Sampul buku "Why Johnny Can't Sing Hymns Book"

Why Johnny Can’t Sing Hymns

Judul Asli: Why Johnny Can’t Sing Hymns
Pengarang: T. David Gordon
Jumlah Halaman: 188 Halaman
Penerbit: P&R Publishing

Kehidupan kekristenan dan bergereja tidak dapat terlepas dari musik. Musik bahkan menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan beribadah, maka tidak heran jika pemilihan lagu di hari Minggu menjadi hal yang sering didiskusikan, bahkan diperdebatkan. Ada gereja yang hanya menggunakan lagu-lagu himne dan tidak setuju dengan adanya lagu kontemporer, lalu kita bingung dan bertanya, “Kenapa harus seperti itu?” Jika kita mempunyai pertanyaan yang demikian, buku Why Johnny Can’t Sing Hymns adalah buku yang sangat tepat untuk kita baca. Buku ini tidak terlalu tebal (188 halaman), bahasanya mudah dibaca, dan isinya ringkas serta mudah dipahami. Walaupun buku ini tidak berat untuk dibaca, bukan berarti isinya dangkal. Sebaliknya, buku ini akan sangat menyentil, khususnya bagi kita yang penasaran dan ingin mengetahui pentingnya menyanyikan lagu-lagu himne dan efek negatif dari menyanyikan lagu-lagu kontemporer, khususnya dalam corporate/congregational worship.

Beberapa hal yang menarik dari buku ini adalah bagaimana Gordon menganalisis penggunaan lagu dalam ibadah dari berbagai aspek: budaya zaman, teknis musik itu sendiri, filsafat yang mendasari, dan theologi. Banyak orang gagal melihat pentingnya lagu-lagu himne dan buruknya lagu-lagu kontemporer karena mereka tidak bisa melihat keempat aspek tersebut.

Ada yang berpikir bahwa lagu-lagu kontemporer juga banyak yang liriknya baik. “Isinya kan juga memuji dan menyembah Tuhan,” jadi perbedaannya hanya di masalah selera kita saja. It is not a big deal. Namun, benarkah demikian? Gordon memandang bahwa fokus dari ibadah/penyembahan adalah Tuhan dan bukan diri atau selera kita, sehingga bagaimana ibadah itu dijalankan, termasuk lagu/musik yang dipakai, adalah hal yang sungguh penting. Music selection in worship is a big deal!

Ada juga yang mengutip 1 Korintus 6:12 bahwa segala sesuatu adalah halal (terjemahan ESV: lawful), sehingga pengunaan musik jenis apa pun di gereja diperbolehkan. Namun, Gordon berkata bahwa yang menjadi isu bukan tentang boleh atau tidak boleh, melainkan tentang sesuai atau tidak sesuai jika musik tersebut dipakai dalam konteks ibadah kepada Tuhan. Oleh sebab itu, ada beberapa hal penting yang Gordon berikan tentang musik yang harus dipertimbangkan secara serius dan mengapa lagu himne tradisional lebih baik untuk dinyanyikan daripada lagu Kristen kontemporer.

