Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya. (Filipi 3:20-21)
Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu. (Yeremia 29:7)
Sebagai orang Kristen di Indonesia, kita sadar bahwa kita memiliki status dwi-warga negara. Kita memiliki status warga negara Kerajaan Sorga dan sekaligus warga negara Indonesia. Tentunya status sebagai dwi-warga negara ini memiliki keunikan, potensi, dan tantangan tersendiri.[1] Pada kesempatan ini, penulis akan sedikit merenungkan keterkaitan antara dua aspek ini. Secara spesifik, penulis akan merenungkan ideologi Pancasila dari perspektifnya sebagai orang Kristen di Indonesia. Dalam sejarah penetapannya, Pancasila telah menempuh beberapa tahap perumusan. Dalam pidato pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menekankan beberapa elemen dan prinsip mendasar yang meliputi prinsip kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan. Secara konteks, Pancasila dirumuskan dalam masa-masa mendekati proklamasi kemerdekaan, yang diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia dari berbagai macam suku dan agama. Dengan latar belakang seperti ini, Indonesia membutuhkan ideologi dan dasar negara yang mampu mengakomodasi rumitnya kompleksitas keberagaman, dan sekaligus mempersatukan mereka dalam satu bangsa dan negara.[2] Tentunya ideologi negara sekuler yang mengesampingkan konsep ketuhanan bukanlah jawaban atas hal ini. Juga konsep negara agama yang hanya menekankan satu agama secara eksklusif tidaklah cukup untuk menjawab tantangan ini. Melalui ideologi Pancasila, Indonesia memiliki dasar agama yang jelas, tanpa harus jatuh kepada prinsip negara theokrasi sempit yang hanya menekankan satu agama saja.
Dalam artikel ini, penulis akan fokus membahas sila pertama dan kedua terlebih dahulu. Dalam waktu-waktu ke depan, jika ada kesempatan, penulis akan menuliskan edisi kedua yang melanjutkan pembahasan mengenai sila ketiga, keempat, dan kelima. Tujuan utama dari artikel ini adalah untuk merenungkan poin-poin dasar Pancasila dan membandingkannya dengan beberapa perspektif dalam Theologi Reformed. Misalkan saja perspektif mengenai sensus divinitatis[3], anugerah umum, respons terhadap wahyu umum[4], manusia sebagai peta dan teladan Allah, dan mandat budaya. Dengan demikian, penulis berharap agar kita dapat belajar bersama-sama dan menggumulkannya untuk hidup dengan sungguh-sungguh, bertanggung jawab, dan berintegritas sebagai umat pilihan Allah dan sekaligus warga negara Indonesia.
Relevansi dan Signifikansi Theologi Reformed
Dengan semangat untuk setia dan sepenuhnya kembali kepada Alkitab, Theologi Reformed tidak hanya memberikan pengaruh dan menerangi dalam level fenomena saja, melainkan terus masuk sampai level kedalaman relung-relung hati, epistemologi, worldview, dan life-system.[5] Theologi Reformed dengan ketat memberikan pencerahan bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan pengenalan Allah yang sejati, Allah Tritunggal. Allah yang mewahyukan Alkitab, dan melalui Alkitab kita boleh semakin mengenal Sang Pemberi Wahyu dan sekaligus seluruh realitas alam semesta. Dalam buku “Gerakan Reformed Injili: Apa? dan Mengapa?” Pdt. Stephen Tong memaparkan bahwa tokoh-tokoh Reformed seperti Abraham Kuyper, Herman Bavinck, Hendrik Kraemer di Belanda; dan Charles Hodge, Archibald Hodge, B. B. Warfield, Cornelius Van Til, John Murray di Amerika telah memperlihatkan semangat tidak berkompromi, yang diturunkan dari John Calvin. Theolog-theolog Reformed dengan gigih berdiri di garis pertempuran yang paling depan untuk melawan arus, filsafat, ideologi, dan ajaran yang tidak setia kepada Kitab Suci. Lebih dalam lagi, pengertian mengenai anugerah umum (common grace) dan wahyu umum (general revelation) telah menjadi kekuatan dan ciri khas Theologi Reformed, khususnya dalam memberikan tuntunan dalam menangani kompleksitas masalah kebudayaan. Gereja bukan hanya dipanggil untuk memberitakan Injil (gospel mandate), tetapi juga untuk menjadi terang dan memberikan pengaruh dalam berbagai aspek kebudayaan (cultural mandate).
