Musik adalah sesuatu yang sangat lekat dengan kehidupan kita. Rangkaian nada-nada yang tersusun dalam pola ritmik tertentu membentuk melodi yang memiliki variasi hampir tak terbatas. Setiap rangkaian memiliki keunikan sendiri, dan memiliki kesan tersendiri terhadap orang yang mendengarnya. Misalnya melodi lagu “Twinkle Twinkle Little Star” yang kita dengar waktu kecil mungkin memiliki suatu kesan mendalam bagi kita baik sadar ataupun tidak—walaupun bertahun-tahun sudah berlalu sejak terakhir kali kita mendengarnya—dan apabila terjadi suatu saat kita kembali mendengar melodi tersebut, maka kita akan segera dapat mengenali dan mengikutinya. Dan kita juga akan segera sadar, jikalau ada ketidaksamaan dalam melodi tersebut, yang tidak sesuai dengan ingatan kita.
Tetapi pada zaman ini, di mana rekaman lagu dalam bentuk CD sudah begitu mudah didapatkan, seringkali kita mendengarkan musik sementara kita melakukan kegiatan lain, misalnya belajar, membaca, ataupun ketika terjebak dalam kemacetan. Seringkali juga kita mendengarkan musik yang kita sebut “easy listening”, suatu jenis musik yang untuk menikmatinya kita tidak perlu bersusah payah mendengarkan, mengerti, dan meneliti kualitasnya. Bahkan, boleh terdengar atau tidak, dengan kata lain, seperti hanya sebuah background “sound” saja, termasuk juga ketika kita mendengarkan musik klasik semisal dari zaman Barok, Klasik, atau Romantik—yang memiliki kompleksitas nada dan ritmik yang demikian tinggi sehingga tidak mungkin kita bisa mendengar lagu tersebut sambil lalu—kita kurang (ataupun sama sekali tidak) menyadari bahwa ketika kita mendengarkan musik, sebenarnya kita sedang berkait dengan sebuah hukum yang ada di dalam alam semesta ini, yaitu hukum harmoni.
Apakah hukum harmoni? Apakah ada harmoni di alam semesta ini? Kalau ya, harmoni seperti apakah yang dimaksud? Lalu apakah kaitan musik dengan harmoni, dan dengan alam semesta? Apakah hubungan jenis musik yang saya dengarkan dengan alam semesta? Bagaimana saya mengaitkan musik-musik tersebut dengan alam semesta? Saya akan mencoba membagi pembahasan sederhana tentang tema ini dalam tiga bagian: (1) Sejarah perkembangan teori musik alam semesta dengan tiga tokoh besar: Pythagoras, Boethius, Kepler; (2) Pembahasan singkat tentang kaitan musik dan alam semesta; dan (3) Sudut pandang Alkitab.