Hal penting yang pertama yang dibukakan oleh Gordon adalah tentang meta-message yang dibawakan oleh jenis musik tertentu. Apa itu meta-message? Meta-message adalah pesan yang disampaikan secara tersirat kepada para pendengar, dan secara tidak langsung ini membentuk cara pandang kita terhadap objek yang menyampaikan pesan tersebut. Dalam hal ini, objek yang dimaksud adalah musik itu sendiri. Musik kontemporer (istilah kontemporer biasanya dipakai dalam konteks musik gereja, sedangkan dalam konteks musik non-gereja kita lebih sering memakai istilah musik pop) lahir dari kebudayaan pop. Disebut “pop” (yaitu popular) karena kebudayaan pop memang merujuk kepada berbagai hal, mulai dari kepercayaan, produk, objek, sampai praktik hidup, yang dominan dalam kalangan masyarakat pada waktu tertentu. Oleh sebab itu, kebudayaan pop tidak mungkin terlepas dari yang namanya “massa”. Dalam hal ini media sosial, yang dapat menjangkau massa, turut mempromosikan kebudayaan pop dengan menampilkan dan menjual produk yang relevan dengan kebudayaan yang ada ini. Supaya produk tersebut diterima oleh masyarakat luas, isi dari produk yang ditawarkan harus gampang, yaitu yang tidak perlu pembelajaran yang ketat dan analisis yang mendalam. Ini penting guna mencapai kesuksesan komersial. Dan salah satu produk yang dihasilkan adalah musik pop. Dengan demikian, meta-message yang dihadirkan oleh musik pop adalah keremehan dan kedangkalan. Remeh karena produk dari kebudayaan pop biasanya untuk tujuan komersial dan yang tidak menyangkut kepentingan yang sangat besar dalam hidup si pengguna produk tersebut. Dangkal karena memang si pengguna tidak perlu keahlian atau wawasan yang khusus untuk dapat menikmati produk yang ditawarkan. Namun, apakah musik kontemporer juga menyampaikan meta-message yang sama? Sama, karena musik kontemporer pun lahir dari kebudayaan pop; gaya bermain lagu kontemporer mirip dengan gaya bermain lagu pop, dan instrumen untuk memainkan lagu kontemporer pun mirip dengan instrumen yang dipakai untuk memainkan lagu pop. Bukti lain bahwa musik kontemporer lahir dari kebudayaan pop adalah orang-orang, khususnya yang non-Kristen, hampir tidak bisa membedakan lagu mana yang termasuk lagu gereja dan mana yang lagu duniawi ketika kedua lagu tersebut dimainkan tanpa melihat atau mendengar liriknya. Oleh sebab itu, Gordon bertanya, “Cocokkah jika musik kontemporer, yang sebenarnya mengirimkan meta-message keremehan dan kedangkalan, kita pakai untuk menyembah Tuhan yang Mahaagung dan transenden?”

Hal kedua yang harus dipertimbangkan adalah karakteristik yang dibawakan oleh genre musik tertentu. Gordon mengklasifikasikan musik menjadi tiga genre: high/classical, folk, dan pop/massa. Lagu-lagu himne kekristenan kebanyakan jatuh pada dua genre yang pertama, sedangkan lagu Kristen kontemporer jatuh pada genre yang ketiga. Merujuk pada analisis Kenneth A. Myers, Gordon membandingkan beberapa karakteristik penting antara musik bergenre high/classical/folk dan pop, misalnya musik bergenre high/classical/folk mendorong para pendengar merefleksikan hal-hal yang bersifat transenden, sedangkan genre pop berfokus untuk membawa pendengar kepada pengalaman lokal yang ada sekarang. Juga, musik high/classical/folk menghadirkan keseriusan atau kekhusyukan, sedangkan musik pop menghadirkan atmosfer yang kasual. Dan satu lagi, musik high/classical/folk menekankan sifat komunal: ia merayakan pengalaman yang sama sebagai umat manusia, sedangkan musik pop menekankan pengalaman individu. Dari ketiga contoh karakteristik ini, Gordon kemudian bertanya, “Genre musik yang mana yang lebih cocok dengan semangat kekristenan yang menyembah Allah yang transenden, yang suci, yang menuntut keseluruhan hidup manusia, dan yang menebus umat pilihan-Nya sebagai satu komunitas gereja?” Jawabannya sudah jelas, maka Gordon bertanya lagi, “Lagu-lagu seperti apa yang lebih cocok masuk ke dalam genre high/classical/folk, himne atau kontemporer?”

