Segala Sesuatu adalah Milik Tuhan
Dari ayat pertama dari Alkitab, kita sudah diberi tahu bahwa Allahlah yang menciptakan langit dan bumi. Seluruh jagad raya ini adalah kepunyaan-Nya. Manusia yang adalah ciptaan Allah memiliki tugas khusus untuk menguasai seluruh ciptaan ini. Untuk melakukan itu, Allah sudah memperlengkapi manusia dengan perlengkapan yang sangat memadai seperti akal dan pancaindra. Hal inilah yang menjadikan manusia bisa mempelajari ilmu pengetahuan atau mengenal kebenaran-Nya.
Mata dan telinga adalah dua alat utama yang kita pakai untuk mengoleksi informasi dari luar. Informasi ini diolah di dalam otak dan kembali diujarkan keluar lewat suara kita maupun tulisan. Pada dirinya sendiri, manusia memang merupakan “mesin” pengolah informasi yang paling mutakhir. Walau “mesin” ini sering lupa, lelet, linglung, lemah, dan berbagai kekurangan lain, manusia tetaplah sosok ideal wakil Allah untuk mengolah dunia ini dan bertemu dengan kebenaran-Nya.
Namun, sangat disayangkan saat alat pemberian Tuhan ini – terutama mata – akhirnya dimutlakkan sebagai penentu keberadaan sesuatu. Tidak jarang kita mendengar orang berujar “Aku tidak melihat Tuhan sehingga aku tidak percaya kepada-Nya.” Perkataan ini sebenarnya bisa diperlebar menjadi “Aku tidak mendengar, tidak merasa, tidak meraba, dan tidak mencium Tuhan, maka aku tidak percaya Dia ada.”
Posisi ini sebenarnya merupakan optimisme naif yang tidak bertanggung jawab pada keseluruhan hidup. Faktanya, banyak hal kita yakini begitu saja ada tanpa sungguh-sungguh pernah melihatnya atau mengindranya. Kita diberi tahu bahwa kita mempunyai otak tanpa pernah melihat otak kita seperti apa. Bahkan, sebenarnya kita tidak akan pernah bisa melihat mata kita sendiri sebab dengan mata kita melihat, dan banyak hal lagi. Mungkin di antara kita mulai mempunyai beberapa sanggahan terhadap pernyataan-pernyataan saya di atas. Mari kita pikirkan lebih lanjut.
Sebagian Sesuatu Mungkin Tidak Terlihat
Sejak kecil, kita melihat dunia ini dengan mata kita. Dengannya kita mendapatkan informasi tentang keberadaan suatu objek di luar diri kita maupun pada diri kita. Namun, sadarkah kita bahwa banyak hal sebenarnya tidak terlihat oleh mata kita? Kita tidak melihat angin, kita tidak melihat gas, kecuali gas yang berwarna.
Pada dasarnya, melihat berarti proses di mana pantulan cahaya dari suatu objek masuk ke mata kita. Mata yang sangat rumit ini diciptakan oleh Tuhan menjadi sebuah kamera tangkap tercanggih yang ada di muka bumi ini. Cahaya ini akhirnya ditangkap oleh retina kita, lalu diteruskan ke otak dan diolah menjadi bayangan yang lengkap dengan posisi, bentuk, dan warna. Dengan dua mata, bahkan kita bisa menciptakan sensasi 3D yang baru-baru ini saja kita nikmati sebagai barang mewah di bioskop. Faktanya, sudah sejak kecil kita melihat film 3D terindah sepanjang masa yang disutradarai oleh Tuhan sendiri, yaitu hidup kita.
Jadi apa yang tidak kelihatan, bukan berarti tidak ada. Itu hanya berarti tidak ada pantulan cahaya yang membentuk bayangan jatuh ke mata kita. Kondisi demikian didefinisikan sebagai transparan, sebab cahaya tidak dipantulkan oleh objek tersebut, melainkan membiarkan cahaya dari benda lain tembus melewatinya hampir tanpa gangguan.
Jadi, apakah objek yang bersifat transparan itu tidak ada? Tentu saja tidak demikian. Tetapi sangat ironis sekali bukan, jika kita sekarang menggunakan argumen bahwa yang tidak kelihatan (maksudnya Tuhan) itu tidak ada?
Saat ini, mungkin ada yang sedang berpikir bahwa ada objek yang memang transparan, seperti udara, elektron, proton, neutron, dan objek lainnya yang terlalu kecil untuk dilihat (terlalu kecil untuk mata menangkap pantulan cahaya yang disebabkan oleh objek tersebut). Namun, ada kemungkinan untuk melihat objek-objek tersebut dengan cara lain. Kita bisa menggunakan teknologi mutakhir guna melihat objek-objek ini. Kita bisa memakai mikroskop elektron untuk melihat objek-objek yang kecil, kita bisa melakukan scan otak untuk melihat otak atau juga organ tubuh lainnya yang tersembunyi, agar kita dapat melihatnya. Tetapi, apakah benar bahwa semua objek di dunia ini dapat dilihat?