Sejarah
Dalam mitologi Yunani, musik memiliki asal muasal dari para dewa, sebagai penemu dan yang mempraktekkan, seperti Apollo, Amphion, dan Orpheus. Dalam masa pre-historik yang kelam ini, musik dianggap memiliki kuasa magic. Orang berpikir musik dapat menyembuhkan penyakit, memurnikan tubuh dan pikiran, dan mengerjakan mujizat di dalam alam. Kuasa yang mirip di dalam Alkitab adalah ketika Daud mengobati kegilaan Saul dengan memainkan harpa (1Sam. 16:14-23)[1]. Juga musik tak terpisahkan dengan perayaan-perayaan religius sejak zaman mula-mula. Dan teori musik Yunani adalah yang sangat mempengaruhi perkembangan musik di Eropa Barat pada zaman Middle Ages (ca. 450-1450). Ada dua jenis tulisan teori musik Yunani yang selamat dan diturunkan kepada zaman setelahnya: (1) doktrin tentang natur musik, tempatnya dalam alam semesta, efeknya, dan penggunaannya dalam masyarakat; (2) deskripsi sistematis tentang materi dan pola dari komposisi musik.[2]
Pythagoras
Salah satu filsuf Yunani, Pythagoras (c. 582-497 BC), adalah orang terpenting di dalam perkembangan musik Yunani, dan sangat mempengaruhi perkembangan musik selanjutnya. Pythagoras adalah salah seorang pemikir utama dalam filsafat, matematika, musik, dan kosmologi.[3] Tetapi karena tidak ada karyanya yang selamat, pencapaian Pythagoras seolah pudar di dalam ketidakjelasan. Tradisi Pythagorean mengatakan bahwa Pythagoras pergi berkeliling ke Mesir, Mesopotamia, dan Persia ketika dia masih muda, dan itu sebabnya kita dapat berpikir bahwa dia mengambil banyak konsep penting dari masing-masing daerah itu.[4]
Pythagoras membagi tiga jenis musik dalam filsafatnya: musica instrumentalis, musik pada umumnya dengan memetik lyra, meniup pipa, dan seterusnya; musica humana, musik yang ada secara terus-menerus tetapi tidak terdengar, yang dibentuk oleh setiap manusia, khususnya resonansi yang harmonis (atau disharmonis) antara jiwa dengan tubuh; dan musica mundana, musik yang dibentuk dari kosmos sendiri, yang juga disebut sebagai music of the spheres[5] (musik alam semesta).[6]
Tetapi hal terpenting dalam penemuan musik Pythagoras adalah penemuannya tentang relasi aritmatika antara interval harmonis. Dan bagaimana dia menemukan relasi ini juga tak kalah menariknya:
“Suatu ketika Pythagoras sedang memikirkan tentang musik, dalam mencari suatu pengetahuan yang utuh dan akurat tentang kriteria consonances (konsonan)[7]. Sambil berpikir demikian, (dalam kedaulatan ilahi) dia melewati sebuah bengkel tukang besi, di mana dia mendengar bunyi pukulan palu yang entah bagaimana menghasilkan suatu bunyi konsonan. Awalnya ia berpikir bahwa kekuatan dari tukang besilah yang membuat perbedaan bunyi. Tetapi ketika ia menyuruh para tukang besi mengganti palunya, ternyata bunyi yang berbeda bukan dihasilkan dari tenaga tukang besi, melainkan dari berat palunya. Dari lima palu, yang menghasilkan bunyi oktaf[8] memiliki perbandingan berat dua kali lebih berat.[9]”
Secara sederhana kita katakan bahwa pada hari itu Pythagoras “menemukan” suatu hubungan antara dunia bunyi musik yang abstrak dengan dunia angka yang abstrak[10]. Dilanjutkan dengan eksperimen yang dilakukannya menggunakan senar dengan perbandingan yang sama, maka ia mendapatkan teori angka di dalam musik. Dan Pythagoras dalam filsafatnya meyakini bahwa yang menjadi dasar segala sesuatu itu adalah angka.[11] Dengan penemuan ini Pythagoras mulai mengembangkan teori musik alam semesta, dan menjadi salah satu pemicu dalam perkembangan ilmu musik dan matematika selanjutnya.
