Sampul buku "John Calvin and His Passion for the Majesty of God"

John Calvin and His Passion for the Majesty of God

Judul: John Calvin and His Passion for the Majesty of God
Pengarang: John Piper
Penerbit: Crossway, Wheaton-Illinois
Tahun: 2009
Halaman: 59

“Cor meum tibi offero, Domine,
prompte et sincere.”
“My heart I offer, Lord,
 
promptly and sincerely.
(John Calvin)

Di dalam sejarah, Tuhan selalu menyiapkan orang yang tepat, di saat yang tepat, dan untuk hal yang tepat, bagi Kerajaan-Nya. Pada tahun 1517, ketika Martin Luther memakukan 95 tesis di pintu gereja di Wittenberg, saat itulah Reformasi Gereja dimulai. Reformasi Gereja ini menjadi dobrakan besar di dalam kekristenan setelah bertahun-tahun kebenaran firman Tuhan dilecehkan. Gereja Katolik Roma saat itu sudah terlalu lama menjual Kristus demi uang dan politik. Martin Luther dengan gerakan dari Tuhan, tanpa ragu meruntuhkan seluruh ajaran yang melenceng tersebut. Setelah Tuhan membangkitkan Luther untuk meruntuhkan seluruh ajaran yang salah, Tuhan membangkitkan John Calvin untuk membangun ajaran yang benar dengan Alkitab sebagai fondasinya.

John Calvin menjadi pilar yang amat penting bagi kekristenan. Ribuan kali ia mengutip Alkitab, bekerja dengan amat keras demi membangun dasar pengajaran yang kukuh bagi kekristenan, termasuk bagi kita pada hari ini. Kita mengenal karya-karya besar Calvin, salah satunya adalah Institutio Christianae Religionis (Institutes of the Christian Religion). Namun, tidak banyak yang mengetahui di balik karya besar itu, kehidupan John Calvin seperti apa, betapa giatnya Calvin melayani Tuhan, betapa utuhnya Calvin menyerahkan diri bagi Tuhan sepenuhnya, dan betapa utamanya Tuhan di dalam hidup Calvin.

John Piper di dalam buku ini memulai dengan kalimat, “Nothing mattered more to Calvin than the supremacy of God over all things.” Kemudian dilanjutkan dengan, “…, the fundamental issue for John Calvin—from the beginning of his life to the end—was the issue of the centrality and supremacy and majesty of the glory of God.” Kalimat-kalimat ini sedikitnya telah menggambarkan bagaimana seorang John Calvin hidup dengan benar-benar mengutamakan Tuhan sebagai satu-satunya yang layak diutamakan.

Calvin lahir di Noyon, Prancis, pada tanggal 10 Juli 1509. Pada usianya yang ke-14, ayahnya mengirim dia untuk mengambil studi theologi di College de Montaigu di Paris. Lima tahun kemudian, ayahnya meminta ia untuk meninggalkan studi theologinya dan melanjutkan studi hukum. Pada masa ini, Calvin menguasai bahasa Yunani dan terbawa dalam pemikiran-pemikiran dari Duns Scotus, William Ockham, dan Gabriel Biel, dan menyelesaikan studi hukumnya. Pada usianya yang ke-23 tahun, Calvin menyelesaikan dan memublikasikan buku pertamanya, Commentary of Seneca. Sekitar 3 tahun kemudian, volume pertama dari karya terbesar Calvin, Institutes of the Christian Religion,dipublikasikan. Pada usianya yang ke-31 tahun, Calvin menikah dengan Idelette Stordeur, seorang janda. Beberapa tahun kemudian, keduanya dianugerahi beberapa orang anak. Namun tidak lama setelah itu, satu per satu anak-anaknya dipanggil Tuhan. Tak lama kemudian, Idelette juga dipanggil Tuhan. Kematian Idelette sangat memukul Calvin. Bagi Calvin, Idelette telah menjadi pasangan terbaik baginya, menolongnya di dalam pelayanan, dan memperhatikan anak-anaknya lebih dari kesehatannya sendiri. Namun, Calvin tetap melihat bahwa Tuhan adalah Tuhan yang mengetahui yang terbaik bagi anak-anak-Nya.

