Judul di atas bukan plesetan dari teknologi tetapi merupakan judul sebuah buku yang ditulis oleh Neil Postman. Anda memiliki ketertarikan dengan masalah kebudayaan yang terkait dengan media massa, teknologi, maupun pendidikan? Saya merekomendasikan untuk membaca buku-bukunya. Okay, apa itu technopoly? Istilah ini berasal dari dua buah kata yaitu teknologi dan monopoli. Nah, Anda mestinya sudah dapat menebak apa yang dimaksudkan dengan teknopoli, kan?
Menurut Postman, perkembangan kebudayaan manusia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, dan teknopoli adalah tipe yang terakhir. Kedua tipe yang lain? Anda dapat membacanya sendiri dari bukunya. Alasan saya mengangkat soal ini adalah karena terkait dengan beberapa kasus yang terjadi belakangan ini sehubungan dengan pemakaian teknologi.
Di antara pembaca mungkin ada yang sudah mendengar tentang kasus seorang remaja putri berusia 15 tahun yang menghilang dari rumah keluarganya selama beberapa hari. Menghilang ke mana? Pergi dengan seorang remaja pria yang dikenalnya lewat facebook. Kasus kedua saya dapatkan dari pesan singkat yang dikirim seseorang. Dari pesan singkat itu saya menemukan kasus yang tidak kalah menarik dalam sebuah artikel berjudul “A Geek Love Story” di www.newsweek.com. Lalu, ada kasus yang saya dengar tahun lalu dari www.detik.com mengenai seorang pria Jepang yang membuat petisi online karena ingin menikahi sebuah karakter anime perempuan.
Pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri mengapa kasus-kasus ini terjadi? Pernahkah Anda kemudian berusaha untuk memikirkannya atau Anda hanya bersikap masa bodoh karena menganggap dunia memang sudah makin menggila? Jika iya, berarti hal ini sesuai dengan sebuah riset yang pernah dipublikasikan di London beberapa tahun lalu. Riset ini adalah mengenai kepribadian khas penduduk suatu negara. Disebutkan bahwa yang menjadi kekhasan kepribadian Indonesia adalah sikap tak acuh alias ignorance. Sesungguhnya saya tidak terlalu sependapat dengan temuan ini. Rasanya sikap itu bukan milik bangsa ini tetapi telah menjadi sebuah kecenderungan zaman.
Untuk sedikit mengobati sikap tak acuh tadi baiklah kita menyimak apa yang dikatakan Postman mengenai dampak teknologi. Teknologi itu memiliki dua sisi yaitu menjadi beban dan menjadi berkat. Menjadi beban karena teknologi mengakibatkan sesuatu hal tidak lagi dikerjakan (undo). Menjadi berkat karena teknologi membuka kesempatan-kesempatan baru (do). Tetapi sejauh mana berkat mengatasi beban dan beban mengatasi berkat merupakan hal yang harus dipikirkan dengan serius. Seringkali sebuah teknologi baru dilempar ke masyarakat dengan tidak menghitung social cost yang dibawanya karena produsen hanya peduli dengan keuntungan semata.
Ketika sebuah teknologi tiba di tangan Anda, sudahkah Anda memperhitungkan apa yang menjadi do dan undo dari teknologi tersebut? Apakah Anda cukup puas dengan excitement yang diberikan sebuah blackberry misalnya, lalu melupakan apa yang diambil alih oleh blackberry dari hidup Anda? Lalu, bagaimana dengan situs-situs sosial yang ada dimana Anda mungkin menjadi anggotanya? Bagaimana dengan perangkat portable game yang dimiliki anak atau keponakan Anda? Bagaimana dengan digital camera Anda? Bagaimana dengan mall yang sepertinya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup Anda? Dan seterusnya dan seterusnya. Cobalah Anda berhenti sejenak dan memikirkannya dengan serius…
Sebelum Anda berhenti untuk berpikir, saya ingin membagikan satu pesan berharga yang terselip dalam buku Technopoly tadi. Bunyinya begini: Theology, not technology, provided people with authorization for what to do or think. Jangan buru-buru merasa senang dengan kalimat tadi karena Anda merasa sudah mempelajari Theologi Reformed, karena jangan-jangan itu hanya …
Ev. Maya Sianturi
Kepala Sekolah SMA Calvin
Pembina Remaja GRII Pusat