Hidup dan Penderitaan: Resensi Buku Kejahatan dan Hukuman oleh Dostoevsky (Crime and Punishment)

Dalam hidup, penulis percaya ada beberapa lensa yang bisa digunakan untuk menghampiri sebuah topik penting; menghampiri ‘penderitaan’ merupakan salah satunya. Lensa untuk menghampiri penderitaan begitu padat dalam Alkitab. Namun penulis ingin menambahkan satu lensa/mode reflektif tambahan yang bisa digunakan: melalui sastra klasik, dalam hal ini sastra Rusia.

Raskolnikov tidak menyadari bobot penderitaannya sampai penderitaan itu akhirnya diangkat darinya. Ia merupakan tokoh utama dalam buku Kejahatan dan Hukuman oleh Dostoevsky (sastrawan Kristen dari Rusia); menjadi protagonis kita di era pra-revolusi Rusia (ca. 1800-an). Protagonis kita ini adalah pembunuh, dan salah satu fokus yang diangkat sepanjang cerita dalam buku ini adalah penderitaannya menanggung dosa pembunuhan tersebut.

Kenyataan penderitaan Raskolnikov memang dikisahkan sangatlah autentik dan realistis, menjadikannya salah satu tokoh sastra yang acap kali patut dibahas, transenden terhadap segala batas waktu. Penulis akan pertama 1) menceritakan sinopsis cerita karya agung ini, lalu 2) membahas refleksi singkat mengenai makna penderitaan (dan keselamatan) yang sarat membayangi kisah novel ini.

Sinopsis Cerita Kejahatan dan Hukuman oleh Dostoevsky

Raskolnikov tidaklah asing dengan kemiskinan; justru sebagian besar hidupnya memang terjerat kemiskinan ekonomi (poverty). Inilah garis besar penderitaan hidup seorang Raskolnikov: kemiskinan. Terlepas dari kenyataan itu, yang membuat karakternya unik adalah hatinya yang dermawan (di bawah alam sadar).

Namun kemiskinan itu akhirnya akan memburuk menjadi kemelaratan (destitution). Inilah yang akan menjadi titik awal kejahatannya, yang akan diikuti oleh rangkaian hukumannya. Dihantui oleh rasa bersalah dan kegilaan pribadi, dosa yang ia pilih mengantarnya ke dalam neraka pribadinya yang bisa kita namai “penderitaan yang disebabkan diri (self-inflicted suffering)”: ia tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri.

Kemiskinan bukanlah kejahatan, itulah kebenarannya… Tetapi kemelaratan, Bapakku terkasih, kemelaratan adalah kejahatan, Pak. Dalam kemiskinan engkau masih mungkin mempertahankan segala keagungan dari perasaan yang bawaan lahir, tetapi dalam kemelaratan: tidak ada yang mampu.” (terjemahan bebas penulis)

Mengikuti penderitaan yang disebabkan diri ini, Dostoevsky mengeksplorasi ujung terdalam kehidupan melalui pikiran Raskolnikov yang mulai menggila akibat kemelaratannya. Raskolnikov bisa dibilang “tidak hidup” setelah pembunuhan malam itu. Dikuasai rasa bersalah sambil terus diperbudak kesombongan, ia memilih untuk tidak menundukkan dirinya pada kebohongan. Ia menyembunyikan dosanya. Ia membawa dirinya (dan banyak orang lain) ke dalam kebohongan yang ia ciptakan. Dampaknya: bukan hanya psikologis, ia sakit ke tulang-tulangnya. Lemah secara fisik, baginya bahkan bernapas menjadi hal yang sulit. Kemiskinan bukanlah yang membawa Raskolnikov ke dalam posisi-posisi sulit. Pilihannyalah penyebabnya.

Raskolnikov akan baru menyadari seberapa berat ia telah menderita setelah ia bertemu dengan Sonya; Sonya dengan segala kebajikannya, kejujuran, dan kesetiaannya. Sonya yang begitu bajik menjadi keselamatan bagi Raskolnikov, dan hanya setelah ia mengeksplorasi kepercayaan iman Sonya, akhirnya ia menemukan kemanusiaan dan kebebasannya. Kebenarannya Sonyalah yang akhirnya menyadarkan dia dari kebohongan dirinya. Ia akan kemudian sadar bahwa selama ini hidupnya bukanlah hidup, dan ia baru sadar arti dari menjadi hidup. Hanya setelah menemukan pembebasan untuk dirinya, ia terangkat dari beban penderitaan. Di saat itulah protagonis kita mulai hidup dan tidak lagi hanya bereksistensi semata.

