Judul : Teologi Penginjilan
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerbit : Momentum
Tebal : 80 halaman
Cetakan : 3
Apakah theologi itu? Apakah hanya sekedar teori? Lalu apakah penginjilan itu? Apakah betul hanya sekedar satu semangat? Bolehkah orang Kristen pergi menginjili tanpa memiliki theologi yang kuat? Bolehkah anak Tuhan yang berpegang teguh pada Firman tapi tidak pergi memberitakan Injil? Di Timur maupun di Barat, kita menyaksikan dua ekstrem yang berbeda. Di satu sisi, keKristenan menitikberatkan rasio yang menjadi hakim atas setiap tingkah laku dan pikiran manusia, pada organisasi dan administrasi yang menjadi penghalang untuk memberitakan Injil, dan pada perdebatan theologi yang dijadikan fokus dari aktivitas gereja. Di sisi lain, gereja telah menjadi salah satu pemuas kebutuhan manusia. Dengan mengkompromikan kualitas firman Tuhan, khotbah-khotbah diobralkan dan atraksi ilmu gaib menjadi tontonan yang memuaskan pelanggan. Kedaulatan Tuhan telah diselewengkan menjadi alat untuk mengejar kekayaan duniawi dan karakter manusia. Penginjilan hanya sebatas untuk kalangan sendiri, bukan untuk orang di luar “Israel”. Kedua kondisi ini makin menggerogoti keKristenan dewasa ini bagaikan akar beracun yang telah menjalar di dalam tubuh Kristus.
Melihat semua itu, apakah respons kita di hadapan Tuhan? Apa jawaban kita ketika kita dituntut pertanggungjawaban di hadapan Tuhan? Di antara dua ekstrem itu, kita harus menemukan jalan yang ketiga, yaitu pemikiran Theologi yang sesuai dengan aksioma Alkitab, dan menggabungkan esensi dari semua aliran keKristenan. Bolehkah kita bersemangat dalam penginjilan tanpa memperhatikan kebenaran dari pengajaran kita? Bolehkah kita mendalami theologi tanpa pergi memberitakan Injil? Pak Tong mengatakan orang yang mengetahui theologi tidak boleh tidak memberitakan Injil, dan orang yang menginjili tidak boleh tidak memiliki dasar theologi.
Mari kita melihat Paulus sebagai contoh. Siapakah Paulus? Apakah dia seorang penginjil atau seorang theolog? Konsep umum yang mendualismekan Theologi dan Penginjilan hendaknya berhenti dalam pengertian akan kasus Paulus. Setelah menerima wahyu, Paulus meneliti kebenaran dengan serius. Bersamaan dengan itu, Paulus juga menginjili dengan dinamis, dengan cara yang fleksibel, dengan tekad yang kuat, dan jangkauan yang cukup luas serta menyeluruh. Penginjilan dan Theologi bertalian erat, keduanya harus sama-sama berbobot, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya.
Bab satu menjelaskan tentang wahyu Allah dalam Alkitab. Dalam kasus Adam dan Hawa dijelaskan beberapa hal yang diwahyukan Allah kepada Adam. Yang pertama, sifat Allah yang mengambil inisiatif. Yang kedua, fakta terpisahnya status manusia yang semula dengan status sekarang. Yang ketiga, ketidakberdayaan manusia dan janji Allah yang Mahakuasa. Dalam kasus Kain dan Habel, Allah mewahyukan hanya oleh kasih anugerah-Nya manusia diselamatkan. Keselamatan berkaitan dengan iman, sedangkan hukuman berkaitan dengan perbuatan. Mereka yang percaya diselamatkan oleh imannya, sedangkan mereka yang tidak percaya bukan dihukum karena tidak memiliki iman, tetapi karena perbuatannya yang jahat. Allah terus memberikan wahyu kepada umat-Nya, lewat Abraham yaitu Allah Pencipta dan Allah Juruselamat; lewat bangsa Israel yaitu hukum Taurat, kepercayaan monotheis, lambang korban darah, dan pemerintahan theokratis; sampai kepada titik puncak sejarah, yaitu Firman yang menjadi daging. Wahyu Allah kepada Petrus dan Yohanes semakin membuka pribadi Allah yaitu Allah Tritunggal dan Allah Sang Pribadi Kasih.