Boethius
Sejak zaman Middle Ages, studi musik sebagai sains menjadi satu bagian dari pengertian seseorang akan alam semesta. Anicius Manlius Severinus Boethius (ca. 480-524/26) adalah seseorang yang paling menjadi acuan dan berpengaruh bagi musik zaman Middle Ages. Boethius mendasarkan teori musiknya kepada matematika Yunani dan teori musiknya, di dalam pengaruh Pythagoras, Nicomachus, dan Ptolemy. Prinsip yang diberikan oleh Boethius adalah musik merupakan ilmu pengetahuan tentang angka dan perbandingan angka-angka tersebut menentukan interval melodis, konsonan, komposisi tangga nada, dan tuning/penyesuaian frekuensi dari instrumen dan suara manusia.[12]
Boethius juga membagi musik ke dalam tiga bagian sebagaimana Pythagoras, yaitu musica mundana (cosmic music, yaitu relasi numerik yang terlihat dalam pergerakan planet dan perubahan musim), musica humana, dan musica instrumentalis. Dalam menempatkan musica instrumentalis—seni musik seperti kita kenal sekarang—di posisi ketiga dan dianggap kategori terendah, Boethius menunjukkan bahwa dia dan para mentornya menganggap musik sebagai objek pengetahuan. Musik adalah suatu disiplin untuk menguji perbedaan dari nada-nada tinggi dan rendah dengan menggunakan rasio dan pikiran. Karena itu, musisi sejati bukanlah seorang penyanyi atau seseorang yang membuat lagu berdasarkan insting tanpa pengertian akan natur dari musik, tetapi seorang filsuf dan kritikus, “yang menampilkan kemampuan untuk membuat penilaian berdasarkan spekulasi atau rasio yang relatif dan tepat kepada musik”[13]
Jikalau pada zaman sekarang musik tidak lagi dianggap sebagai suatu sains, maka pada zaman Middle Ages musik dianggap sebagai suatu sains yang terintegrasi dengan pengertian seseorang terhadap dunia. Boethius menetapkan musik sebagai salah satu dari empat disiplin ilmu utama di Oxford, bersama-sama dengan aritmatika, geometri, dan astronomi, dikarenakan oleh kaitan sains lama tentang ‘harmonics’—studi tentang akar matematika dalam harmoni—dalam konteks astronomi Ptolemaik.[14] Alam semesta (pergerakan dari planet-planet dan bintang-bintang) dianggap tersusun dari prinsip harmoni ‘musical’, yaitu prinsip harmoni yang ditemukan dalam musik praktis. Sampai pada abad ke-17 dan bangkitnya era ‘scientific’, musik masih tidak terpisahkan dari ilmu pengetahuan.[15]
Kepler
Johannes Kepler (1571-1630) adalah seorang astronomer, mathematician, philosopher, astrologer, dan penulis musik. Ketertarikannya pada musik berlangsung pada saat ia belajar theologi di Universitas Tübingen, di mana ia mendapat gelar MA-nya pada tahun 1591. Karyanya yang paling terkenal adalah Harmonice mundi (Harmony of the world) dalam lima buku, dengan konsep dasarnya adalah Tuhan menciptakan dunia dalam keharmonisan dengan beberapa model geometri yang tergambar di dunia. Model-model ini, sebagai model dari harmoni, termasuk di dalam konsonan musikal. Buku ketiga dari Harmonice mundi didedikasikan untuk musik, dan dalam buku keempat, Kepler mulai menulis bukti-bukti apa dari dunia ciptaan yang menggambarkan rasio dari konsonan, yang ia temukan dari aspek planet-planet. Pembahasannya tentang ‘Harmony of the Spheres’ adalah berdasarkan pada kecepatan gerak planet pada jarak terdekat dan terjauh dari matahari di dalam orbit mereka, yang menyebabkan terjadinya naik turunnya suara [secara teoritis, bukan aktual (lihat endnotes 3)]. Kepler juga percaya bahwa planet-planet dapat menghasilkan harmoni enam suara,[16] tetapi hal ini mungkin hanya terjadi sekali, yaitu pada waktu penciptaan. Bab terakhir memuat apa yang Kepler pikir sebagai puncak pencapaian dalam hidupnya, yaitu suatu argumen yang mau menunjukkan bahwa Tuhan, yang memberikan batasan-batasan dalam geometri dan musikal, tidak mungkin menyusun planet-planet lain dari yang sekarang pada saat penciptaan, selain dari apa yang telah disusun-Nya.[17]
Kepler menerima konsep heliosentrik dari Copernicus, dan dia yakin (di dalam keterbatasan ilmu pengetahuan saat itu) kenapa hanya ada enam planet, ketimbang puluhan atau ratusan, yaitu karena ada rencana yang rasional dan kekal dalam alam semesta, di mana Providence tidak mungkin menciptakan alam semesta secara acak atau irasional. Kepler mencoba mengaitkan tiga realm dalam ciptaan dengan tiga aspek Trinitas di dalam Mysterium cosmographicum:
“I was made bold to attempt this by the beautiful harmony that exists between the parts [of the cosmos] that are at rest, the sun, the fixed stars, and the intermediate space, and God the Father, the Son, and the Holy Ghost: a similarity I shall pursue further through cosmography. Since the parts that are at rest are disposed in this way, I did not doubt that the moving parts would also be harmonious.”[18]
Sintesis Kepler, yang dapat dikatakan sebagai deskripsi yang paling ambisius dan komprehensif tentang musik alam semesta yang pernah dikerjakan manusia, selesai pada tanggal 27 May 1618. Setelah Kepler, pembahasan tentang musik alam semesta terpisah dari sains, dan tidak lagi menjadi pembahasan yang signifikan.
