“All music should have no other end and aim than the glory of God and the soul’s refreshment; where this is not remembered there is no real music but only a devilish hubbub (semua musik tidak boleh memiliki tujuan lain selain kemuliaan Tuhan dan penyegaran jiwa; ketika ini tidak diingat, tidak ada musik yang sejati tetapi hanya keriuhan setan).” – Johann Sebastian Bach
Meminjam dari definisi yang diberikan oleh Bach, apakah kemudian ada “musik” yang tidak sejati? Di manakah perbedaan antara “musik” dan “keriuhan setan”?
Seorang ibu bercerita mengenai bagaimana ia mengalami baby blues pasca melahirkan, dan bagaimana Tuhan sajalah yang menjadi penghiburannya. Saat dilanda kesulitan dan penderitaan, kita sering mendengar kata-kata seperti, “Semoga Tuhan memberikan penghiburan.” Masalahnya, bagaimana caranya Tuhan memberikan penghiburan? Tuhan tidak akan membuat seorang bayi tiba-tiba menjadi dewasa agar sang ibu bisa kembali mendapatkan “kebebasannya”. Tuhan tidak akan tiba-tiba membangkitkan keluarga kita yang sudah meninggal agar kita bisa kembali merasakan sukacita bersama orang tersebut. Tuhan juga tidak tiba-tiba membuat dua orang yang berseteru saling mengerti satu sama lain sehingga perang berhenti dan dunia kembali hidup dalam damai. Salah satu penghiburan yang Tuhan berikan adalah musik. Musik dapat membawa manusia mengalami kesegaran dan semangat baru dalam menjalani hari yang baru.
Musik yang memuliakan Tuhan, musik yang teratur, musik yang membawa kita mengingat pengharapan dalam Tuhan, dapat menyegarkan jiwa manusia. Salah satu musik yang kita miliki adalah Kantata 150 dari Johann Sebastian Bach. Ada yang meragukan apakah ini benar karya Bach atau bukan, tetapi banyak yang berargumen bahwa variasi tempo dan karakter seperti dalam kantata ini merupakan ciri khas kantata awal Bach.
Kata-kata dalam bagian 2, 4, dan 6 diambil dari Mazmur 25 yang merupakan doa Daud kepada Tuhan saat dia harus berhadapan dengan musuh-musuhnya. Sedangkan bagian 3, 5, 7 merupakan puisi akrostik yang membentuk nama seorang dewan kota Mühlhausen yang memiliki suara penting sewaktu menunjuk Bach menjadi organis di sana pada tahun 1707. Nama dewan tersebut adalah Doktor Conrad Meckbach.
Doch bin und bleibe ich vergnügt,
Obgleich hier zeitlich toben
Kreuz, Sturm und andre Proben,
Tod, Höll und was sich fügt.
Ob Unfall schlägt den treuen Knecht,
Recht ist und bleibet ewig Recht.
Cedern müssen von den Winden
Oft viel Ungemach empfinden,
Oftmals werden sie verkehrt.
Rat und Tat auf Gott gestellet,
Achtet nicht, was widerbellet,
Denn sein Wort ganz anders lehrt.
Meine Tage in dem Leide
Endet Gott dennoch zur Freude;
Christen auf den Dornenwegen
Führen Himmels Kraft und Segen.
Bleibet Gott mein treuer Schutz,
Achte ich nicht Menschentrutz,
Christus, der uns steht zur Seiten,
Hilft mir täglich sieghaft streiten.
Kantata 150 sangat bervariasi dalam tempo dan karakter pada setiap bagiannya. Kantata ini dibuka dengan bagian pertama yang merupakan sebuah sinfonia untuk alat musik gesek. Bagian ini merupakan bagian yang pendek namun khidmat. Bagian ini terdengar cukup melankolis dan memiliki suasana yang mirip dengan bagian kedua. Salah satu yang menjadi kesulitan terbesar kita ketika mendengarkan musik Barok khususnya karya Bach adalah melodi yang saling terkait antara satu suara dengan suara lainnya, menciptakan efek melodi yang seperti tidak ada ujungnya. Sinfonia ini juga mengambil bentuk kalimat yang demikian dan memiliki panjang frase yang asimetris.
Dihantarkan oleh bagian pertama tadi, suara Sopran, Alto, Tenor, Bass masuk bergantian dalam bentuk motet di bagian kedua. Diambil dari Mazmur 25:1-2, kita dapat menemukan banyak sekali word painting, atau musik yang menggambarkan makna literal dari teksnya. Bagian ini dimulai dengan kata-kata “Nach dir Herr (kepada-Mu, ya Tuhan)”, yang digambarkan dengan melodi kromatik yang bergerak naik mulai dari Bass yang terendah, ke Tenor, Alto, dan diakhiri dengan Sopran yang memiliki melodi paling tinggi. Dilanjutkan dengan “Nicht zuschanden werden (jangan mendapat malu)”, yang secara harmoni terus menerus bergerak turun. Pada kata “freuen (berbahagia)”, Bach membuat not yang bergerak cepat sehingga terdengar seperti orang yang tertawa.
Pada bagian kedua ini saja, kita dapat melihat banyaknya perubahan tempo. Bach lebih memilih untuk mengikuti kata-kata daripada struktur musik pada umumnya. Frase “Nach dir Herr (kepada-Mu, ya Tuhan)” dilanjutkan dengan “ich hoffe (aku berharap)” dengan tempo yang lebih riang, Allegro. Bach kemudian menyelipkan sedikit perubahan tempo menjadi Adagio, atau lebih lambat, pada kata-kata “Nicht zuschanden werden (jangan mendapat malu)”. Setelah itu, tempo kembali menjadi Allegro mengikuti kata-kata “dass sich meine Feinde nicht freuen über mich (agar musuh-musuhku tidak beria-ria atasku)”.