Bab kedua menjelaskan tentang sifat dasar Injil. Inilah kunci pengertian kita tentang Injil yang harus kita mengerti dan pegang teguh: Injil bersifat Menebus, Esa, Sempurna, dan Mutlak. Dalam memberitakan Injil, selain doktrin dan pengertian Injil yang benar, kita dituntut juga untuk memiliki motivasi yang murni. Apakah sebenarnya motivasi yang murni dalam penginjilan? Yang paling utama adalah kehendak Allah. Kehendak Allah adalah unsur yang menentukan eksistensi dari segala sesuatu. Allah telah menetapkan Injil dalam kekekalan dan tugas sebagai pemberita dipercayakan-Nya pada kita. Untuk itu tidak ada alasan untuk sombong dan bermegah diri, seolah-olah jika tidak ada kita, orang lain tidak akan mendengar Injil dan beroleh keselamatan. Juga kita tidak boleh menjadikan doktrin ini sebagai penghalang untuk memberitakan Injil, karena predestinasi Allah yang menjamin kita berhasil dalam pemberitaan Injil. Jika kita sungguh-sungguh tahu bahwa penginjilan adalah menaati kehendak Allah, maka kita tidak akan terpengaruh oleh hasil kita. Pengutusan dan dorongan kasih Kristus juga harus menjadi motivasi kita memberitakan Injil. Jika kita tahu Sang Pencipta alam semesta ini yang mengutus kita, apakah kita masih boleh berdiam diri? Jika kita mengalami dan menyelami betapa besarnya kasih pengorbanan Kristus di bukit Golgota, masih tidak relakah kita pergi memberitakan kasih Kristus bagi umat manusia?
Orang Kristen adalah orang yang menuju kesempurnaan melalui perasaan berutang. Alkitab melampaui seluruh ajaran tertinggi manusia. Ketika filsafat Yunani mengajarkan “Take and Give”, Alkitab mengajarkan “Given so give it!” Memberi dengan cuma-cuma, karena kita dianugerahkan dengan cuma-cuma. Dengan perasaan berutang Injil inilah Paulus memberitakan Injil kepada orang Yunani maupun orang bukan Yunani, orang terpelajar maupun tidak terpelajar (Roma 1:14). Dan motivasi penginjilan yang terakhir adalah pengharapan Maranatha. Apa yang harus dilakukan dalam pengharapan kedatangan Tuhan kembali ini? Ada dua hal, yaitu menyucikan diri dan menyelesaikan pekerjaan-Nya melalui pemberitaan Injil.
“Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Di sini sifat Amanat Agung harus diperhatikan dengan saksama. Amanat Agung bukan sekedar agung, tetapi kita harus memahaminya sebagai amanat paling agung sepanjang sejarah. Karena di balik Amanat ini, kehendak Bapa yang kekal dinyatakan dalam Diri Anak. Anak yang telah bangkit menyatakan sifat supraalamiah dari Amanat Agung. Kedua, sifat otoritas dari Amanat Agung ditunjukkan melalui Firman-Nya dengan kuasa-Nya yang melampaui segala kuasa di langit dan di bumi, Kristus memberikan amanat ini dan mengutus murid-murid-Nya. Ketiga, sifat positif, aktif, dan inisiatif ditunjukkan oleh kata “pergilah”. Apakah kita harus menunggu sampai orang menyenangi kita? Ataukah menanti sampai orang menyambut dan menerima kita baru kita pergi menginjili? Keempat, sifat universal “jadikanlah semua bangsa murid-Ku” sangat menentang pemberitaan Injil untuk kalangan sendiri. Kelima, “baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” menunjukkan sifat Gerejawi. Kata “baptislah mereka” berarti membawa orang percaya kepada gereja yang berwujud, supaya kita mendirikan jemaat dan tubuh Kristus di dunia ini. Keenam, dalam Amanat Agung “ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu”, di sinilah kunci penyatuan dari konsep kita yang sering kali salah mendualismekan penginjilan dan doktrin. Sifat doktrinal dalam Amanat Agung tidak boleh dikesampingkan dengan semangat penginjilan yang berkobar-kobar dan nyata. Kedua-duanya harus memiliki bobot yang seimbang baik dalam kuantitas maupun kualitas. Dan yang terakhir adalah sifat kekekalan “dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”. Dalam perintah selalu mengandung janji, dan dalam janji selalu mengandung perintah. Demikianlah, dengan kita menjalankan perintah ini, kita pasti menikmati janji Allah. Soli Deo Gloria.
Edwin Surya
Pemuda GRII Pusat