Seluruh pemikiran theologi yang dibangun oleh Calvin bukanlah theologi kosong yang tidak berkaitan dengan hidupnya. John Piper menuliskan dalam buku ini bahwa theologi yang Calvin bangun adalah hasil pergumulan seumur hidupnya sejak ia masih muda, melalui ancaman di berbagai kota, kematian anak-anaknya, ketika berkhotbah, dan bahkan sampai mati. Setelah pergumulannya pada usia 20 tahun, Calvin menyadari bahwa kerohaniannya yang buta kini sudah dicelikkan oleh Roh Allah.

Calvin menemukan dua hal yang terjalin begitu harmonis dan kedua hal ini menentukan bagaimana selanjutnya ia menjalani kehidupannya. John Piper menuliskan dalam buku ini, kedua hal tersebut adalah: the majesty of God and the word of God. The word mediated the majesty, and the majesty vindicated the word. Hal ini dapat terlihat di dalam karya-karya yang ia hasilkan. John Calvin menulis buku-buku, commentaries, dan mengajar tentang Alkitab, serta berkhotbah lebih dari 1.000 kali seumur hidupnya. Semua hal ini dilakukan Calvin dengan penuh ketekunan dan hanya fokus kepada Alkitab. Tidak ada hal lain yang dikerjakan Calvin di luar kebenaran Alkitab. Calvin dalam kata-kata terakhirnya mengatakan bahwa ia telah berusaha, baik di dalam khotbah maupun tulisannya, untuk mengkhotbahkan perkataan Tuhan dengan murni dan dengan tepat menafsirkan firman-Nya yang suci.

Seumur hidupnya, John Calvin telah bekerja melayani Tuhan dengan sangat-sangat keras. Ia bekerja dengan begitu giat, begitu tekun, begitu keras, melebihi apa yang bisa ditanggung oleh tubuhnya. Dari pagi hingga malam, Calvin tidak berhenti bekerja bagi Tuhan. Pada usia 53 tahun, berbagai penyakit dialami Calvin, yaitu: muntah darah, kesakitan pada saluran pencernaannya, batu ginjal, dan nyeri sendi hampir seluruh tubuhnya. Calvin mengatakan kepada kawannya, Falais melalui surat, “Apart from the sermons and the lectures, there is a month gone by in which I have scarce done anything, in such wise I am almost ashamed to live thus useless.” Ketika tubuhnya sudah tidak memungkinkan, Calvin terus tetap melayani Tuhan dengan sisa kekuatan yang ada dan ia tidak ingin ada sedikit pun waktu dalam hidupnya yang terbuang sia-sia.

Hidup Calvin telah menunjukkan bagaimana ia melakukan segala sesuatu untuk Tuhan dalam kondisi apa pun, oleh karena tergerak dan kagum oleh keagungan Tuhan. Semua hal yang dilakukan Calvin hanya berfokus kepada kemuliaan Tuhan saja. Tidak boleh ada khotbah yang tidak berfokus kepada Alkitab, tidak boleh ada tulisan yang tidak memuliakan Tuhan; sebab Tuhan adalah Tuhan yang sangat mulia dan agung, sehingga tidak ada hal lain yang memikat Calvin, selain keagungan Tuhan. Tuhan adalah Tuhan yang penuh dengan keagungan, sehingga Calvin tidak bisa untuk tidak memberikan waktu dalam hidupnya untuk Tuhan.

Melalui buku ini, Piper membawa kita untuk menelusuri kehidupan John Calvin baik di dalam kehidupan personal maupun pelayanannya. Kita diajak untuk menyaksikan kehidupan seorang pelayan Tuhan yang di sepanjang hidupnya terus berjuang untuk hidup bagi Allah. Hampir tidak ada satu hal pun yang dapat menggeser Allah sebagai prioritas utama kehidupan John Calvin, bahkan kelemahan tubuh tidak dapat menghalanginya melayani Tuhan. Melalui kehidupan Calvin, kita meneladani komitmennya dalam memberikan kehidupan yang seutuhnya dipersembahkan kepada Tuhan, sebagaimana moto hidupnya, My heart I offer, Lord, promptly and sincerely.” John Piper menutup buku ini dengan mengatakan, “There was in the life and ministry of John Calvin a grand God-centeredness, Bible-allegiance, and iron constancy. Under the banner of God’s mercy to miserable sinners, we would do well to listen and learn.”Kiranya Tuhan menolong kita untuk dapat meneladani kehidupan John Calvin sebagaimana ia meneladani Kristus.

Sharon Nobel
Pemudi GRII Bandung