Musik, Harmoni, dan Alam Semesta
Apa yang telah dikerjakan oleh Pythagoras, Boethius, dan Kepler sebagai tiga tokoh utama yang signifikan dalam mencari musik alam semesta dan dalam penemuan-penemuan mereka pada zaman yang berbeda-beda, menggambarkan adanya suatu prinsip yang menyatakan adanya suatu keteraturan dalam alam semesta ini. Hari berganti hari, musim berganti musim, tahun berganti tahun, secara teratur terjadi dan kita bisa melihat bahwa hal ini bukan hanya terjadi atas planet Bumi, tetapi juga dengan planet-planet yang lain (bayangkan apabila suatu hari planet Jupiter ‘berkunjung’ ke wilayah Bumi, ataupun Bumi ‘terpeleset’ dari orbitnya mendekati Matahari). Ada suatu ‘pemeliharaan yang tak kasat mata’ yang mengatur pergerakan dari planet-planet.
Ilmu pengetahuan tentang musik berawal dari pengertian tentang hukum vibrasi, yang adalah hukum harmoni, yaitu pengetahuan tentang proporsi. Proporsi yang sama yang menghasilkan bunyi yang menyenangkan telinga dapat juga ditemukan dalam bentuk dan struktur dasar dari ilmu kimia, fisika, astronomi, dan biologi. Dengan kata lain, proporsi yang sama yang ditemukan dalam keharmonisan juga dapat ditemukan dalam ilmu yang lain yang dapat menjelaskan tentang lingkungan kita.[19] Dan seluruh alam semesta kita pun memiliki vibrasi yang dihasilkan dari atom-atom di dalam seluruh materi.[20]
Karena musik tersusun dari suara-suara yang memiliki frekuensi tertentu, maka suara adalah unsur terpenting di dalam musik, karena tanpa suara, tidak akan ada musik. Tetapi suara pun tidak mungkin hanya berdasarkan pada vibrasi semata-mata, karena suara membutuhkan medium udara supaya gelombang suara hasil vibrasi bisa terhantar. Antara vibrasi dan medium udara pun sudah ada keselarasan yang memungkinkan terdengarnya suara karena kedua unsur suara tersebut ada di dalam alam. Itu sebabnya seorang Luciano Pavarotti pun tidak mungkin menjadi penyanyi tenor ternama di bawah laut ataupun di ruang angkasa kecuali ada medium udara. Dan untuk mencapai suatu keharmonisan suara, ada prinsip matematika tertentu dalam proporsi getaran yang menyenangkan bagi telinga.