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Penulis secara pribadi percaya bahwa sila pertama ini adalah satu keajaiban dan anugerah besar bagi rakyat Indonesia. Sila pertama ini adalah suatu terobosan, dan sekaligus memicu banyak sekali pemikiran dan pertanyaan.[6] Bagaimana mungkin di tengah banyaknya agama dan kepercayaan dari Sabang sampai Merauke, akhirnya bisa dirumuskan konsep ketuhanan yang esa (satu)? Bagaimana kita memikirkan dan menghayati pengertian esa di sini? Bukankah dalam agama Hindu ada begitu banyak dewa-dewi yang disembah? Atau setidaknya tiga dewa yang tertinggi (Brahma, Wisnu, dan Siwa). Bukankah dalam agama Buddha tidak ada satu oknum tertinggi secara khusus yang disembah? Melainkan setiap manusia memiliki potensi dan kemungkinan untuk menjadi Buddha. Lebih dalam lagi, Indonesia mengakui beberapa agama resmi seperti Islam, Kristen (Protestan dan Katholik), Hindu, dan Buddha. Bagaimana ideologi Pancasila mengakomodasi kepercayaan animisme, dinamisme, dan beragam kepercayaan lain yang unik di tiap daerah (misalkan saja kepercayaan Kaharingan di Kalimantan Tengah)?[7] Bukankah kepercayaan-kepercayaan tersebut sudah ada bahkan sebelum negara Indonesia berdiri? Sampai di sini, kita bisa melihat tingginya tingkat kerumitan dalam menetapkan ideologi agama bagi Indonesia.
Dalam butir-butir sila pertama, ideologi Pancasila dengan jelas menekankan untuk menghormati segala perbedaan yang ada, menjamin adanya kebebasan beragama, dan menolak paham atheisme. Dengan dasar seperti ini, Indonesia memiliki perbedaan signifikan dengan negara sekuler seperti Singapura. Di Indonesia, hampir semua orang memiliki agama dan kepercayaan tertentu. Sedangkan di Singapura cukup banyak persentase penduduk yang menganut arus free-thinker dan atheisme.[8] Meskipun demikian, setiap manusia, tanpa terkecuali, pasti memiliki kerinduan untuk menyembah oknum yang lebih tinggi dan berkuasa dari dirinya. Dari perspektif Theologi Reformed, kita dengan jelas melihat bahwa setiap manusia memiliki suatu bibit agama (sensus divinitatis). Tidak peduli orang tersebut lahir di mana, dalam keluarga seperti apa, dan dalam zaman apa, setiap orang memiliki dorongan begitu kuat untuk mencari oknum tersebut. Namun bagaimana dengan kasus orang atheis yang tidak percaya adanya Tuhan? Kitab Roma dengan jelas mengatakan bahwa bibit agama dan dorongan itu tetap ada. Yang terjadi adalah mereka menekan hal tersebut dan terus menyangkalnya.[9]
Di tengah-tengah masyarakat yang begitu plural, bagaimana kita sebagai orang Kristen bisa hidup saling menghormati dan menjunjung tinggi kebebasan beragama?[10] Bukankah pandangan dan kepercayaan yang begitu beragam ini hanya terjadi setelah kejatuhan, bukan sejak awal dalam creational design?[11] Namun harus kita akui juga, dalam ajaran agama-agama lain, ternyata ada aspek-aspek yang mirip dengan ajaran Kristen.[12] Bagaimana hal ini bisa terjadi dan bagaimana kita menanggapinya? Apakah Tuhan juga memberikan wahyu-Nya kepada orang-orang dari agama lain? Jika kita menelusuri pemikiran Abraham Kuyper, ada dua hal besar yang sangat perlu kita pikirkan dan lihat dinamika relasinya, yakni pemikiran mengenai common grace dan antithesis.[13] Kita sadar bahwa Allah telah memberikan anugerah umum kepada semua orang tanpa terkecuali, orang agama apa pun dan bahkan orang atheis sekalipun. Dengan pemikiran ini, kita bisa melihat adanya kesamaan atau titik temu dari seluruh manusia, yakni melalui perspektif common grace ini.[14] Di saat yang sama, Kuyper juga menekankan pemikiran mengenai antithesis. Yakni perbedaan dan pertentangan yang begitu besar dan runcing antara orang-orang pilihan dan yang bukan, antara garis keturunan perempuan dan garis keturunan ular, antara kelompok gandum dan kelompok lalang, antara kelompok domba dan kelompok kambing.[15] Bagaimana kita menyikapi kesamaan dan sekaligus perbedaan ini? Hal-hal ini merupakan suatu aspek yang besar dan memerlukan pembahasan yang lebih teliti, panjang, dan mendalam. Semoga pertanyaan-pertanyaan tadi boleh mendorong dan memicu para pembaca Buletin PILLAR untuk menelusuri lebih lanjut. Semoga dalam bulan-bulan ke depan ada penulis-penulis lain yang membahas hal ini dengan
lebih komprehensif.
