Dengan ketajaman alami, Cornelius Van Til suatu kali berkomentar tentang fakta, “Tidak ada fakta yang dapat diketahui kecuali diketahui dalam relasinya dengan Allah.”[1] Menurutnya, fakta harus selalu dihubungkan dengan Allah karena fakta ada di dalam ruang dan waktu, di mana ruang dan waktu adalah berasal dari Allah. Karena itu, orang non-theis “sebenarnya belum melihat fakta, melainkan hanya mengira melihat fakta . . . Sebaliknya, hanya orang theis Kristen yang mempunyai fakta karena semua fakta merupakan fakta theistik.”[2] Apakah pernyataan Van Til ini terdengar berlebihan? Atau apakah kalimat-kalimat tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan mendapat dukungan Alkitab? Ataukah hanya merupakan natur bawaan atau gangguan psikis Van Til yang selalu tergoda untuk menuliskan proposisi-proposisi tajam, menusuk perasaan orang non-Kristen? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu memikirkan apa hubungan fakta dengan kita dan dengan Allah.
“In the beginning is hermeneutics.”[3] Pada mulanya adalah hermenutik, kata Derrida. Tetapi sebenarnya yang datang mendahului hermeneutik adalah metafisik, karena bentuk hermenutik kita bergantung sekali dengan keberadaan ultimat seperti apa yang kita percayai. Jika kita seperti Derrida tidak percaya akan adanya keberadaan ultimat di luar teks, tidak sulit bagi Derrida untuk memuridkan kita dan mulai mengajari kita cara mendekonstruksi segala sesuatu. Namun bagaimana caranya kita tahu bahwa di luar teks sebenarnya ada keberadaan ultimat? Maka, lebih awal dari metafisik seharusnya adalah epistemologi, karena cabang filsafat ini bergelut tentang bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu, termasuk mengetahui keberadaan ultimat itu sendiri.
Sebab itu, pernyataan Derrida tidak dapat kita terima. Pada mulanya bukan hermeneutik. Pada mulanya juga bukan metafisik, bahkan pada mulanya bukan epistemologi. Pada mulanya adalah Firman. Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Firman dan tanpa Firman tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan (Yoh 1:1, 3). Karena inilah Ia disebut Raja atas seluruh dunia (Wah <time hour=”17″ minute=”14″ w_st=”on”>17:14</time>, <time hour=”19″ minute=”16″ w_st=”on”>19:16</time>). Ia adalah Sang Mesias, yang diurapi menjadi Raja tidak hanya atas anggur di Kana, atas <place w_st=”on”><city w_st=”on”>lima</city></place> roti dan dua ikan, atas badai, dan atas ruang dan waktu; Ia juga adalah Raja atas fakta, fisika, biologi, kimia, matematika, bahasa, dan seni.
Dengan demikian, bagaimana mungkin seseorang dapat mengaku sudah melihat fakta atau mengerti matematika tanpa mengenal Raja mereka? Dr. Samuel Ling ketika memberi seminar tentang Epistemologi Reformed di Jakarta (tahun 2001) berkata:
“In order to have a true knowledge about ourselves and the universe, we need to have a true knowledge about God. Our knowledge of ourselves must be related to our knowledge of God. We must let our knowledge of God affects/governs our knowledge of ourselves and the world. We must know God in order to know ourselves and the world.”
Pengetahuan kita akan dunia ini tidak terlepas dari pengetahuan kita akan Tuhan. Pernyataan Van Til tidaklah berlebihan, dan tidak ada yang salah dengan psikisnya. Hanya orang Kristen yang memiliki fakta karena “semua fakta merupakan fakta theistik”.
Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan. (Ams 1:7) Tetapi bagaimana kita dapat takut akan Tuhan jika kita tidak mengenal-Nya? Siapa yang dapat menolong kita orang berdosa ini mengenal Tuhan? Di dalam 1 Kor 2:10-11 Paulus menulis:
“Karena kepada kita Allah telah menyatakannya oleh Roh, sebab Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah. Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah.”
