertimbangkan secara serius oleh pembaca, sebab meskipun Confessions kaya akan pemikiran theologis dan filosofis (bagi khalayak umum, bukan hanya Kristen), penulis percaya penggunaan worldview lain selain Kristen akan membutakan kita dari aspek yang Agustinus ingin tekankan[9]. Agustinus adalah seorang Kristen yang saleh. Ia menulis Confessions sebagai seorang Kristen. Buah pikiran theologis, filosofis, sastra, metafisika, psikologi, dan lain-lain yang pembaca akan temukan dalam karya ini, sekalipun sangat indah dan memberkati, merupakan buah sekunder dari usaha Agustinus untuk menulis karya yang ia persembahkan kepada Tuhan. Jika pembacaan kita justru berfokus kepada buah-buah sekunder ini, seperti yang umum dilakukan oleh banyak ringkasan dan risalah, maka kita sedang membuang permata untuk menyimpan emas. Memang berharga, tetapi bukan yang paling berharga. Seorang Kristen yang ingin bertumbuh akan sangat diberkati jika ia mempelajari sikap hati, cara pikir, serta kerohanian yang dimiliki Agustinus, bukan hanya pengetahuan kognitif yang ia bagikan.
- Hidup sebagai Doksologi
Penulis merasa proses pembuatan resensi ini sangat berat, bukan karena tidak ada kata-kata yang bisa penulis sampaikan, tetapi justru sebaliknya. Ada terlalu banyak hal yang penulis pikir perlu disampaikan. Penulis dipenuhi rasa kagum, namun setiap kata yang ia tulis untuk menggambarkan keindahan Confessions justru terasa mengurangi dignitas karya ini. Bagaimanakah seorang dengan hati dan pikiran setumpul penulis bisa membagikan keindahan Confessions kepada pembaca? Namun penulis percaya hal ini juga yang Agustinus rasakan selama ia menyusun Confessions. Siapakah Agustinus sehingga ia berani “mengulas” Tuhan? Siapakah manusia sehingga ia berani menilai penciptanya?
Jawaban Agustinus terhadap pertanyaan ini sangat menghibur hati penulis. Sepanjang Confessions, pembaca akan menemukan bahwa Agustinus sering kali bertanya, namun tidak berusaha menjawab tuntas. Alur pikiran Agustinus sering kali berhenti di tengah. Keseluruhan Confessions merupakan rangkaian pondering and praising – kumpulan pertanyaan yang Agustinus ajukan bukan untuk memperoleh jawaban, tetapi untuk menjadi kesempatan memuji Tuhan. Confessions adalah sebuah doksologi yang menggunakan kisah hidup sebagai sarana untuk memuji Sang Penulis Kisah Hidup.
Penulis percaya sikap hati demikianlah yang harus kita terapkan dalam hidup kekristenan kita. Kegagalan Agustinus untuk memahami secara tuntas justru membuat ia terus dalam ‘mode mencari’, terus peka dan rendah hati menantikan jawaban yang mungkin tidak akan pernah ia temukan. Di akhir pencariannya, Agustinus menaikkan doksologi sekalipun ia tidak mengerti.
Bagaimanakah kita berespons terhadap banyaknya hal yang tidak kita pahami secara tuntas? Mulai dari hal konseptual seperti pergumulan theologis dan eksistensial, hingga hal praktikal seperti karier, teman hidup, peran dalam komunitas, dan lain-lain. Sangat mudah bagi kita untuk terjatuh dalam jebakan “saya harus tahu pasti”–mungkin karena kita takut melepas kontrol atas hal-hal yang penting bagi kita. Namun adakah kita bersyukur dan memuji Tuhan karenanya?
Penulis tidak sedang mengatakan bahwa tidak memahami secara tuntas itu baik. Penulis percaya bahwa setiap orang Kristen mempunyai tanggung jawab untuk memahami sedetail mungkin segala hal yang Tuhan sudah wahyukan kepada kita. Tetapi sikap hati seperti apakah yang kita tunjukkan jika ada hal yang tidak bisa kita pahami? Usaha pencarian hikmat yang tidak memimpin kepada cinta dan penyembahan kepada Tuhan sesungguhnya adalah sia-sia, bahkan berbahaya bagi kerohanian kita. Jauh lebih baik bagi kita untuk tidak mengerti kemudian memuji Tuhan, ketimbang menganggap diri mengerti namun sebenarnya menderita penyakit rohani.
