What, then, is marriage for? It is for helping each other to become our future glory-selves, the new creations that God will eventually make us. The common horizon husband and wife look toward is the Throne, and the holy, spotless, and blameless nature we will have.
Within this Christian vision for marriage, here’s what it means to fall in love. It is to look at another person and get a glimpse of the person God is creating, and to say, “I see who God is making you, and it excites me! I want to be part of that. I want to partner with you and God in the journey you are taking to his throne. And when we get there, I will look at your magnificence and say, ‘I always knew you could be like this. I got glimpses of it on earth, but now look at you!”
Introduksi Penulis
Timothy Keller adalah salah seorang pemikir Kristen yang penting di dalam abad ke-20 dan 21. Dia adalah pengkhotbah dan apologet yang juga menggembalai sebuah gereja besar di tengah kota terpadat di Amerika Serikat, Redeemer Presbyterian Church di New York. Sekalipun pelayanannya terutama berpusat di gereja lokalnya, pengaruh Keller sudah mencapai berbagai belahan dunia, bukan hanya melalui rekaman khotbahnya, tetapi lebih melalui buku-buku yang ditulisnya. Dengan pengalamannya bergumul dengan kompleksitas konteks kota besar dan variasi cara pandang penduduknya yang berasal dari berbagai latar belakang, Keller telah menuliskan sekitar 30 buku yang mencakup topik dari agama, apologetika, gereja, politik, kultur, dan tentunya kehidupan spiritual pribadi.[1]
Resensi
The Meaning of Marriage mengulas pandangan yang alkitabiah tentang pernikahan dan seks. Namun keunikan buku ini ada pada bagaimana Keller menghadapkan theologi Kristen dengan pandangan dan praktik dunia sekarang ini. Dari waktu ke waktu, Keller juga memberikan contoh kasus dari orang-orang dekat yang dikenalnya, bahkan tidak malu untuk membukakan kehidupannya dan istrinya sendiri. Alhasil, buku ini menduduki peringkat tiga teratas secara rating untuk buku-buku tentang pernikahan di dalam situs Goodreads.[2]
Buku ini terdiri dari delapan bab, dimulai dengan empat bab yang mengupas prinsip-prinsip umum pernikahan dan dilanjutkan dengan empat bab yang membahas hal-hal yang lebih praktis di dalam relasi pasangan dalam kehidupan pernikahan.
- Bab pertama memulai dengan memikirkan kembali pandangan umum dunia tentang pernikahan. Asumsi bahwa kohabitasi merupakan hal yang baik untuk mengenal calon pasangan sebelum menikah dan persepsi bahwa kebanyakan pernikahan itu berakhir tidak bahagia ternyata terbukti keliru oleh data riset. Setelah Abad Pencerahan, manusia juga makin menganut sebuah harapan yang tidak realistis untuk menjumpai sang belahan jiwa yang sempurna, yaitu dia yang berparas menarik dan bisa menerima mereka apa adanya. Bagaimana mungkin seseorang dapat memperoleh pandangan yang seimbang akan pernikahan? Rahasianya ada di dalam Injil. Di satu sisi, Injil begitu menyakitkan; dosa kita membawa Yesus, Sang Anak Allah, harus menderita dan mati disalib. Di sisi lain, Injil begitu mulia dan indah; kasih Allah begitu besar mau mengampuni kita yang berdosa. Begitu juga dengan pernikahan, yang kerap mengalami kesukaran, tetapi juga penuh dengan keindahan.
- Pernikahan membawa dua insan berdosa ke dalam satu kehidupan. Dosa selalu menempatkan diri sendiri sebagai pusat, sehingga kita cenderung mengharapkan pasangan kita untuk memenuhi kebutuhan kita, bahkan kekosongan rohani yang sebenarnya hanya mungkin dipenuhi oleh Tuhan sendiri. Roh Kudus mengingatkan kita bahwa kita sudah dicintai oleh Tuhan sedalam-dalamnya, sehingga kita tidak perlu terus memikirkan diri kita dan mulai beranjak untuk memperhatikan kepentingan orang lain. Injil memberikan kita kuasa dan kekuatan untuk mengasihi pasangan kita bahkan ketika kita tidak mendapatkan perlakuan balik yang setimpal.
- Esensi pernikahan adalah sebuah relasi kovenan (perjanjian), bukan relasi konsumer. Ketika relasi konsumer berhenti sewaktu kita tidak lagi menikmati kegunaan dari pihak seberang, relasi kovenan memberikan jangkar untuk kita tetap bertahan dan tidak melarikan diri. Ini juga esensi dari relasi yang Tuhan adakan dengan kita. Dari atas salib, Yesus memandang kita tanpa menemukan satu pun hal yang elok, tetapi Dia tetap tinggal di sana sampai mati bagi kita. Di saat gairah dan perasaan terhadap pasangan kita memudar—entah karena datangnya kelemahan fisik atau munculnya tabiat yang tidak kita senangi—kita tetap tinggal di dalam pernikahan, sambil terus menyatakan tindakan kasih kepada pasangan kita.
- Pernikahan sering dimulai dari sebuah pertemanan. Kita melihat ada kesamaan dalam diri orang lain sehingga kita senang bergaul dan hidup dengannya. Sebagai orang Kristen, kesamaan yang paling mendasar adalah pengalaman menerima pengampunan dosa dan keselamatan oleh anugerah Allah. Sesudah kita dilepaskan dari kuasa dosa, Allah berkehendak agar kita makin kudus dan tak bercacat. Pernikahan merupakan relasi yang paling intim sekaligus paling aman bagi kedua pasangan untuk saling terbuka, saling mengampuni, dan saling menyemangati untuk bertumbuh dalam kekudusan. Melemparkan pandangan kita jauh ke ujung cakrawala, kita diajak untuk melampaui keadaan pasangan kita sekarang yang penuh dengan kelemahan kepada suatu kondisi kemuliaan di akhir ketika dia telah sepenuhnya serupa dengan Kristus.