Jawabannya adalah testimonium Spiritu Sancti internum, kesaksian internal oleh Roh Kudus. Ini adalah kunci kita mengerti kaitan antara mendapatkan pengetahuan dengan takut akan Tuhan. Kita harus mengenal Allah supaya dapat mengenal diri dan dunia ini, kata Dr. Samuel Ling, tetapi tanpa kesaksian Roh Kudus, kita tidak dapat mengenal Allah.
Roh Kudus menyaksikan kepada kita bahwa Tuhan itu Tritunggal. Jika kita konsisten dengan pernyataan bahwa “our knowledge of God affects our knowledge of ourselves and the world”, pengetahuan kita bahwa Allah itu Tritunggal harus mempengaruhi cara kita melihat dunia ini. Memang tidak ada cara lain lagi yang benar untuk mengerti pola dunia ini selain dari perspektif Tritunggal. Bagaimana lagi kita dapat menjelaskan kondisi unity and diversity dalam dunia ini selain mengakui bahwa dunia ini memang berasal dari Tuhan yang One and Many?
Keberatan yang biasanya keluar adalah dari orang yang percaya pada monotheisme absolut: tidak dapatkah Allah yang One, not Many menciptakan dunia dengan kondisi unity and diversity? Bukankah Allah Mahakuasa? Segera terlihat juga akar asumsi yang melahirkan keberatan ini: Allah tidak sesempit diri-Nya sendiri. Allah tidak harus mengikuti pola internal-Nya untuk menciptakan sesuatu. Ia punya wawasan yang luas. Namun keberatan ini adalah kesalahan fatal, disebabkan oleh pra-asumsinya bahwa sebelum dunia diciptakan ada suatu pola di luar Tuhan yang dapat Tuhan tiru sebagai pola-Nya untuk menciptakan dunia ini. Akan tetapi, orang yang berkeberatan itu menyanggah lagi: bukankah Allah Maha Kreatif, sehingga Ia dapat menciptakan sesuatu tanpa harus menyontek dari pola yang ada pada diri-Nya sendiri maupun dari luar diri-Nya. Sanggahan tersebut tidak dapat menjelaskan mengapa Tuhan harus memikirkan sebuah pola yang lain dari pola internal-Nya. Apakah pola internal-Nya bukan pola yang terbaik dari semua pola yang dapat Ia pikirkan? Mengapa Tuhan tidak menciptakan dunia yang unity without diversity? Mengapa harus berpola unity and diversity? Apakah Tuhan sengaja tidak menciptakan dunia dengan pola yang terbaik? Jika dunia ini bukan karya masterpiece Tuhan, berarti masih ada kemungkinan Tuhan menciptakan dunia yang lebih baik dari dunia yang sekarang ini. <place w_st=”on”><city w_st=”on”>Mengapa</city> <state w_st=”on”>Ia</state></place> tidak menciptakan dunia yang lebih baik itu?
Ini menjelaskan bahwa tidak ada Allah lain selain Allah Tritunggal yang punya alasan untuk menciptakan dunia yang bercirikan unity and diversity ini. Allah Tritunggal bukanlah Allah yang berwawasan sempit karena harus terkurung di dalam pola internal-Nya ketika menciptakan sesuatu. Allah harus melihat pada pola internal-Nya, karena di luar Dia bukan hanya tidak ada lagi pola yang lebih baik: di luar Dia tidak ada apa-apa lagi. Atau, sebelum dunia dijadikan, tidak ada istilah ‘di luar Dia’.
