Judul: Living in the Gap Between Promise and Reality
Pengarang: Iain M. Duguid
Penerbit: P & R Publishing
Tahun: 1999
Tebal: 167 halaman
Umat Kristen memiliki sukacita tersendiri karena jaminan janji-janji Allah di dalam kehidupannya. Namun, ketika hidupnya di ambang kesulitan, sering kali umat Kristen merasa kecewa kepada Allah, dan kehilangan iman mereka. Apakah ini natur dari perjalanan iman seorang Kristen?
Ketika mengkaji kehidupan Abraham, kita akan mengagumi imannya yang sangat besar. Ia rela meninggalkan kehidupannya yang nyaman dan berjalan menuju ke tempat yang belum jelas hanya berdasarkan pimpinan Tuhan saja. Dengan iman juga ia setia menanti penggenapan janji Allah mengenai keturunannya yang akan menjadi bangsa besar, di saat usianya sudah semakin lanjut dan istrinya yang mandul. Dengan iman, Abraham juga merelakan anaknya Ishak dipersembahkan kepada Allah sebagai wujud nyata ketaatannya. Tetapi, Iain M. Duguid justru mengajak kita memperhatikan kejatuhan-kejatuhan dan kurangnya iman para “raksasa iman” ini kepada janji Allah. Hal ini harus menjadi pembelajaran bagi kita sebagai umat “Kristen kacangan”, khususnya dalam melihat sisi betapa rapuhnya hidup manusia. Jika seseorang yang begitu besar imannya dapat diguncangkan imannya, bagaimana dengan kita?
Melalui buku ini, Duguid menjelaskan signifikansi antara kisah Abraham di Perjanjian Lama dan Injil/Kristus. Kita dapat mengerti nubuat karya keselamatan Allah yang akan dikerjakan-Nya melalui salah satu nabi-Nya ini. Selain itu, buku ini juga menceritakan bagaimana kehidupan Kristen sejati yang seharusnya, melalui kehidupan “bapa orang beriman”. Buku yang bagaikan renungan harian ini, memiliki beberapa pertanyaan singkat pada bagian akhir di setiap babnya, dan setiap bagian dibahas berdasarkan pasal atau perikop dalam Kitab Kejadian.
Bagian pertama, Duguid menggambarkan bahwa Allah telah mempersiapkan orang-orang yang akan dipakai-Nya sebelum mereka menyadarinya. Kisah Abraham bahkan sudah dipersiapkan Allah dari perikop yang menyatakan “Daftar keturunan Terah”. Abram dibawa oleh Terah ayahnya menuju ke tanah Kanaan, walaupun mereka tidak sampai ke sana. Abram telah menanamkan niatnya untuk pergi ke sana sedari ia dibawa pergi oleh Terah, ayahnya. Sehingga, ketika Allah memanggil Abram untuk pergi ke tanah Kanaan, ia telah siap. Duguid pun menjelaskan bahwa sangat mungkin Allah mempersiapkan kita bagi pekerjaan-Nya melalui apa yang kita sedang kerjakan sekarang, walaupun mungkin terlihat mengecewakan, sangat diperlukan iman yang mengatakan, “Segala hal berada di dalam kedaulatan Allah.” Sama halnya dengan Kristus, Ia tetap teguh menjalankan panggilan-Nya, sekalipun Bapa memalingkan wajah-Nya dari Anak. Hal itu yang menjadi pengharapan bagi umat Allah untuk yakin dan percaya kepada janji Allah.
Bagian kedua menjelaskan mengenai Kejadian 12 di mana Allah memanggil Abram. Duguid menjelaskan bahwa janji Allah kepada umat-Nya selalu lebih besar dari apa yang kita dapat bayangkan. Untuk memparalelkan janji Allah yang begitu besar ini, diperlukan iman yang besar pula sampai kita dapat memercayai bahwa tidak ada hal yang dapat menghalangi pekerjaan Allah. Selebihnya, Duguid menceritakan jatuhnya iman Abram, di saat timbul kelaparan di negeri yang disinggahinya. Bukan kembali melanjutkan perjalanan menuju tanah yang dijanjikan dan percaya bahwa Allah yang akan menyediakan, justru Abram pergi ke Mesir, dan meninggalkan janji Allah itu. Hal ini yang kerap menjadi kejatuhan kita. Saat segala sesuatu menjadi sulit, kita justru berpaling dari Allah dan kembali kepada cara dan pertolongan dunia. Menurut Duguid, Kristus pun menjadi teladan dalam hal ini, Ia turun dari sorga ke dunia di mana Ia menderita selama 33 tahun, dan menghidupi kehidupan-Nya di dunia dengan melihat kepada janji Allah yang akan “meninggikan nama-Nya di atas segala nama” tanpa bercela.
