Buku Norman Wirzba berjudul The Paradise of God: Renewing Religion in an Ecological Age membahas krisis lingkungan (environmental crisis) pada zaman modern. Krisis ini dianggap sebagai akibat pra-anggapan modern yang keliru tentang hubungan manusia dengan alam dan makhluk ciptaan lainnya. Baik dorongan sekularisme maupun penafsiran yang keliru terhadap teks Kitab Suci (khususnya kekristenan); keduanya turut berperan dalam pembentukan pemikiran masyarakat modern: bahwa alam dan makhluk ciptaan lainnya ada untuk memenuhi segala keinginan dan kebutuhan manusia. Wirzba memaparkan kondisi-kondisi yang memungkinkan cara pandang antroposentris tersebut tumbuh subur. Ia kemudian menyajikan doktrin ciptaan holistik yang justru kontras dengan cara pandang modern, hingga memberikan langkah praktis untuk menciptakan kultur manusia yang ramah lingkungan demi kesejahteraan segenap makhluk ciptaan.
Bagi Wirzba, salah satu penyebab utama pembentukan cara pandang modern nan antroposentris adalah urbanisasi besar-besaran, di mana manusia makin independen dari kehidupan agrikultur. Dahulu pada masa pra-modern, ketergantungan antara manusia dan alam merupakan realitas kehidupan yang tidak bisa disangkal. Masyarakat agrikultur memaksa manusia bersentuhan langsung dengan alam dan hidup berdasarkan karunia alam. Bertahan hidup berarti komunitas manusia harus menjaga dan mengusahakan kelestarian lingkungan karena kebutuhan dasar hidup manusia berasal dari alam. Sensibilitas ekologi makin memudar seiring dengan perpindahan tempat hidup masyarakat dari desa ke kota, dan bersamaan dengan itu, hilangnya kontak langsung dengan alam. Kunci keberhasilan hidup masyarakat kota kini bergantung pada transaksi uang dan bukan lagi pada karunia alam. Bagi masyarakat modern, alam hanya dilihat sebagai “sumber daya” untuk merealisasikan segala ambisi dan penemuan teknologi manusia.
Agama juga tidak terlepas dari kesalahan cara pandang modern. Dalam Kitab Suci Yahudi dan Kristen, ada Kejadian 1:28 yang menyatakan bahwa manusia diberikan mandat untuk menaklukkan bumi dan berkuasa atas ciptaan yang lainnya. Sering kali ayat ini disalahartikan. Lynn White dalam esai terkenal The Historical Roots of Our Ecological Crisis berargumentasi bahwa iman Yahudi dan Kristen sangat bersifat antroposentris (berdasarkan kesalahan cara pandang ini) karena mereka mengajarkan dualisme manusia-alam yang dapat membenarkan eksploitasi alam oleh manusia.
Masalah lainnya ialah cara tafsir populer, yaitu dengan pendekatan ‘sejarah penebusan’ yang menekankan respons personal dan eksistensial terhadap panggilan dan penghakiman Allah. Allah Israel, begitu juga Allah Kristen, lebih bekerja melalui sarana sejarah daripada alam. Perbedaan sejarah-alam menjadi penting untuk membedakan Allah Kristen dari mitologi purba atau paganisme yang sering mengidentifikasi alam dengan yang Ilahi. Tidak mengherankan jika penganut interpretasi ‘sejarah penebusan’ tidak terlalu menghiraukan krisis lingkungan karena fokus mereka adalah sejarah manusia di mana Allah bekerja. Adapun konsep keselamatan yang populer di tengah agama kontemporer, yaitu pemindahan (removal) ke suatu tempat—katakanlah sorga—daripada pemulihan (restoration), turut menyuburkan ketidakpedulian manusia akan krisis lingkungan yang ada.
Merekonstruksi Doktrin Ciptaan
Merespons hal ini, Wirzba mengonstruksi sebuah doktrin ciptaan (doctrine of creation) dengan sensibilitas ekologi yang mendalam. Wirzba memulai dengan Yahwist account (Kej. 2, ditandai dengan istilah ‘TUHAN’/’YHWH’): ‘Adam’ dibentuk dari tanah (ay. 7) dan Allah menimbulkan tanaman dari bumi (ay. 9) serta membentuk binatang dari tanah (ay. 19). Hal ini menekankan kekerabatan–daripada keterpisahan–manusia dengan segenap ciptaan dan, dengan demikian, kebergantungan manusia lebih daripada kekuasaan manusia. Manusia kemudian ditugaskan untuk mengusahakan dan memelihara taman Eden (ay. 15). Wirzba menjelaskan bagaimana istilah Ibrani “mengusahakan” dapat diterjemahkan sebagai “melayani”. Dengan demikian hubungan antara tanah dan manusia pertama secara alami saling menguntungkan, bersimbiosis. Wirzba juga mengambil kisah Ayub dalam mengonstruksi doktrin ciptaan. Jawaban Allah terhadap keluh kesah Ayub (Ayb. 38-41) menjadi sumber utama untuk melihat ciptaan sebagaimana Allah melihatnya. Salah satu pelajaran penting bagi Ayub adalah bahwa ciptaan perlu dipahami secara theosentris dan bukan antroposentris. Semua ciptaan, bahkan unsur-unsur yang tidak menarik atau bermanfaat bagi manusia, bernilai bagi Allah, Penciptanya.