Pengetahuan kita tentang Allah Tritunggal mempengaruhi cara kita melihat dunia ini, termasuk seni. Takut akan Allah Tritunggal adalah permulaan pengetahuan tentang seni. Vern Sheridan Poythress di dalam bukunya “God-Centered Biblical Interpretation”[4] memberikan beberapa triad penting untuk mengerti banyak hal dari perspektif tritunggal, yang nantinya dapat kita gunakan untuk mengerti seni. Beberapa triad yang harus kita pelajari untuk kepentingan kita pada saat ini adalah: triad of imaging, triad of purpose, dan ontological triad.
| Father | Son | Holy Spirit |
Triad of Imaging | Originary | Manifestation | Concurrent |
Triad of Purpose | Presence | Truth | Control |
Ontological Triad | Classificational | Instantiational | Assosiational |
Di dalam triad of imaging, Poythress mencoba memberikan kepada kita gambaran (image) Allah Tritunggal, yang nantinya akan menjadi fondasi bagi triad-triad yang lain. Di dalam triad ini, dinyatakan bahwa Allah Bapa adalah Sumber (originary), Allah Anak adalah Manifestasi (manifestation) dari yang sumber itu (Kol <time hour=”13″ minute=”15″ w_st=”on”>1:15</time>, Ibr 1:3). Allah Bapa dan Anak adalah satu. Bapa ada di dalam Anak dan Anak di dalam Bapa. Ikatan (concurrent) ini dimungkinkan oleh Roh Kudus, karena dikatakan bahwa Bapa mengurapi Anak dari kekekalan. (Ams 8:23) Roh Kuduslah yang dipakai oleh Bapa untuk mengurapi Anak.
Triad of Purpose digunakan oleh Poythress untuk menjelaskan tujuan firman Allah diberikan. Wahyu Allah ada untuk menyatakan kehadiran Allah (presence), menyatakan kebenaran (truth), dan menjalankan kendali atas hidup kita (control). Ontological Triad sangat membantu kita mengerti tentang arti. Setiap kata atau istilah selalu merupakan bagian dari sebuah kelompok (classificational), namun mempunyai keunikan (instantational), dan berasosiasi dengan kata-kata lainnya (associational). Triad ini dipakai oleh Poythress untuk mengerti natur istilah dan penamaan, natur sejarah, dan lain-lain.
Bagaimana kita dapat melihat seni dari perspektif Trinitas ini? Pertama-tama, kita harus mengerti karakter dari masing-masing posisi yang ada di dalam triad ini. Allah Bapa selalu digambarkan sebagai yang menjadi sumber, yang umum, yang prinsip, dan yang abstrak. Allah Anak selalu digambarkan sebagai yang manifestasi, yang khusus, detil, dan yang konkrit. Sedangkan Roh Kudus selalu digambarkan sebagai yang mengasosiasikan, yang mendekatkan, yang menyatukan, dan yang membawa perubahan.
Dengan bantuan triad of imaging, kita dapat membuat sebuah triad turunan (derivative) yang menggambarkan natur karya seni:
| Father | Son | Holy Spirit |
Triad of Imaging | Originary | Manifestational | Concurrent |
The nature of the arts | The Idea of Beauty | The Art Work | Creativity |
Sebuah karya seni selalu merupakan manifestasi dari ide tentang keindahan yang ada di awang-awang dan manifestasi ini dapat berhasil, atau dimungkinkan, hanya karena adanya daya kreativitas dari sang seniman. Hal ini mengingatkan kita pada sifat kesatuan Allah Tritunggal kita. Allah Bapa ada di dalam Allah Anak dan Allah Anak ada di dalam Allah Bapa. Dan ini dapat terjadi karena Allah Anak dipenuhi oleh Roh Kudus. Roh Kuduslah yang memungkinkan indwelling ini dapat terjadi. Demikian juga, kreativitaslah yang memungkinkan keindahan yang abstrak hadir di dalam karya seni yang konkrit. Sedangkan karya seni adalah manifestasi dari ide keindahan yang ada di dalam benak sang artis, sebagaimana Allah Anak adalah manifestasi dari Allah Bapa yang tidak kelihatan.