Bagian ketiga melihat kepada Kejadian 13. Duguid menjelaskan bahwa Abram bertobat dan menyerahkan seluruh imannya kepada Allah. Sehingga, ia memberikan kesempatan kepada Lot untuk memilih tanah yang hendak mereka tinggali. Di sini, Duguid memberi tahu bahwa Abram tidak melihat kepada kenyamanan dunia, melainkan kepada janji Allah yang akan memberikan tanah Kanaan kepadanya serta keturunannya. Kehidupan kita pun harus memiliki pertumbuhan seperti halnya Abram; ketika ia telah jatuh saat pergi ke Mesir, ia tetap kembali kepada Allah dengan kembali ke tanah yang telah Allah janjikan baginya. Pencobaan seperti Lot yang datang pun, kita harus serahkan kepada Tuhan, dan percaya bahwa apa pun yang Allah janjikan kepada kita, akan tetap menjadi milik kita. Seperti kepada Abram, Allah akan memberikan kepada umat-Nya janji yang lebih besar lagi ketika kita bisa menjaga iman kita kepada-Nya. Bagi Duguid, penebusan Kristus menjadi janji Allah yang terbesar bagi kita, ketika dunia menawarkan kenikmatannya, Kristus menjadi pengharapan kita yang terbesar untuk dapat menolak dunia dan kenikmatannya.
Bagian keempat menjelaskan kembali iman Abram yang begitu besar kepada Allah melalui Kejadian 14. Melalui penyelamatan Lot yang dilakukan oleh Abram, Duguid menjelaskan bahwa Abram kembali menunjukkan imannya kepada Allah. Abram beriman bahwa Allah akan menolongnya berperang maupun dengan jumlah orang yang sedikit, seperti yang akan tertulis di dalam 1 Samuel 14:6. Selain itu, Duguid mengatakan bahwa Abram juga menunjukkan “pengorbanan” yang tidak memilih kepada Lot. Tidak jarang kita menolong orang karena ada sesuatu yang kita harapkan kembali kepada kita. Tetapi tidak dengan Abram, ia mengorbankan dirinya bagi saudaranya, yang sebenarnya tidak layak mendapat pertolongan. Duguid melihat signifikansi antara hal ini dan pengorbanan Kristus, di mana Kristus tidak menunggu sampai kita pantas untuk diselamatkan, dan Ia mengorbankan kenyamanan-Nya di sorga hanya untuk menolong kita. Hal ini yang menurut Duguid seharusnya menjadi motivasi kita saat menolong orang lain yaitu, karena Kristus telah terlebih dahulu berkorban bagi kita.
Bagian kelima, Duguid menceritakan kehausan iman Abram kepada janji Allah di Kejadian 15. Abram kembali memaparkan kekhawatirannya, ia mempertanyakan janji Allah akan keturunan dan negeri yang akan diberikan kepadanya. Duguid mengatakan, sering kali umat Kristen puas akan apa yang dimilikinya ketika hidup tampak berkecukupan dan nyaman. Sehingga, kita tidak lagi merasa perlu akan janji Kerajaan Allah yang dibangun dalam hidup kita, dan justru kita membangun kerajaan yang nyaman bagi diri kita sendiri. Namun, di sini Abram menyatakan kekhawatiran imannya ke hadapan Allah. Walau ia telah memiliki banyak kekayaan material, ia tetap haus dan taat menantikan penggenapan janji Allah baginya. Menurut Duguid, ketika kita mulai meragukan janji-janji Allah, kita harus dapat melihat kepada salib Kristus yang menunjukkan kasih Allah yang kekal dan penebusan dosa bagi umat-Nya yang percaya.