Sebagian Sesuatu Tidak Mungkin Dilihat
Memang benar bahwa banyak hal di dunia ini tidak bisa dilihat langsung oleh mata dan membutuhkan teknologi untuk melihatnya. Namun, sains menemukan bahwa hanya 5% dari materi di dunia ini yang sebenarnya bisa diketahui materi penyusunnya (manusia dan elektron termasuk yang 5% ini). Mayoritas adalah bersifat gelap atau dark. Gelap di sini berarti kita tidak bisa “melihat” benda itu sebab cahaya sama sekali tidak bisa memberikan informasi apa-apa tentang materi ini. Materi ini disebut dengan istilah kerennya dark matter.
Dark matter ini diusulkan berada di luar angkasa sana sebab seluruh galaksi berputar dengan kecepatan yang luar biasa cepat. Kecepatan ini pastilah akan membuat galaksi terpelanting “keluar orbit” seperti kita terpental keluar komidi putar jika tidak ada gaya tarik yang memadai. Gaya tarik ini diusulkan berasal dari gravitasi suatu material yang tidak terlihat sama sekali. Jadi, sains menunjukkan keberadaan dark matter bukan dari penelitian pada dark matter ini, melainkan berdasarkan efek yang ditimbulkan terhadap sekitarnya yang menunjuk pada eksistensinya.
Dari sini, kita bisa mengetahui bahwa banyak hal tidak bisa kita lihat namun bisa dirasakan akibat keberadaannya. Jadi sangatlah tidak bertanggung jawab untuk tidak percaya pada Tuhan hanya karena kita tidak bisa merasakan Dia dengan pancaindra kita. Kita memang tidak akan bisa bereksperimen untuk membuktikan adanya Tuhan, namun segala hal sebenarnya sedang menunjuk kepada keberadaan-Nya.
Kedalaman Pengetahuan Tuhan
Alih-alih eksperimen, dua ribu tahun yang lalu sebenarnya Tuhan memberikan kesempatan untuk “bereksperimen” atas diri-Nya secara langsung. Tuhan Yesus menyatakan diri-Nya dalam darah dan daging untuk akhirnya bisa dilihat, diraba, dicium, dan dirasakan oleh manusia. Keinginan jujur para skeptik yang ingin melihat Tuhan sebenarnya sudah dijawab oleh-Nya sendiri melalui peristiwa inkarnasi. Saat itu, banyak orang bisa melihat secara langsung apa yang sudah terjadi melalui karya yang dilakukan Tuhan Yesus. Banyak orang telah melaporkan seluruh peristiwa tersebut lewat tulisan kesaksian mereka yang kita kenal hari ini dengan istilah makalah, artikel, jurnal, dan sebagainya dalam dunia sains. Seperti dalam dunia sains, di mana kita sekarang mempelajari hasil eksperimen dan pemikiran para saintis agar dapat melanjutkan pengenalan atau pengetahuan pada bidang sains tersebut, demikian jugalah tugas kita saat ini dalam mempelajari dengan saksama kesaksian-kesaksian ini.
Hal ini adalah hal yang umum dilakukan dalam dunia sains. Dalam astronomi misalnya, kita mempelajari dengan saksama kesaksian-kesaksian dari setiap cahaya yang sudah bertahun-tahun berkelana di angkasa meninggalkan bintang asalnya dan sampai ke mata kita lewat teleskop. Cahaya ini yang membawa kesaksian tentang keberadaan bintang yang saat ini mungkin sudah menghilang dari dunia ini. Kita tidak ada di sana namun memercayai apa yang dibawa oleh cahaya ini. Lalu mengapa kita enggan mempelajari kesaksian mereka yang baru 2.000 tahun yang lalu bersaksi dan yang kesaksiannya tetap terjaga sampai saat ini? Memang kita tidak mempunyai kesempatan melihat langsung peristiwa inkarnasi Tuhan Yesus sama seperti kita tidak punya kesempatan melihat dengan langsung bintang-bintang di langit itu. Lalu, mengapa kita percaya kepada “kesaksian” cahaya tentang bintang yang pernah ada dan tidak percaya kepada kesaksian tentang Tuhan Yesus?
Tuhan tidak membiarkan manusia dalam kebingungannya. Dia datang menyatakan diri-Nya supaya manusia bisa mengenal-Nya. Dia memang tidak kelihatan secara kasat mata hari ini. Dia juga tidak bisa kita lihat, dengar, raba, dan rasakan saat ini. Namun, kesaksian hidup-Nya dalam Alkitab cukup untuk membawa kita kepada kepercayaan akan keberadaan-Nya. Kehadiran-Nya (bandingkan dengan “akibat keberadaan”) dalam setiap aspek keberadaan dunia ini menyaksikan keberadaan-Nya dengan jelas. Bahkan, kesaksian tubuh-Nya dalam bentuk gereja yang nyata juga bisa kita alami sendiri hari ini. Jadi jelas permasalahannya tidak terletak kepada argumen bahwa Allah tidak dapat dilihat, diraba, dirasakan, dan sebagainya, tetapi kepada iman kepercayaan kita. Pertanyaannya sekarang: maukah kita percaya akan keberadaan-Nya, maukah kita percaya kepada-Nya? Kiranya Tuhan mencelikkan mata rohani kita!
Sandy Adhitia Ekahana
Pemuda GRII Singapura