Dengan cara yang sama, kita juga dapat membuat sebuah triad turunan dari triad of purpose untuk mengerti tujuan sebuah karya seni diproduksi.
| Father | Son | Holy Spirit |
Triad of Purpose | Presence | Truth | Control |
The purposes of producing artworks | Presence | Worldview | Transformation |
Sebuah karya seni seharusnya dibuat untuk menceritakan kehadiran pembuatnya, yang sebagai gambar dan rupa Allah juga mempunyai keinginan untuk meninggalkan gambar dan rupanya dalam bentuk karya seni. Artinya, tidak sesuai dengan argumen Roland Barthes dan Michel Foucault, the author is not dead. Seniman tidak kehilangan kontrol atas karyanya begitu karyanya selesai dibuat. <place w_st=”on”>Para</place> seniman mempunyai intensi bagaimana seharusnya karya mereka ditafsirkan, dan menyatakan intensi mereka di dalam konvensi bidang seni yang mereka geluti. Jika cantata Bach dimainkan dan ditafsirkan dengan benar, ia tetap akan memancarkan jiwa relijius pembuatnya, dan tidak akan berubah menjadi musik yang menghujat Tuhan.
Setiap karya seni yang baik diproduksi dengan tujuan menyatakan isi hati sang artis, yang tidak dapat lepas dari cara pandang semestanya (wordview-nya). Sebuah karya yang memberi inspirasi adalah karya yang menyatakan kebenaran (the truth). Derrida keliru, there is something outside the text, sesuatu kebenaran yang dirujuk oleh karya seni si artis. Dengan memilih untuk menyampaikan kebenaran melalui seni, si artis bermaksud menambahkan daya ledak dari kebenaran tersebut. “Art forms add strength to the world view which shows through, no matter what the world view is or whether the world view is true or false.”, tulis Francis Schaeffer.[5]
Akhirnya, karya seni dihasilkan untuk mentransformasi pandangan para penikmat seni sehingga mereka dapat melihat dunia ini dengan berbeda atau lebih jelas. Schaeffer bercerita tentang bagaimana sebuah lukisan Rembrandt tentang seonggok daging sapi yang tergantung di sebuah toko daging menyebabkan ia tidak pernah melihat dengan cara yang sama lagi pemandangan seonggok daging yang tergantung.[6] Selain itu, menurut Abraham Kuyper, Calvin melihat seni sebagai “usaha yang mulia untuk menyingkapkan bagi manusia suatu realitas yang lebih tinggi daripada yang ditawarkan kepada kita oleh dunia yang rusak dan berdosa ini.”[7]
Perlu ditekankan di sini bahwa perbedaan antara tujuan dan hasil yang benar-benar tercapai perlu disadari. Sebuah tujuan yang sudah dibuat belum tentu akan berhasil. Kadang-kadang sebuah karya seni gagal menceritakan kehadiran dan worldview pembuatnya, atau mungkin ia gagal mentransformasi cara pandang orang yang menikmatinya. Ini semuanya dapat saja terjadi padahal sang artis sudah berusaha sebaik mungkin. Perlu diingat, di sini kesalahan bukan pada tujuan sang artis, namun lebih kepada kapasitasnya. Di lain pihak, jika seorang seniman sengaja membuat karyanya agar tidak memenuhi tujuan ini, ia bukanlah seniman yang baik. Seorang seniman yang baik seharusnya membuat sebuah karya seni dengan mengingat ketiga tujuan di atas, karena jika kita melihat dunia ini, yang adalah karya seni terindah yang pernah ada, ia diciptakan dengan ketiga tujuan di atas: menceritakan kehadiran dan worldview Pencipta-Nya (Mzm 19:2), dan ia membuat manusia yang mengamatinya terkagum-kagum (Mzm 8:4-5, 19:2-5). Banyak orang yang mengaku cara pandang hidupnya berubah sesudah merenungkan keindahan alam yang agung ini. Pencipta kita berkarya dengan ketiga tujuan di atas. Seorang artis yang baik seharusnya mencontoh Sang Artis yang utama itu.
Sejauh ini, kita sudah mempelajari natur dan tujuan seni. Ini adalah tema-tema penting di dalam estetika. Yang tidak kalah penting dan tidak lebih jarang diperdebatkan adalah masalah nilai. Apa itu seni yang baik? Bagaimanakah seni yang sempurna itu?