Bagian keenam yang diambil dari Kejadian 16, menjadi bagian yang kembali dikatakan oleh Duguid sebagai “Abram yang gagal”, di mana manusia mencoba menyelesaikan masalah dengan kemampuannya sendiri, dan bukan Allah. Duguid melihat pencobaan bagi Abram datang layaknya pencobaan bagi Adam, di mana ia dicobai oleh orang terdekatnya yakni, istrinya sendiri, Sarai. Pada bagian ini, Abram dikatakan terburu-buru untuk melihat janji Allah tergenapi. Hal ini yang menjadi kegagalan kita pula sebagai umat Allah. Kita tidak sabar menunggu pekerjaan Allah terjadi di dalam hidup kita, sehingga, Duguid mengatakan, bukannya berjalan di dalam iman justru kita merasa takut akan apa yang akan terjadi ke depan. Sehubungan dengan pengambilan Hagar yang berasal dari Mesir sebagai istri Abram, Duguid turut menjelaskan kiasan “Mesir” di dalam Perjanjian Lama. Bagi Duguid, Kristus kembali menjadi teladan di dalam kesabaran-Nya menunggu penggenapan pekerjaan Allah. Ia menolak Iblis yang mencobai-Nya, juga menolak nasihat-nasihat manusia yang dapat menyesatkan. Kristus dengan setia mengambil jalan salib demi menebus dosa dan kesalahan kita.
Bagian ketujuh sesuai Kejadian 17, Duguid menuliskan mengenai perjanjian Allah yang tidak mungkin tidak tergenapkan. Dengan kedaulatan-Nya, Allah sendiri yang memilih Abram untuk menjalin relasi dengan-Nya dan membuat perjanjian dengan-Nya, bukan yang lain. Allah pun memilih untuk mengadakan perjanjian-Nya dengan keturunan Abram dari Sarai yakni, Ishak, dan bukan Ismael. Maka, Duguid menjelaskan bahwa relasi yang kita miliki dengan Allah adalah relasi yang menuntut pengabdian secara total kepada Allah. Relasi dengan-Nya bukan karena “apakah Allah sesuai dengan kriteria kita”, melainkan berdasarkan “pemilihan Allah”, sehingga dengan anugerah-Nya kita dapat memilih-Nya untuk masuk ke dalam hati kita. Dengan mengganti nama Abram menjadi Abraham, Allah menunjukkan kepemilikan-Nya atas Abraham, dan menunjukkan anugerah-Nya yang besar dalam pemilihan-Nya. Duguid mengklaim bahwa kebenaran Injil yang dapat memanggil kita untuk percaya dan memuliakan Allah merupakan anugerah Allah semata, dan janji keselamatan itu pasti akan terpenuhi.
Bagian kedelapan sesuai dengan Kejadian 18, Duguid membahas mengenai Abraham sebagai teman Allah. Dijelaskan oleh Duguid bahwa, teman adalah seseorang yang mengetahui bukan hanya apa yang akan dilakukan, tetapi juga mengapa dilakukannya. Allah dikatakan membuka hati-Nya kepada Abraham. Menurut Duguid, Abraham mengenal betul siapa tiga orang misterius yang datang kepadanya, sebab dengan penuh hormat Abraham memanggil salah satunya dengan “Tuanku” (huruf T besar). Setelah itu, Abraham pun mengajak mereka ke tempat yang aman dan nyaman, untuk menunjukkan keterbukaan Abraham kepada mereka. Hal ini menjadi sebuah keuntungan sendiri bagi Abraham, yang bisa berbincang dan makan bersama dengan Allah, seperti layaknya sahabat. Duguid mengatakan, pada bagian ini Tuhan bukan hanya memberitahukan Abraham apa yang akan terjadi kepada Abraham dan Sara, tetapi juga apa yang tengah Ia lakukan terhadap Sodom. Sebagai teman Allah, Abraham memiliki hati yang tidak lagi melihat kepada dirinya sendiri, melainkan ia sampai berdebat dengan Allah untuk menyelamatkan Sodom. Bagi Duguid, hal ini menjadi contoh hati orang yang telah dipilih Allah untuk diselamatkan, di mana iman yang menyelamatkan akan mengubah hati dan kehidupan seseorang, menjadi semakin serupa dengan Kristus.
