“Indah sekali.”
“Masa sih, menurutku biasa saja.”
“Tapi menurutku, indah sekali.”
“Berarti kita punya selera berbeda.”
Percakapan seperti ini sering kita temukan dalam keseharian kita. Ketika membicarakan tentang menilai keindahan (beauty) yang tidak mendapatkan titik temu, biasanya pembicaraan tersebut menyerah dengan dikembalikan ke selera masing-masing. Tentu saja kita dapat saja melanjutkan argumen mengapa sesuatu kita katakan indah. Tetapi untuk berargumentasi mengenai bagaimana menilai keindahan nampaknya sulit mendapatkan tempat di wilayah rasional. Jika kita mendapatkan jawaban, “Ya saya suka karena menurut saya itu indah”, maka kasus sudah selesai. Apakah karena itu kita harus memaklumi bahwa menilai keindahan itu adalah soal selera saja? Untuk mengeksplorasi mengenai penilaian keindahan, kita akan belajar dari Roger Scruton, seorang filsuf yang membicarakan perihal keindahan di sebuah buku singkat, yaitu Beauty, yang diterbitkan oleh Oxford University Press.
Pada umumnya, ketika kita membicarakan penilaian terhadap kebenaran (righteous) dan kebaikan (good), kita masih dapat memperpanjang argumen untuk menemukan titik temu secara rasional ketika menemui kebuntuan. Maka, di antara trio klasik benar (true), baik (good) dan indah (beautiful), tidaklah sulit untuk benar (true) dan baik (good) untuk menjadi rukun dan berdampingan. Tetapi indah (beautiful) tidaklah demikian, ada kalanya indah seakan bertentangan dengan benar (true) dan baik (good). Misalnya, seorang pria bisa saja menilai paras seorang perempuan indah dan cantik tanpa peduli sifat perempuan tersebut yang buruk dan pembohong. Nampaknya dalam kasus ini, menurut Roger Scruton, keindahan seakan menjadi musuh dari kebenaran dan kebaikan.
Ketika kita bertanya kepada seseorang, mengapa dia suka A? Ketika jawabannya adalah karena A indah, maka itu adalah akhir dari argumentasi. Ini yang membuat keindahan itu terasa seakan kebal terhadap argumentasi. Menurut Kierkegaard, estetika (keindahan) dapat berlawanan dengan kebajikan, hal ini tersirat setidaknya dalam bagaimana ia menyubordinasikan nilai estetika di bawah kendali etika. Ini terkait juga dengan bagaimana kapasitas estetis dapat sekadar mementingkan kenikmatan yang dirasakan. Ini teramati juga ketika manusia seringkali percaya kepada sesuatu yang indah secara indrawi walaupun belum bisa dibuktikan bahwa kepercayaan tersebut benar adanya. Aquinas sendiri berpendapat bahwa keindahan itu identik dengan kebaikan. Menurut Scruton, pemikiran Aquinas ini bisa menemui kesulitan. Misalnya, apakah ada keindahan yang berbahaya, keindahan yang koruptif dan keindahan yang amoral? Scruton kemudian bertanya lebih jauh: karena kesulitan ini, apakah dalam penilaian keindahan, kita hanya berfokus saja pada sentimen manusia daripada suatu struktur dari dunia ini?
Kemungkinan pertama kenapa kita mendapatkan kesulitan dalam menilai keindahan adalah karena kita hanya mengategorikan keindahan hanya kepada satu kategori saja. Padahal, Scruton melihat bahwa keindahan sesungguhnya terbagi menjadi beberapa kategori. Keindahan itu bisa dibagi menjadi setidaknya tiga kategori. Kategori pertama adalah keindahan objek alam, misalnya keindahan alam, tumbuhan, binatang, bahkan manusia. Kategori kedua adalah keindahan objek/artefak yang memikili kualitas tertentu, misalnya musik, lukisan, busana, atau perhiasan. Kategori ketiga yang mungkin tidak semua orang bisa mengenalinya adalah keindahan abstraksi, seperti keindahan pemikiran, analisis, proposisi, atau narasi. Ketiga kategori ini memiliki cara dan aturan menilai keindahan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Misalnya, Roger Scruton memberikan contoh perbedaan bobot arti warna biru di langit biru yang indah, baju biru yang indah, dan suasana hati yang biru (feeling blue). Tentu saja warna biru di dalam tiga hal ini tidak bisa disamakan cara penilaian keindahannya, bukan?