<city w_st=”on”><place w_st=”on”>Ada</place></city> satu tuntutan diri dari seorang seniman dalam membuat sebuah karya seni, dan hal yang sama juga yang dituntut oleh seorang kritikus atau penikmat seni ketika mengapresiasi sebuah karya seni: kesempurnaan. Seorang seniman akan berjuang mati-matian membuat sebuah karya seni sampai karya seni itu tampak sempurna di matanya. Kesempurnaan merupakan hal yang penting dalam seni. Tapi apa yang menjadi standar kesempurnaan itu? Bagi mata seorang Picasso, lukisannya mungkin sudah tampak sempurna karena memang seperti itulah lukisan yang ingin dilukisnya. Namun bagi orang lain mungkin lukisannya lebih tampak seperti kekacauan karena tidak ada proporsi dan penempatan organ-organ tubuh atau perspektif yang benar. Kami yakin bahwa mata Picasso masih cukup sehat untuk bisa membedakan di mana letak mata, hidung, dan mulut yang benar. Tapi ia sengaja menciptakan ketidaksempurnaan itu karena mungkin itulah yang membuat lukisan itu tampak sempurna baginya. Di sisi lain, berbeda lagi halnya dengan pelukis-pelukis lain, seperti Raphael atau Kandinsky. Apa yang sempurna bagi satu orang belum tentu sama bagi orang lain. Jadi sebenarnya adakah standar mutlak kesempurnaan dalam seni? Bila tidak, bagaimana kita menilai sebuah karya seni? Bila ada, apakah itu?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu mencari tahu, apakah Tuhan pernah mengapresiasi dan menilai sebuah karya seni? Jika pernah, apa standar Tuhan? Jawabannya ada di balik frase ‘sungguh amat baik’ yang muncul di Kejadian 1:31 ketika Tuhan memuji karya seni-Nya sendiri, karya seni ultimat itu. Apa saja pertimbangan Tuhan ketika memberikan penilaian seperti ini? Komentar dua theolog Reformed untuk ekspresi Tuhan ini sangat diperlukan di sini.
Komentar John Calvin untuk ungkapan ‘sungguh amat baik’ di dalam Kej 1:31 adalah: “he pronounces it perfectly good; that we may know that there is in the symmetry of God’s works the highest perfection, to which nothing can be added.” Sementara itu, Matthew Henry menulis bahwa Allah berkata “sungguh amat baik” karena: “(1) Now man was made . . . who was designed to be the visible image of the Creator’s glory . . . (2) Now all was made; every part was good, but all together very good. The glory and goodness, the beauty and harmony, of God’s works, both of providence and grace, as this of creation, will best appear when they are perfected.”
Calvin menghubungkan kata “sungguh amat baik” dengan kelengkapan (completeness, “to which nothing can be added”). “Sungguh amat baik” bagi dia artinya tidak ada lagi yang perlu ditambahkan karena sudah benar-benar selesai dan sempurna. Sementara itu, bagi Henry kehadiran manusia sangat penting untuk menyatakan kesempurnaan ciptaan karena mereka didisain untuk menjadi gambar dan rupa Tuhan. Selain itu, Henry memasukkan konsep keunikan di dalam keutuhan (“every part was good, but all together very good”) dan harmoni (“harmony of God’s works”).
Jika kita gabungkan komentar Calvin dan Henry, kita mempunyai elemen yang lengkap untuk membentuk sebuah triad turunan dari ontological triad.
| Father | Son | Holy Spirit |
Ontological Triad | Classificational | Instantiational | Association |
Triad of Art Perfection | Completeness | Uniqueness | Harmony/Coherence |
Completeness berarti sebuah karya seni yang sempurna haruslah mempunyai konklusi. Sebuah lagu jika tidak dimainkan sampai not terakhir akan terasa menggantung dan tidak sempurna. Namun, mempunyai konklusi tidak hanya berarti selesai dibuat, tapi juga mengimplisitkan bahwa tidak ada lagi yang bisa ditambahkan untuk menambah keindahan sebuah karya tanpa merusaknya.