Setelah chorus di bagian kedua, kantata ini dilanjutkan dengan aria untuk Sopran pada bagian ketiga. Bagian ini ditulis pada tangga nada minor. Namun mood yang kita dapat secara keseluruhan bernuansa positif dan serius. Kita juga dapat melihat banyak word painting pada bagian ini. Pada kata-kata “Tod, Höll (kematian, neraka)”, terdapat lompatan jauh dengan interval diminished, yang menggambarkan kematian dan neraka itu sendiri. Pada kata “ewig (selamanya)”, Bach juga memberikan melisma (satu suku kata yang memiliki banyak not) yang panjang.
Bagian keempat kembali dalam bentuk chorus seperti pada bagain kedua. Bagian keempat juga mengambil bentuk yang sama, yaitu bentuk motet, dan memiliki lebih banyak lagi perubahan tempo. Terdapat empat kali perubahan tempo hanya dalam rentang 30 bar. Bach membuat perubahan demikian untuk mengikuti teksnya. Dimulai dengan tempo Andante, memohon Tuhan untuk memimpin saya (leite mich). Melodi dari kalimat ini juga bergerak naik, mulai dari not B pada suara Bass, naik hingga nada D pada biola. Kalimat berikutnya berubah menjadi Allegro dan berisi banyak melisma, memohon Tuhan untuk mengajari saya (lehre mich). Sebagai seorang guru dan orang yang sangat berpengaruh dalam perkembangan musik klasik, perbedaan kedua bagian ini mungkin menggambarkan bagaimana Bach memiliki antusiasme dan ketertarikan yang sangat besar terhadap pengajaran akan ide-ide yang baru. Kemudian dilanjutkan dengan Andante, ketika menunjuk pada Tuhan (denn du bist der Gott). Kalimat terkahir juga mengikuti antusiasime yang sama dengan kalimat kedua, penuh dengan melisma yang panjang, menggambarkan kerinduan kepada Tuhan setiap hari (täglich harre ich dein).
Bach sangat jarang mengambil bentuk aria secara trio. Namun di sini Bach membuat sebuah aria untuk Alto, Tenor, dan Bass, dalam tangga nada mayor, yang lebih tenang dan tidak terlalu banyak gejolak. Bach kembali menggunakan word painting pada lagu ini. Continuo terus menerus bergerak secara cepat dan tanpa henti seperti menggambarkan pohon aras yang bergemerisik diterpa angin, sedangkan ketiga suara di atasnya lebih stabil menggambarkan orang Kristen yang terus teguh berpegang kepada Tuhan.
Bagian keenam kembali dalam bentuk chorus. Kita dapat membagi bagian ini menjadi dua, “Meine Augen sehen stets zu dem Herrn (mataku memandang kepada Tuhan)” dan “denn er wird meinen Fuss aus dem Netze ziehen (karena Ia akan menarik kakiku keluar dari jaring)”. Pada bagian pertama, violin dan bassoon penuh dengan sinkopasi, sedangkan keempat suara menyanyi dengan lebih tenang. Ada yang menginterpretasi ini sebagai gambaran seorang yang sedang berjalan dan kemudian melayangkan matanya ke atas, melihat kepada Tuhan. Pada bagian kedua, instrumen-instrumen tersebut menggambarkan kaki yang terjatuh ke jaring-jaring. Pada bagian kedua ini juga, terdapat permutasi dari bentuk fuga sebelumnya. Jika pada kedua chorus sebelum ini kalimat dimulai dari Bass, kemudian Tenor, Alto, lalu Sopran, di sini Bach membaliknya, mulai dari Sopran, kemudian Alto, Tenor, dan diakhiri dengan Bass.
Kantata 150 diakhiri dengan bagian ketujuh yang berbentuk chaconne. Chaconne berarti variasi pada progresi harmonik pendek yang berulang. Salah satu pengulangan yang terlihat jelas adalah pada bagian Bass yang pendek dan terus berulang. Struktur seperti ini kemudian diambil oleh Brahms untuk final movement dari Symphony-nya yang ke-4.
Kantata ini terbilang cukup pendek, berdurasi hanya sekitar 15 menit. Namun waktu tersebut cukup untuk membuat kita berolah rasa. Ketika kita mengalami keletihan dan tidak tahu atau bahkan tidak ingin berdoa, lagu ini mengajak kita untuk tetap merindukan Tuhan. Ketika salib yang kita pikul terasa sangat berat dan mengancam, lagu ini mengajak kita untuk tetap memiliki kebahagiaan dan yakin bahwa keadilan akan ditegakkan. Ketika kita terjatuh dalam jerat dan mengalami penghinaan, lagu ini mengajak kita untuk melihat sukacita yang akan kita dapatkan dan anugerah yang tidak pernah habisnya tercurah.
Biarlah Tuhan memberikan penghiburan dalam setiap permasalahan kita. Penghiburan tersebut mungkin tidak datang dalam bentuk kesenangan yang tiba-tiba didapatkan, atau orang sekitar yang tiba-tiba mengerti segala kesakitan yang kita alami. Penghiburan tersebut mungkin saja datang dalam bentuk lagu yang mengolah rasa kita dan memberikan kesegaran dalam kembali melihat kepada Tuhan.
Eunice Girsang
Pemudi FIRES