Konsep Penebusan dan Keselamatan
Kemudian Wirzba membahas konsep penebusan atau keselamatan. Adam membawa ciptaan ke dalam dosa—suatu kekacauan ciptaan. Kristus adalah Adam Baru yang membalikkan konsekuensi dosa, yakni suatu penataan kembali ciptaan melalui pelayanan rekonsiliasi. Sebagai akibat dari dosa, seluruh ciptaan, bukan hanya umat manusia, telah jatuh ke dalam kekacauan. Konsekuensi logis: penebusan adalah tentang pemulihan segala sesuatu, sehingga ciptaan dapat menjadi seperti yang semula dimaksudkan oleh Penciptanya. Hal ini dapat terlihat di dalam Kitab Wahyu. Yohanes menegaskan kembali bahwa kemah atau kediaman Allah ada di antara manusia. Kota sorgawi turun dari sorga ke bumi (Why. 21:2–3). Ada sebuah gambaran tentang Yerusalem Baru, di mana taman Firdaus, kota, dan bait Allah saling berkelindan.
Kembali ke tuduhan Lynn White: meskipun setuju bahwa secara historis kekristenan mendorong eksploitasi alam, Wirzba menegaskan bahwa sikap eksploitasi tidak intrinsik dalam iman Kristen. Wirzba membedakan tiga pandangan yang menyatakan posisi manusia di bumi: 1) Pengurus (steward); 2) Penghuni (citizen); 3) Pelayan (servant). Simbol manusia sebagai steward, yang banyak dipakai di dalam kekristenan, perlu dipertanyakan kembali karena sering kali mempertahankan gagasan bahwa manusia memegang kendali. Dalam menegaskan superioritas spesies manusia dengan demikian dapat memudahkan sejarah eksploitasi. Lawan dari simbol ini adalah citizen, pandangan yang lebih egaliter. Pandangan ini menegaskan bahwa manusia dimaksudkan untuk menjadi ‘anggota biasa dan warga negara’ dari alam, bukan tuan tirani, bukan juga pengurus. Bagi Wirzba, masalah utama model citizen adalah bahwa titik referensi moral dan spiritual untuk penebusan dan pemulihan ciptaan (yang sebelumnya disediakan oleh konsep imago Dei) dilenyapkan. Wirzba kemudian mengusung model servant. Sebagai hamba ciptaan, manusia tidak sedang merendahkan dirinya namun membangun ciptaan dan berkontribusi pada kesehatan dan keutuhan seluruh makhluk. Tidak seperti versi perkembangan dan kemajuan yang didasarkan pada penghancuran alam untuk “perbaikan” umat manusia, hamba ciptaan mempromosikan visi hari Sabat, yaitu sebuah keberadaan di mana segala unsur ciptaan dimungkinkan untuk secara maksimal menjadi seperti yang dimaksudkan oleh Penciptanya.
Langkah-Langkah Praktis
Langkah-langkah praktis juga selayaknya dihidupi: menyediakan tempat untuk membuat taman (dan mengusahakan serta memelihara taman tersebut), mendukung perekonomian lokal, memikirkan kembali penggunaan energi, mengurangi penggunaan media (televisi atau smartphone) yang sering kali mendorong manusia untuk bersikap egois, merancang ekonomi rumah tangga yang murah hati, dan mengembangkan ritual Sabat. Dalam bidang pendidikan, Wirzba mengusulkan kurikulum liberal arts yang memasukkan “seni desain ekologis”. Desain ekologis adalah penyatuan yang hati-hati antara tujuan manusia dengan pola dan aliran alam yang lebih besar. Dalam bidang teknik/teknologi, Wirzba mengusulkan untuk menggunakan pendekatan yang disebut sebagai “biomimicry”. Pendekatan ini belajar dari, bekerja dengan, dan menghormati integritas ciptaan.
Wirzba berhasil mengonstruksi doktrin ciptaan yang ekologis dengan mendasarkannya pada narasi Alkitab. Buku ini bisa menjadi pelengkap di tengah buku-buku theologi Kristen tentang mandat budaya yang mungkin kurang membahas isu ekologi. Tidak hanya menyajikan analisis budaya yang tajam serta pemahaman theologis yang teliti, buku ini juga memberikan arahan praktis. Kiranya kehidupan orang-orang Kristen bisa selaras dengan pengharapan apa yang mereka miliki, khususnya di tengah krisis lingkungan yang ada saat ini.
Aldo Christi
MRII Gading Serpong
—
Judul: The Paradise of God: Renewing Religion in an Ecological Age
Pengarang: Norman Wirzba
Penerbit: Oxford University Press
Penerjemah: –
Tahun: 2007
Halaman: 240