Hal yang ketiga yang Gordon bukakan adalah filsafat dan semangat yang mendasari penggunaan lagu-lagu kontemporer. Banyak orang zaman ini secara tidak sadar dipengaruhi oleh semangat modernisme yang percaya bahwa sesuatu yang baru adalah lebih baik karena ada kemajuan pada hal-hal yang baru. Oleh sebab itu, lagu-lagu kontemporer pun juga dipandang lebih baik daripada lagu-lagu himne yang jadoel. Mungkin orang-orang tidak menganggap bahwa lagu-lagu himne adalah lagu yang buruk, tetapi mereka memandang bahwa lagu-lagu kontemporer jauh lebih relevan dengan pengalaman yang ada sekarang ini. Semangat ini juga dipromosikan oleh “perkembangan” dan perubahan yang serba cepat, misalnya dalam bidang teknologi (ini yang paling kelihatan). Ini membuat manusia sulit untuk berpikir ulang apakah memang perubahan yang ada itu selalu lebih baik: perubahan dari himne tradisional ke musik kontemporer. Gordon mengajukan sebuah pertanyaan, “Apakah bijak meninggalkan harta yang sudah diwariskan ratusan, bahkan ribuan tahun?”

Hal yang terakhir adalah theologi yang dibawakan oleh lagu-lagu yang ada. Dalam hal ini Gordon membandingkan theologi yang dibawakan oleh himne tradisional dan lagu Kristen kontemporer. Theologi yang dimaksud bukan hanya dari segi teks/lirik saja, walaupun itu sangat penting, tetapi juga dari segi musik. Ini tidak selalu berarti bahwa lirik dari lagu Kristen kontemporer adalah sesat (walaupun kenyataannya memang ada yang sesat), melainkan theologi yang dibawakan sangat dangkal jika dibandingkan dengan lagu-lagu himne yang baik (yang baik, karena memang ada juga beberapa himne tradisional yang buruk untuk dinyanyikan). Ada yang mengatakan bahwa theologi yang benar, walaupun dangkal, yang ada pada lagu kontemporer itu tidak apa-apa, karena musik kontemporer lebih bisa membangkitkan perasaan kita akan cinta kepada Tuhan. Namun, Gordon mengatakan dua hal penting: 1) bahwa Paulus mengajarkan dalam 1 Korintus 14:15 bahwa perasaan dan pikiran harus digunakan dalam menyembah Tuhan, dan 2) perasaan yang digairahkan tanpa pikiran yang sehat adalah perasaan yang liar. Dengan demikian, pikiran juga memainkan peranan penting dalam menyembah Tuhan melalui lagu yang dinyanyikan. Theologi yang mendalam mengajak kita untuk berpikir dan membuat kita lebih mengerti tentang siapa Tuhan dan siapa manusia. Pengertian yang lebih mendalam ini seharusnya membuat kita kagum akan Tuhan, sehingga perasaan kita pun digairahkan. Ini yang Gordon sebut dengan sentimen yang sehat. Gordon kemudian menambahkan bahwa satu kriteria yang dapat dipakai untuk menilai kualitas sebuah lagu penyembahan adalah dengan membaca lirik lagu tersebut tanpa memakai musik: Apakah pemahaman akan lirik tersebut tetap dapat membangkitkan perasaan kita?

Gordon sebenarnya masih banyak memberikan detail yang lebih menarik dalam bukunya yang mendorong kita untuk ingin membaca bukunya sampai habis. Melalui buku ini, Gordon mengajak kita untuk menilai penggunaan musik gerejawi dengan lebih holistik.

Akhir kata, sebenarnya ini bukannya Johnny tidak menyanyikan himne (does not sing hymns), tetapi Johnny tidak bisa menyanyikan himne (cannot sing hymns). Johnny terjebak dalam budaya monogenerational di luar gereja, sehingga untuk dapat berelasi dengan gereja, kebudayaan dalam gereja juga harus menjadi monogenerational. Gereja, yang diberikan panggilan penebusan, seharusnya menolong dan menyembuhkan Johnny, dan bukan malah ikut-ikutan kebudayaan yang remeh ini.

Ivan Tan
Pemuda FIRES