- Penutup
Di titik ini pembaca diundang untuk sekali lagi membaca kutipan di awal artikel:
‘You stir man to take pleasure in praising you, because you have made us for yourself, and our heart is restless until it rests in you’.
Confessions menunjukkan indahnya hidup seseorang yang menemukan kenikmatan dalam memuji Tuhan. Pujian–dan secara lebih luas, ibadah–kepada Tuhan sesungguhnya bukan sesuatu yang Tuhan perlukan. Manusialah yang memerlukannya, sebab Tuhan mencipta kita bagi diri-Nya sendiri. Kesempatan untuk memuji Tuhan serta beribadah kepada-Nya adalah anugerah besar yang Tuhan berikan bagi umat-Nya. Kita diciptakan untuk Tuhan, dan hati kita tidak akan tenang sebelum kita beristirahat di dalam Dia.
Pemuda Kristen, apakah yang engkau kejar saat ini? Adakah engkau mencari Tuhan? Jangan serahkan hatimu kepada yang lain. Tidak ada hal lain yang akan memuaskanmu. Dan ketika engkau berdiam di dalam Tuhan, engkau akan mendapati segala kepingan hidupmu yang lain kembali ke posisi yang semestinya. Kiranya Tuhan memberkati kita.
[1] Saint Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford World’s Classics, 1998), Book I pg. 1.
[2] Ibid, Book X pg. 183.
[3] John D. Caputo, On Religion: Thinking in Action (Routledge, 2001). Caputo merupakan pembimbing penelitian doktoral James K. A. Smith, seorang filsuf Kristen kontemporer yang berpengaruh dalam perkembangan theologi liturgi beberapa dekade terakhir. Pembaca dapat menemukan potongan pemikiran Smith dalam khotbah-khotbah beberapa hamba Tuhan di gerakan kita.
[4] Saint Augustine, Confessions, Book I pg.1.
[5] Frasa ini umumnya diatribusikan kepada Anselmus dari Canterburry dalam bukunya Proslogium.
[6] Tema ini juga terkait dengan tema predestinasi dan penetapan kekal Allah. Pembaca yang ingin menelusuri lebih lanjut dapat menggunakan kata kunci tersebut, juga menyelidiki diskursus populer Arminianisme vs Calvinisme. Namun, penulis berharap pembaca berhati-hati untuk tidak tenggelam dalam perdebatan yang tidak perlu. Agustinus berfokus kepada pengenalan yang pada akhirnya membawa kita menikmati dan memuji Tuhan. Demikian pula, ketika Calvin menjabarkan doktrin-doktrin Kristen dalam karyanya The Institute of Christian Religion, ia terus menekankan pentingnya “pengetahuan yang berguna bagi pertumbuhan iman”.
[7] Kota Roma jatuh ke tangan kaum Visigoth pada tahun 410. Lawan politik orang Kristen menyalahkan Kekristenan sebagai penyebab kondisi tersebut – mereka berargumen bahwa dewa-dewa mengutuk kekaisaran Romawi karena banyak orang mulai mengikuti ajaran Kristen dan meninggalkan penyembahan dewa-dewa. Kondisi ini yang belakangan mendorong Agustinus untuk menulis karya besarnya yang lain, The City of God.
[8] Saint Augustine, The Retractions (Catholic University Press, 1999), pg. 131.
[9] Penulis menyadari bahwa theologi Agustinus sangat dipengaruhi oleh pemikiran Neoplatonisme. Pikiran Agustinus juga sangat dibentuk oleh karya-karya Yunani dan Romawi kuno sebagaimana yang umum bagi seorang terpelajar pada zamannya. Namun penulis percaya bahwa kita harus selalu berhati-hati dalam menginterpretasi sesuatu – tidak ada interpretasi yang objektif, semua interpretasi memiliki bias. Bahkan analisa saintifik yang mendengung-dengungkan ‘objektivitas’ pun sesungguhnya didasari bias worldview saintifik. Pembaca yang ingin menelusuri lebih lanjut tentang hal ini dapat mempelajari karya-karya pemikir postmodern (penulis mengusulkan Who’s Afraid of Postmodernism karya James K.A. Smith sebagai pengantar).