Bagian kesembilan menceritakan kehancuran Sodom dan Gomora di dalam Kejadian 19. Pada bagian ini, Duguid kembali melihat kepada Lot yang tidak dapat melepaskan dirinya dari Sodom, kota yang jahat di mata Allah. Bagi Duguid, umat Allah tidak seharusnya dapat hidup nyaman di tempat seperti itu. Lot dikatakan memang tidak sama dengan orang-orang Sodom, tetapi ia tetap tidak ingin meninggalkan Sodom. Duguid mengutip Derek Kidner yang menyebut Lot sebagai “orang benar tanpa ada semangat hidup suci”. Ketika Lot mencoba keluar dari masalah di dalam negeri Sodom, ia terjebak, dan hanya Allah sendiri yang dapat menolongnya. Hal ini Duguid kaitkan dengan hidup kekristenan kita. Kita memang umat Kristen, kita menghidupi apa yang menjadi kehendak Allah, namun kita tidak ingin kehilangan apa yang telah membuat kita nyaman di dunia. Sehingga, sama seperti Lot, kita pun ingin memiliki dua kewarganegaraan yakni, sorga dan dunia. Dan ketika kita mencoba untuk lari dari dalam “Sodom” yang kita miliki, tak ada lagi jalan keluar, sebab kita tidak sadar telah masuk terlalu dalam. Duguid mengatakan, hanya di dalam Kristus, kita dapat menemukan jalan kehidupan yang menuju kepada kebenaran dan hidup. Bukan karena kemampuan kita, sekali lagi karena ada intervensi Allah di dalamnya.
Bagian kesepuluh dituliskan berdasarkan Kejadian 20. Di sini Duguid kembali menuliskan kejatuhan Abraham yang sama seperti sebelumnya. Abraham kembali mencari jalannya sendiri, ia merasa bahwa janji Allah tidak dapat tergenapi tanpa ada campur tangannya, mencari solusi bagi masalahnya, dibanding memercayakan segalanya kepada Allah. Duguid menyatakan bahwa kita semua memiliki berhala dalam hati kita, yang membuat diri kita gagal menaati Allah. Salah satu kendalanya tentu masalah “keamanan diri” yang dialami lagi oleh Abraham pada bagian ini. Walaupun Abraham jatuh dalam tempat yang sama, Allah tetap tidak meninggalkannya, justru Allah yang meluruskan seluruhnya, sehingga janji-Nya kepada Abraham boleh tergenapi. Bagi Duguid, Allah memilih seseorang untuk dipakai oleh-Nya bukan berdasarkan hal apa yang dapat dicapainya, tetapi berdasarkan hati seseorang yang telah dibentuk oleh Allah. Melihat hal ini, membuat kita semakin berpengharapan sebab Kristus mengasihi kita baik dalam keburukan maupun kebaikan kita.
Bagian kesebelas ditulis berdasarkan Kejadian 21, saat Ishak dilahirkan. Kelahiran Ishak dikatakan Duguid sebagai sebuah momen sukacita yang besar, namun tidak semua orang dapat mengerti, sebab hanya melalui mata iman saja orang dapat melihat penggenapan janji Allah melalui kelahirannya. Bagi mereka yang menghina penggenapan janji-Nya ini dianggap sebagai orang fasik yang berada di luar perjanjian Allah itu, seperti layaknya Ismael. Sebab, penghinaan merupakan tanda ketidakpercayaan kepada Allah. Selain itu, tindakan Abraham yang mengusir Hagar dan Ismael keluar dari tempatnya pun berdasarkan iman kepada Allah bahwa Ishaklah yang akan mewarisi perjanjian dengan keturunan Abraham, maka dengan keberanian Abraham merelakan Ismael. Menurut Duguid, perbedaan antara anak yang berada dalam perjanjian dan yang tidak berada dalam perjanjian, adalah respons terhadap Kristus. Demikianlah kematian Kristus seharusnya membawa sukacita bagi orang-orang pilihan-Nya, sebab mereka tahu bahwa melalui Kristus saja penggenapan akan janji Allah boleh terlaksana.