Kemungkinan kedua terjadinya kerancuan dalam menilai keindahan adalah karena ketika kita menguji keindahan atau mengategorikannya, kita menggunakan cara yang sama dengan ketika kita menguji atau menilai kebenaran atau kebaikan. Untuk menguji kebenaran, tentunya kita memiliki serangkaian perangkat pengujian untuk memvalidasi sebuah kebenaran. Kesulitan terjadi ketika kita mencoba menilai keindahan dari acuan rasionalitas (salah satu perangkat pengujian kebenaran, bukan keindahan). Artinya, sama seperti kebenaran, kita memerlukan perangkatan terpisah untuk menilai keindahan. Scruton mengajukan beberapa perangkat yang mungkin dapat membantu kita untuk menilai keindahan dengan lebih tepat. Scruton menyebutkannya sebagai 6 pernyataan mengenai keindahan:
- Keindahan itu memberikan kita kenikmatan.
- Satu hal bisa lebih indah daripada yang lain.
- Keindahan selalu menjadi penyebab untuk melihat sebuah objek yang memiliki keindahan.
- Keindahan adalah masalah penilaian, penilaian terhadap selera.
- Penilaian keindahan adalah mengenai penilaian objek, bukan kondisi pemikiran kita.
- Tidak ada penilaian second-hand dalam keindahan.
Pertanyaan nomor 4, misalnya, berhubungan erat dengan pertanyaan kita di awal, bisakah selera berbeda tetapi mengakui keindahan? Scruton bertanya, bisakah keindahan TIDAK untuk mengartikulasikan selera kita? Bahkan di karya seni atau musik pun, ada beberapa karya yang sangat menggangu kita tetapi harus diakui secara penilaian yang benar bahwa karya itu indah adanya. Misalnya, The Four Seasons: Spring oleh Vivaldi adalah karya favorit banyak orang yang jelas begitu riang dan indah, sementara yang secara awam mungkin kurang menjadi favorit adalah The Four Seasons: Winter oleh Vivaldi. Apakah kemudian kita dapat menyangkal bahwa The Four Seasons: Winter oleh Vivaldi adalah karya yang sangat indah, meskipun tidak menjadi favorit atau sesuai selera kita? Di sini kita memasuki wilayah pergumulan keindahan objektif dan subjektif.
Permasalahan penilaian keindahan selalu dihubungkan dengan selera terjadi karena kita selalu mengaitkan keindahan hanya untuk objek yang elegan, padahal bukanlah demikian adanya. Menurut Scruton, yang menjadi masalah adalah bahwa ketika kita menilai keindahan, kita hanya menyatakan pendapat atau perasaan kita mengenai objek tersebut. Kita sebenarnya bukan sedang menilai kualitas objek tersebut (ini salah kaprah yang paling sering ditemukan dalam menilai keindahan, ketika pendapat atau perasaan disetarakan dengan penilaian kualitas). Maka sebenarnya bisa saja kita menilai kualitas sebuah objek itu indah adanya, walaupun keindahan tersebut bukan sejalan dengan selera kita. Dengan demikian, ketika kita sedang menilai keindahan, kita harus terlebih dahulu memastikan bahwa kita bukan sedang menyatakan sentimen kita (atau selera kita) mengenai objek tersebut. Menilai keindahan adalah penilaian yang membutuhkan pendapat yang rasional mengenai objek yang dinilai sebagaimana adanya suatu objek (semaksimal mungkin apa yang ada secara objektif pada objek), bukan berfokus pada sentimen (atau selera) pribadi (subjektivitas) yang sedang menilainya.