Dari ketiga hal ini kita bisa melihat bahwa sebenarnya segala sesuatu di alam semesta ini berjalan secara harmonis antara satu sama lain, dan keharmonisan itulah yang menyebabkan kehidupan masih dapat berlangsung sampai sekarang sejak ribuan tahun lalu. Suatu istilah yang baik dari bahasa Inggris dalam menyebut alam semesta adalah celestial body. Prinsip body/tubuh menuntut adanya suatu keharmonisan. Jikalau suatu ketidakharmonisan terjadi di dalam alam semesta, maka bencana sedang menanti kita. Hal ini juga berlaku di dalam musik, yang memiliki prinsip keharmonisan, yaitu ketika ketidakharmonisan itu terjadi, maka tanpa kita mengerti bagaimana matematika dari getaran tersebut pun, kita tahu bahwa sesuatu yang salah sedang terjadi, menyebabkan baik tubuh ataupun jiwa kita bereaksi terhadap hal tersebut. Dan jikalau sebuah lagu memiliki komposisi nada-nada yang baik, maka tubuh dan jiwa kita pun akan menjadi baik ketika mendengar lagu tersebut (bdk. 1Sam. 16:14-23). Maka musik yang baik haruslah memperhatikan bagaimana susunan melodi dan harmoni memiliki gerak dan perpaduan antara masing-masing nada untuk menghasilkan suatu keharmonisan. Dan karena ada suatu pola dan logika yang membentuknya, maka kita akan segera tahu jika seseorang memainkan atau menyanyikan lagu “Twinkle Twinkle Little Star” dengan benar atau tidak.
Sudut Pandang Alkitab
Lalu, mengapa harmoni dapat terjadi pada alam semesta? Apa yang menyebabkan, dan apa yang menjaga keharmonisan tersebut? Dan mengapa keharmonisan adalah baik? Sebelum masuk ke dalam pembahasan Alkitab, saya harus menekankan bahwa pandangan kita adalah berdasarkan theologi Reformed yang percaya bahwa: (1) Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi; (2) Alkitab adalah Firman Allah.
Alkitab mengatakan bahwa, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi …” (Kej. 1:1). Ketika Allah mencipta, maka Dia adalah Master Planner. Dia sudah memiliki rancangan seluruh alam semesta di dalam diri-Nya “semenjak” kekekalan (Ams. 8:22-30). Maka Bumi bukan berasal dari sesuatu yang tidak berintelijen dan acak, melainkan dari Allah sendiri yang menciptakan dengan ukuran, timbangan, dan takaran.
Agustinus (354–430 B.C) merelasikan seluruh hukum alam semesta ini dalam buku The Literal meaning of Genesis, bagaimana seluruh ukuran, angka, dan berat direlasikan dengan Tuhan yang ia kutip dari teks “The Wisdom of Solomon.”[21] Ia menyimpulkan:
“God is identified with these three in a fundamental, true, and unique sense. He limits everything, forms everything, and orders everything. Hence, in so far as this matter can be grasped by the heart of man and expressed by his tongue, we must understand that the words “Thou hast ordered all things in measure and number and weight,’ mean nothing else that “Thou hast ordered all things in Thyself.”[22]
Dalam karyanya On Free Choice of the Will, Agustinus juga menyatakan angka dan Hikmat Tuhan adalah “somehow one and the same thing” dan juga “identical.” Ia takjub kepada kekekalan angka dan sifat universalnya:
“Seven and three are ten, not only now, but forever. There has never been a time when seven and three were not ten, nor will there ever be a time when they are not ten. Therefore, I have said that the truth of number is incorruptible and common to all who think.”[23]
Tetapi sebelum Agustinus menyatakan hal ini, nabi Yesaya (ca. 686–650 B.C) telah terlebih dahulu menyatakannya di dalam Yes. 40:12-26, bahwa Tuhan menciptakan seluruh dunia di dalam hikmat-Nya yang tak terselami, dan kedaulatan-Nya yang mutlak. Dan hikmat pengaturan Tuhan adalah baik, karena Tuhan sendiri mengatakannya ketika Ia selesai melakukan penciptaan hari demi hari (Kej. 1:4, 10, 12, 18, 21, 25). Dan dalam Ayub 38, Tuhan Allah juga menyatakan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap Bumi, dengan segala ukuran kedalaman, keluasan, dan batas-batas segala sesuatu, dengan hikmat-Nya yang tak terselami, bahkan oleh Ayub yang sudah hidup lama sekalipun (Ayb. 38:21).