Arti Kedalaman Hidup

Yang menarik dari kisah ini adalah gagasan bahwa penderitaan superfisial—dalam hal ini kemiskinan (meski tidak ringan)—tidaklah cukup untuk membuat Raskolnikov benar-benar hidup. Ia seakan-akan mati rasa dengan kemiskinan. Baru setelah ia benar-benar melarat, ia mulai menderita. Sebuah ancaman eksistensial diperlukan untuk membawa kesadaran hidup seorang Raskolnikov ke permukaan. Setelah ada penderitaan mendalam—yang disertakan kebebasan radikal—baru muncul kehidupan dalam dirinya. Kemiskinan hanya meliputi uang dan makanan di meja (dengan segala kedangkalannya), tetapi rasa bersalah akibat dosalah yang menggetarkan Raskolnikov secara eksistensial. Penderitaan yang tidak terlihat manusia memberinya sebuah dimensi baru mengenai kedalaman hidup manusia.

Rasa bersalah ini kemudian dinarasikan tidak bermakna tanpa adanya keselamatan dalam kebenaran (bandingkan dengan tokoh lain bernama Svidrigailov). Dostoevsky seakan-akan ingin menunjukkan bahwa totalitas keutuhan hidup hanya bisa dimanifestasi ketika manusia berjalan ke ujung terdalam kehidupan dan naik lagi. Tentu, apa itu “ujung terdalam/gelap” tidak bisa diidentifikasi tanpa adanya definisi “tinggi/terang” sebagai tolok ukur kebenaran. Implikasinya: sebuah hidup penuh hal-hal superfisial tidak akan bisa menjadi hidup yang utuh, sebaliknya yang hanya penuh dengan kegelapan merana juga tidak akan bisa menjadi keutuhan. Sebuah hidup yang utuh adalah yang terguncang, terancam secara eksistensial, sekaligus terbebaskan melalui kebenaran.

Ini membawa kita ke poin refleksi kedalaman hidup kita. Level “kedangkalan hidup” tentu bervariasi untuk satu orang dan yang lain; bagi beberapa, mungkin kemiskinan ekonomi cukup untuk menggaet sebuah krisis eksistensial, bagi yang lain mungkin wujudnya berbeda. Perbedaan wujud penderitaan ini tergantung pada kejahatan inti setiap manusia. “Ujung terdalam” bervariasi, tetapi penderitaannya menunggu setiap kita.

Dalam dunia di mana mimpi kekanak-kanakan menjadi idealisme manusia dewasa juga, ide “hidup sukses, hidup bagus” sebenarnya menentang natur kehidupan manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini, menentang yang tidak bisa dihindari. Janji terhadap diri bahwa “semuanya akan membaik (everything will get better)” justru membuang kesadaran untuk hidup, kesadaran seni kehidupan. Justru di situlah terletak makna penderitaan (yang disertai pembebasan dalam kebenaran): warna kehidupan yang lengkap hanya mengeksposisi dirinya kepada mereka yang bisa belajar menerima penderitaan hidup dan membantah impian kekanak-kanakan, menerima beban dan kebebasan kebenaran yang menyelamatkan, dan melepas kebodohan khayalan dan dusta.

Tentu poin ini semua bukanlah pada romantisasi penderitaan menjadi asketisme atau masokisme, melainkan pada kesadaran bahwa ada penderitaan-penderitaan yang menunggu kita dalam hidup, dan tidak ada gunanya terus-terusan memandang itu semua dengan kebencian belaka atau sebagai kesialan. Poinnya adalah bahwa kesadaran ini terletak pada pengakuan untuk refleksi di hadapan Tuhan dan bertanya: apakah kehidupan kita sudah dihidupi sampai titik ini secara mendalam atau hanya mencium permukaan superfisial?

Kesimpulan dan Catatan Terakhir

Penderitaan merepresentasikan sisi yang lebih gelap dan berat dalam hidup, tetapi mungkin ada secercah keindahan yang bisa diambil, lebih dari yang kita kira. Keindahan yang tidak berpusar pada penderitaan itu semata, tetapi justru pada kemerdekaan dalam kebenaran yang memberinya makna.

Demikianlah beberapa poin refleksi yang muncul ketika membaca buku Kejahatan dan Hukuman oleh Dostoevsky ini. Penulis merasa inilah contoh salah satu buku yang pantas dibaca ulang demi kedalaman, kekayaan, kepadatan, dan realisme yang tersurat di dalamnya.

A thought flashed in him: ‘can her convictions not be my convictions now?’…

“Sebuah pikiran muncul dalam dirinya: ‘apakah tidak mungkin, keyakinannya kini menjadi keyakinanku?’…” (terjemahan bebas penulis)

Biya Hannah Hutagalung

Pemudi MRII Munich

Deskripsi Buku
Judul: Kejahatan dan Hukuman
Pengarang : Dostoevsky, Fyodor
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Penerjemah : Faisal, Ahmad
Tahun : 2018
Halaman : 448