Salah satu ujian lain yang bisa diterapkan adalah bahwa keindahan harus dinikmati sendiri untuk dapat dinilai. Tidak ada penilaian keindahan yang baik ketika si penilai tidak mengalami secara langsung dengan kapasitas indrawinya. Pernyataan nomor 6 juga penting untuk kita bahas, yaitu tidak ada pengalaman second-hand terhadap keindahan. Ketika kita mendapatkan laporan, informasi, bahkan kesaksian terhadap keindahan, kita hanya sejauh bisa seolah-olah kita menikmati dan mengalami keindahan itu. Keindahan itu harus dialami first-hand baru penilaian keindahan itu menjadi valid. Kalau kenikmatan keindahan bisa dilaporkan atau diinformasikan secara second-hand, akan banyak kritikus keindahan yang bisa mengeklaim mereka bisa menilai keindahan tanpa harus mengalaminya.
Dari pembahasan oleh Scruton, jelas bahwa penilaian keindahan itu tidak sama dengan selera atau sentimen manusia yang menilai. Ternyata penilaian keindahan itu juga membutuhkan semacam penilaian rasionalitas tertentu, tetapi memang agak berbeda dengan rasionalitas penilaian kebenaran. Penilaian keindahan memiliki paradox, yaitu betul bahwa penilaian keindahan harus disertai dengan rasionalitas tertentu, tetapi alasan rasionalitas itu tidak bisa memaksa penilaian, bahkan alasan itu boleh ditolak oleh seseorang secara subjektif dengan cara mengalami keindahan tersebut secara langsung. Di sini ketegangan antara sisi subjektif dan objektif dari keindahan bersanding.
Keindahan adalah salah satu realitas yang sering kali disalah mengerti oleh kita karena muatan subjektifnya. Ini juga yang membuat kita mengesampingkan keindahan ketika kita membicarakan kebenaran dan keindahan. Namun, kita sudah melihat pembahasan dari Scruton bahwa menilai keindahan ternyata tidaklah sama dengan selera kita. Kita sadar bahwa segala perdebatan dan kesulitan menilai keindahan terletak pada hadirnya kedua sisi tersebut, subjektif dan objektif, secara bersamaan. Mengapa krusial membahas keindahan? Karena sama dengan kebenaran dibahas karena adanya ketidakbenaran, maka kita membahas keindahan karena ada sisi yang kita ketahui sebagai keburukan. Sama dengan keindahan yang berdampingan dengan ketidakbenaran dipertanyakan cara menilai keindahannya, demikian juga jika kebenaran berdampingan dengan keburukan, apakah masih dapat dikategorikan sebagai kebenaran? Misalnya kita memiliki pemahaman kebenaran yang baik, namun dalam segala perwujudan dan artikulasinya kebenaran yang kita pegang itu dialami dan dirasakan dalam pengalaman negatif, dalam arti kata dalam keburukan, bagaimana kemudian kebenaran itu bisa berdiri sendiri, tanpa kebaikan, tanpa keindahan? Apakah keindahan pasti subjektif? Kita sudah melihat bahwa penilaian keindahan pun tetap harus menggunakan rasionalitas tertentu (sisi objektif universal yang tersembunyi dan terkait dengan kebenaran dan kebaikan). Keindahan berada bersama kebenaran dan kebaikan dan tidak sama dengan selera atau sentimen manusia.
Ini menjadi refleksi bagi kita sebagai orang Reformed, jika kita mengeklaim kebenaran tetapi dengan sikap yang buruk, apakah kita masih bisa dinilai sebagai benar? Sebaliknya, perwujudan keindahan, selera kita secara subjektif, ternyata tidak bisa dipisahkan dari standar objektif kita menikmati suatu keindahan. Jika kita cenderung dalam keseluruhan pencarian kenikmatan indrawi kita lebih menemukan kenikmatan dalam berbagai hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional kebenaran dan kebaikannya, masihkah kita bisa mengeklaim bahwa kita sungguh menginternalisasikan kebenaran dan kebaikan yang kita akui dalam perkataan? Filipi 4:8, “Jadi akhirnya saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” Soli Deo gloria.
Yenty Rahardjo
GRII BSD
Referensi:
Roger Scruton, Beauty, A Very Short Introduction, Oxford University Press, 2011