Apa yang dikatakan Agustinus dan Alkitab sendiri memang menyatakan bahwa sesungguhnya ada suatu prinsip angka, bilangan, dan matematika yang mendasari dunia ciptaan ini. Tetapi Agustinus tidak berhenti hanya sampai pada prinsip tersebut, melainkan melampaui prinsip itu, yaitu kepada Sang Perancang dari seluruh alam semesta, yaitu Tuhan sendiri. Alkitab juga menyatakan bahwa Tuhan Allah menggunakan prinsip-prinsip ukuran dalam menciptakan alam semesta, bahkan sampai titik consummation (bdk. Why. 21:9-15-17). Tetapi Pythagoras akhirnya terjebak hanya sampai kepada prinsip angka, bilangan, dan matematika tanpa dapat melampauinya untuk kembali kepada Sang Perancang. Di dalam responnya terhadap anugerah umum ia telah menemukan kebenaran Tuhan (bdk. Mat 5:45).
Tetapi apakah hikmat Tuhan itu? Penulis Amsal dalam pasal 8 menyatakan bahwa Hikmat adalah pribadi, dan dengan Hikmat Tuhan Allah menciptakan dunia. Ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi, Hikmat ada di sana. Ketika Tuhan menciptakan matahari, bulan, dan bintang (Kej. 1:14) Hikmat ada disana. Maka kita bisa mengerti bahwa pergerakan seluruh tata surya kita diatur oleh Hikmat Tuhan, sehingga tidak mungkin terjadi ketidakharmonisan. Matahari, bulan, dan bintang-bintang ditempatkan supaya menjadi tanda yang menunjukkan masa-masa yang tetap, hari-hari, dan tahun-tahun. Jika dikatakan tetap, maka ada suatu pola yang akan terus terjadi. Dengan demikian bisa kita katakan bahwa tata surya kita diciptakan dengan suatu proporsi yang tetap, sehingga terjadi keteraturan dan keharmonisan antara gerakan masing-masing planet. Nyatalah bahwa pencarian Kepler bukan suatu pencarian omong kosong belaka, tetapi sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanya, setelah kejatuhan kita tidak mungkin mencapai pengertian tentang Tuhan seutuhnya dengan menggunakan pendekatan cosmological seperti apa yang dilakukan Kepler (bdk. Mzm. 19:1-6), kecuali kita kembali kepada iman yang murni kepada Tuhan (bdk. Mzm. 19:7-14).
Dalam Yoh. 1:1-3, rasul Yohanes menulis bahwa pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Paulus juga menulis hal yang serupa di dalam Kol. 1:15-17, menyatakan Kristus adalah Allah, yang menjadikan segala sesuatu di dalam Dia, yang adalah hikmat Allah (1Kor 1:24). Di dalam Dia-lah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan (Kol. 2:2-3). Maka Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus telah mencipta segala sesuatu dengan segala keharmonisannya. Jikalau seluruh alam semesta ini mengeluarkan bunyi yang dapat kita dengar, niscaya kita mungkin mendengar seluruh alam semesta bernyanyi memuji Tuhan, sebagaimana para Serafim yang mengelilingi takhta Allah senantiasa memuji dan memuliakan Dia (Yes. 6:2-3).