Bagian keduabelas membahas mengenai ujian ultimat yang oleh Allah diberikan kepada Abraham pada Kejadian 22. Duguid memberi tahu bahwa sering kali kita mengutamakan berhala bagi diri kita sendiri, bukan Allah, sehingga ketika Allah menguji kesetiaan, iman kita pastilah luntur. Tetapi tidak dengan Abraham yang telah bertumbuh imannya pada bagian ini. Duguid menjelaskan bahwa ketika Abraham diperintahkan Allah untuk mengorbankan Ishak, Abraham langsung menunjukkan ketaatannya tanpa mempertanyakan apa pun. Pada bagian ini, Allah menuntut Abraham sampai kepada ketaatan yang ultimat, dan ia menjalankannya. Setelah Allah melihat ketaatan hati Abraham kepada-Nya, pada akhirnya, Allah sendiri yang menyediakan korban persembahan bagi-Nya. Menurut Duguid, ketaatan seperti ini menggambarkan ketaatan Kristus, namun Kristus tidak pernah gagal dalam menjalankan kehendak Bapa, dan taat sampai kepada ketaatan yang ultimat yakni, di atas kayu salib. Lebih lagi, menurut Duguid, Alkitab ingin menunjukkan kepada kita bahwa Allah sendirilah yang pada akhirnya menyediakan keselamatan melalui Kristus, seperti di saat Ia menyediakan domba bagi Abraham untuk dikorbankan, dan bukan Ishak.
Bagian ketigabelas dijelaskan oleh Duguid bahwa mungkin agak terlihat anti-klimaks berhubung setelah Ishak hampir dikorbankan, pasal selanjutnya justru banyak membahas soal negosiasi tanah. Namun, Duguid menjelaskan bahwa ada beberapa poin yang sangat penting di sini yaitu, mengenai “orang asing dan pendatang”. Bagi umat Allah, dunia ini merupakan tempat persinggahan sementara, dan kita tidak menetap di dunia sekarang ini, maka kita dikatakan sebagai “orang asing dan pendatang”. Pandangan ini akan membentuk respons umat Allah terhadap dosa dan kematian. Duguid memberitahukan bahwa melalui Kristus, kita dapat mengharapkan keberadaan kita yang akan terus bersama dengan Allah di dalam kekekalan setelah kematian nanti. Sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi akan kematian kita.
Bagian keempatbelas dituliskan berdasarkan Kejadian 24. Duguid melihat iman dan ketaatan Abraham yang telah bertumbuh dewasa kepada Allah. Menurut Duguid, Abraham seolah percaya bahwa Allah akan menyediakan bagi Ishak seorang istri, dan jikalau belum, mereka akan menunggu sampai waktu dan pimpinan Allah sendiri yang menyediakannya. Sebab Abraham percaya akan pernikahan yang “hanya di dalam Tuhan”. Maka, Abraham menugaskan hambanya sebuah tugas yang terkesan sebagai “usaha menjaring angin”. Namun, hambanya yang memercayakan seluruh pimpinan kepada Allah, berhasil membawa seorang istri bagi Ishak, tuannya, yaitu Ribka. Duguid menyarankan bagi kita untuk tidak terburu-buru mengambil jalan pintas di dalam pengambilan keputusan. Kita harus meminta arahan dari Allah sendiri, bukan yang lain, sebab hanya Ia yang betul-betul mengerti kita. Dikatakan Duguid, Allah bukan hanya sudah menyediakan korban Domba Penebus bagi kita, namun Ia juga telah berjanji menyediakan hal-hal lain yang kita butuhkan. Yang kita perlu lakukan adalah beriman kepada janji-janji-Nya, dan taat menunggu.
Bagian yang terakhir diambil berdasarkan Kejadian 25:1-18. Duguid menjelaskan bahwa pada bagian ini, janji Allah kepada Abraham sudah mulai digenapi, namun belum secara lengkap tergenapi. Hal ini Duguid klarifikasikan dengan kita, di mana sebagai umat Allah, kita telah menerima kepenuhan Roh Kudus dalam hidup kita, namun itu hanyalah bayaran awal atas penggenapan penuh akan janji Allah yang pada suatu saat nanti akan kita terima, yakni Sabat yang kekal, di saat kedatangan Kristus yang kedua kalinya.
Buku ini mengajarkan sebuah realitas perjalanan iman seorang bapa orang beriman. Perjalanannya bukanlah jalan yang lancar dan penuh dengan kemakmuran. Bahkan kehidupannya pun diwarnai dengan kegagalan, kejatuhan, dan keraguan akan imannya. Namun di balik itu kita melihat begitu agung-Nya Tuhan memimpin dan memelihara iman orang-orang pilihan-Nya. Melalui pembahasan kisah Abraham, kita diajak untuk tetap beriman kepada Allah di tengah-tengah gap antara realitas dan janji-Nya.
Edwin Tjokro
Pemuda MRII Berlin