- Di pertengahan buku ini, Keller mengulas berbagai prinsip praktis bagi kehidupan sehari-hari pernikahan. Di dalam berkomunikasi antar pasangan, kita membutuhkan tiga macam kuasa: kebenaran, kasih, dan anugerah. Kuasa kebenaran (the power of truth) mengizinkan pasangan kita untuk menunjukkan dosa dan kelemahan kita. Kuasa kasih (the power of love) berkhasiat untuk memulihkan kita dari luka dan kesedihan kita, baik sekarang maupun bekas dari masa lampau, dan bahkan ketika seluruh dunia melawan kita. Kuasa anugerah (the power of grace) memampukan kita untuk mengampuni pasangan kita dan menuntunnya kepada pertobatan.
- Isu tentang gender yang makin marak belakangan ini juga menimbulkan tantangan khusus di dalam pernikahan. Bagaimanakah peran suami dan istri terhadap satu sama lain? Siapakah yang mencari nafkah dan mengatur rumah tangga? Keller, memegang pandangan complementarian, percaya bahwa Alkitab telah menyatakan peran dari laki-laki dan perempuan secara jelas. Laki-laki harus menjadi pemimpin yang melayani (servant-leader), dan perempuan menjadi penolong yang sepadan (strong helper). Keduanya saling melengkapi, dan satu tidak lengkap tanpa yang lain. Meneladani Tuhan kita Yesus Kristus, baik laki-laki maupun perempuan bersama-sama berkorban, masing-masing di dalam menyatakan kepemimpinannya (sacrificial authority) dan ketaatannya (sacrificial submission). Di sisi yang lain, Alkitab tidak secara spesifik menentukan pembagian tanggung jawab sehari-hari, sehingga setiap pasangan suami istri perlu menggumulkannya sesuai dengan konteks pernikahan masing-masing.
- Orang yang belum menikah tidak perlu berkecil hati dan menganggap diri kurang sempurna. Paulus, dalam 1 Korintus 7, mengatakan bahwa baik menikah maupun tidak menikah adalah keberadaan yang baik (Yesus sendiri pun tidak menikah dan Dia adalah manusia yang sempurna). Untuk mengamini ini, kita perlu melihat bahwa pernikahan di dunia bukanlah realitas yang terutama, melainkan cicipan dan penunjuk kepada pernikahan sejati (antara Yesus dan kita, mempelai-Nya) dan keluarga Kerajaan Allah kelak. Mereka yang lajang juga didorong untuk saling membangun pertemanan dengan lawan jenisnya di dalam komunitas gereja. Jika gereja memiliki suasana yang kondusif seperti ini, bukan hanya setiap individu dapat memperluas lingkup persahabatannya, tetapi juga makin terbangun apresiasi akan perbedaan dari lawan jenis yang bisa berdampak sehat ke dalam komunitas pelayanan.
- Terakhir, tidaklah lengkap membahas pernikahan tanpa membicarakan seks. Seks diciptakan Tuhan untuk diekspresikan hanya di dalam pernikahan. Dalam hubungan seks, seseorang menyerahkan tubuhnya bagi orang lain, dan ini melambangkan kerelaannya untuk memberikan seluruh hidupnya kepada orang tersebut—secara emosional, pribadi, sosial, ekonomi, dan hukum. Tanpa ikatan pernikahan, penyerahan diri ini justru menjadi berbahaya. C. S. Lewis mengibaratkan seks tanpa pernikahan seperti mencicipi makanan tanpa menelan dan mencernanya. Suatu ide yang absurd. Kehidupan seks yang kudus perlu dipupuk dan dijaga. Secara negatif, kita harus menahan diri untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan orang lain selain pasangan kita. Secara positif, kita memenuhi kewajiban pernikahan kita dengan memberikan kepuasan seksual kepada pasangan kita. Bagaimana kita menjaga kekudusan ini sebelum menikah? Pertama-tama, sadarilah bahwa kerinduan kita yang terdalam bukanlah seks, tetapi kasih dari Kristus. Carilah dan temuilah Kristus dengan sungguh-sungguh melalui kehidupan doa. Gereja juga perlu membangun suasana yang kondusif dan terbuka untuk mendiskusikan tentang seks. Dan ketika pencobaan datang ke dalam pikiran kita, kita tidak meladeni keinginan tersebut dan mengusirnya keluar. Sekalipun kita tidak bisa menghentikan pikiran yang muncul dalam benak kita, kita tetap bertanggung jawab atas respons dan tindakan kita.
Akhir Kata
Buku ini sangat baik untuk dibaca oleh semua jenis kalangan, baik mereka yang sedang mempersiapkan diri menuju pernikahan, mereka yang sudah lama menjalani pernikahan, maupun setiap orang yang masih lajang. Hikmat dan prinsip firman Tuhan di dalam buku ini bisa menemukan aplikasinya di dalam segala tahap hidup pembaca, sehingga kehidupan pernikahan dan seks pembaca dapat dipimpin ke dalam jalan dan tujuan yang memuliakan Tuhan.
Deskripsi Buku
Judul: The Meaning of Marriage: Facing the Complexities of Commitment with the Wisdom of God
Penulis: Timothy Keller
Penerbit: Hodder & Stoughton
Tahun: 2011
Tebal: 283 Halaman
Darwin Kusuma
Redaksi Editorial PILLAR
[1] https://gospelinlife.com/books/
[2] https://www.goodreads.com/shelf/show/marriage