Jikalau demikian, apa yang diperjuangkan oleh Boethius adalah sesuatu yang seharusnya masih kita kerjakan sampai sekarang, yaitu mempelajari musik bukan hanya sebagai musica instrumentalis semata-mata, apalagi sebagai musik easy listening yang sambil lalu, tapi mengaitkannya dengan bidang-bidang yang lain dalam alam semesta, menjadi suatu studi yang integratif. Dalam mempelajari satu bidang musik, mencakup bidang-bidang lainnya, dan dalam bidang-bidang lainnya, menemukan prinsip-prinsip di dalam musik, karena segala yang dicipta adalah di dalam Kristus yang adalah Hikmat Allah. Mari kita mengembangkan pengertian musik dengan lebih mendalam. Kiranya dengan pengertian, kita dapat semakin memperkenan Tuhan melalui musik, sehingga Dia ditinggikan di atas puji-pujian umat-Nya (Mzm. 22:4).
Aldo Lammy
Mahasiswa Institut Reformed Jakarta
Endnotes:
[1] Donald J. Grout, Claude V. Palisca. “A History of Western Music.” New York: W. W. Norton & Company, Inc. 2001. hal. 2-3.
[2] Ibid, hal. 5
[3] Jamie james. “The Music of the Spheres: Music, Science, and the Natural Order of the Universe.” New York: Copernicus, 1993. hal. 23
[4] Ibid, hal. 21
[5] Music of the Spheres adalah konsep filosofis kuno yang memperhitungkan gerakan edar tata surya—Matahari, Bulan, dan Bintang—sebagai bentuk dari musik. Musik ini tidak sungguh-sungguh berbunyi, tetapi berupa suatu keharmonisan dan konsep matematika. (http://en.wikipedia.org wiki/Music_of_the_Spheres)
[6] “The Music of the Spheres: Music, Science, and the Natural Order of the Universe.” hal. 31
[7] Secara Akustik: vibrasi yang selaras dari gelombang bunyi dengan frekuensi yang berbeda dengan rasio dari bilangan tertentu. Secara psikologis: suara harmonis dari dua atau lebih not yang berbunyi secara bersamaan, dengan “tidak kasar dan berbenturan”, “kelegaan dari tensi bunyi”. (Stanley Sadie, ed. “Grove Dictionary of Music & Musician.”)
[8] Oktaf: Jarak 8 dari nada semula. Memiliki kualitas yang sama tetapi berbeda pitch (frekuensi nada). Misal A – A’ = 440 Hz – 880 Hz.
[9] “The Music of the Spheres: Music, Science, and the Natural Order of the Universe.” hal. 33
“A History of Western Music.” hal. 7
[10] “The Music of the Spheres: Music, Science, and the Natural Order of the Universe.” hal. 35
[11] S. E. Frost, JR., Ph.D. “Basic Teachings of the Great Philosophers: A Survey of Their Basic Ideas.” New York: Dolphin Books, 1962. hal. 7
[12] “A History of Western Music.” hal. 27
[13] Ibid, hal. 29
[14] Astronomi Ptolemaik adalah astronomi dari Claudius Ptolemy, yang mengasumsikan pergerakan bintang, matahari, dan planet-planet adalah seragam dan membentuk lingkaran, dan Bumi diam tidak bergerak sebagai pusat dari alam semesta yang berputar. (http://www.princeton.edu/~hos/mike/texts/ptolemy/ptolemy.html)
[15] http://www.spaceandmotion.com/mathematical-physics/mathematics-music-waves-vibrating-space.htm
[16] Dikarenakan pada zaman Kepler, baru enam planet yang ditemukan dalam tata surya kita: Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus).
[17] Stanley Sadie, ed.”Grove Dictionary of Music & Musician.”
[18] “The Music of the Spheres: Music, Science, and the Natural Order of the Universe.” hal. ??
[19] http://www.dvar.org.il/jstudies/harmony.html
[20] http://science.howstuffworks.com/atom6.htm
[21] Wisdom of Solomon adalah termasuk kitab Apocrypha.
[22] Albert L. Blackwell. “The Sacred in Music”. Louisville: Westminster John Knox Press, 1999. hal. 44
[23] Ibid