Uniqueness artinya harus terdapat keragaman di dalam sebuah karya seni yang sempurna. Jika seluruh permukaan sebuah kanvas hanya dipenuhi oleh satu warna dengan ketebalan yang sama, itu bukan hanya lukisan yang tidak sempurna, tapi itu mungkin bukan lukisan. Musik yang baik adalah musik yang menghindari kemonotonan.
Akan tetapi, keragaman itu harus disatukan dengan keharmonisan dan kekoherensian (keutuhan). Keragaman unsur yang masing-masing bersifat unik itu harus bisa harmonis satu dengan yang lainnya. Misalnya, kata-kata dalam sebuah puisi berbeda-beda dan masing-masing adalah unik, tapi keseluruhan puisi tersebut, yaitu gabungan dari semua kata-kata yang unik tadi, harus membentuk suatu keutuhan arti.
Bagaimana dengan poin pertama dari komentar Henry? Mengapa Tuhan menilai ciptaan-Nya “sungguh amat baik” karena Ia sudah menciptakan manusia? Jawaban kami adalah: manusia adalah gambar dan rupa Allah. Karena kehadiran manusia menyatakan presence Allah, tujuan karya seni Allah pun tercapai melalui manusia. Dan karena tujuan karya seni Allah sudah tercapai, maka Tuhan menilainya sungguh amat baik. Ini dapat kita masukkan ke dalam poin completeness di atas. Sebuah karya seni baru bisa dikatakan komplit kalau sudah mencapai tujuannya diciptakan.
Sampai di sini, kita sudah membahas beberapa tema penting tentang seni melalui perspektif tritunggal. <city w_st=”on”><place w_st=”on”>Ada</place></city> bagian-bagian yang mungkin masih sangat superfisial. Ini berarti masih banyak ruang untuk pembaca sekalian kembangkan. Di sini kami hanya menunjukkan bahwa pola yang ada di dalam Allah Tritunggal ternyata selama ini sudah mendasari pola yang dapat kita temui di dalam seni.
Kami juga ingin menyatakan bahwa sudah selayaknya semua kemuliaan dikembalikan kepada Allah Tritunggal, karena Dia-lah Raja atas segala yang ada di dunia ini, termasuk seni. Kiranya Kerajaan-Nya boleh nyata di bumi, dan kehendak-Nya jadi di bumi seperti di sorga.
Aldo Lammy, Chrissie, Erwan, Jethro Rachmadi, dan Niko De Mus
REDS – Arts
[1] C. Van Til & L. Berkhof, Dasar Pendidikan Kristen (<place w_st=”on”><city w_st=”on”>Surabaya</city></place>: Penerbit Momentum, 2004), hlm. 27, diterjemahkan dari Foundations of Christian Education (Phillipsburg: Presbyterian and Reformed Publishing Co., 1990)
[2] Ibid., hlm. 24
[3] Jacques Derrida, <place w_st=”on”><city w_st=”on”>Edmond</city></place> Jabès and the Question of the Book. Dikutip oleh James. K. A. Smith di dalam The Fall of Interpretation (<place w_st=”on”>Downers Grove</place>: InterVarsity Press, 2000), hlm. 149
[4] Poythress, V. S. God-centered Biblical Interpretation (<place w_st=”on”><city w_st=”on”>Phillipsburg</city></place>: P & R Publishing. <place w_st=”on”>Co.</place>, 1999)
[5] F. A. Schaeffer, Art & the Bible (Downers Grove: InterVarsity Press, 1973), hlm. 38.
[6] Ibid.
[7]A. Kuyper, Ceramah-Ceramah Mengenai Calvinism (<place w_st=”on”><city w_st=”on”>Surabaya</city></place>: Penerbit Momentum, 2005), hlm. 184. Diterjemahkan dari Lectures on Calvinism (Grand Rapids: Wm B. Eerdmans Publishing Company, 1931)