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Penulis sangat bersyukur karena dalam sila kedua ini, terdapat intisari dan kaitan dari tiga hal yang begitu penting, yakni konsep mengenai kemanusiaan, keadilan, dan keberadaban. Lebih jauh lagi, dari butir-butir Pancasila, juga dikaitkan mengenai prinsip kesamaan derajat, nilai kemanusiaan, perasaan tenggang rasa dan sepenanggungan, sekaligus hak dan kewajiban manusia. Dari perspektif Theologi Reformed, perenungan mengenai tema kemanusiaan, keadilan, dan peradaban bukanlah suatu hal yang asing. Justru sebaliknya, tiga hal ini telah dikupas dengan begitu mendalam dan kaya, khususnya dalam pembahasan mengenai doktrin manusia dan dosa.[16]
Kemanusiaan
Alkitab dengan tegas dan jelas menyatakan bahwa manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah (image of God).[17] Manusia dicipta begitu istimewa. Sifat-sifat Allah nyata dengan jelas di dalam diri manusia. Karena Allah bersifat Mahaadil, maka manusia memiliki standar dan ekspektasi mengenai keadilan. Karena Allah bersifat Mahasuci, maka manusia adalah makhluk yang memiliki standar moral, teguran hati nurani, dan kerinduan mengejar kesucian. Karena Allah bersifat Mahabijaksana, maka manusia memiliki kapasitas rasio dan pengertian yang membuatnya mampu berpikir, menganalisis, menginterpretasi, dan menaklukkan alam. Manusia yang bertindak semaunya tanpa memedulikan batasan-batasan keadilan, kebenaran, kesucian, dan kebijaksanaan, secara tidak langsung telah menghina dan memberontak terhadap dirinya sendiri, dan terlebih lagi Allah yang mencipta dirinya. Sebagai warga negara Indonesia, kita sungguh bersyukur bahwa dalam ideologi Pancasila, aspek kemanusiaan telah dijunjung begitu tinggi. Walaupun kita juga tahu dalam eksekusinya, menerapkan prinsip ini bukanlah hal yang mudah. Kita sudah kenyang dengan kasus-kasus pejabat pemerintahan yang ditangkap karena kasus korupsi, baku tembak antara polisi dan TNI, hakim dan jaksa yang menerima suap dan mempermainkan keadilan, anggota legislatif yang berdebat tidak jelas saat sidang-sidang penting, pemilik perusahaan yang menghancurkan lingkungan demi keuntungan jangka pendek, karyawan-karyawan yang malas bekerja dan hanya mau menjilat atasan, guru-guru yang hanya duduk dan ngopi-ria pada jam-jam mengajar, dan mahasiswa/i yang bermalas-malasan, mabuk-mabukan dan melakukan freesex.
Keadilan
Salah satu butir dari sila kedua adalah penekanan akan keberanian dalam membela kebenaran dan keadilan. Pengertian mengenai keadilan bisa dimengerti melalui terminologi justice atau righteousness. Sungguh menarik dalam butir Pancasila digabungkan elemen penting kebenaran dengan keadilan. Alkitab sendiri kerap kali memadukan elemen keadilan dengan kebenaran (pengertian righteousness, bukan sebatas justice). Keadilan bisa dimengerti sebagai sikap yang memperlakukan orang lain dengan sama rata dan tulus tanpa membeda-bedakan berdasarkan status sosial, suku, agama, dan golongan. Terlebih lagi, sikap tanpa membedakan ini harus diterapkan secara ketat, khususnya dalam memberikan penghormatan dan sekaligus hukuman sesuai dengan standar kebenaran yang ada.[18]
Acuan standar kebenaran dalam menjalankan keadilan tentunya dapat menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Indonesia yang pluralistik. Namun sekali lagi, penulis percaya prinsip kebenaran yang sejati adalah bersifat kekal dan universal, tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu. Juga kita tentunya setuju dengan prinsip “All Truth is God’s Truth” yang disuarakan oleh profesor filsafat dari Wheaton College, Arthur Frank Holmes. Ditambah lagi pengertian anugerah umum yang berarti orang-orang dengan latar belakang seperti apa pun masih memiliki kesadaran akan prinsip-prinsip kebenaran. Tentunya kita perlu berdoa dengan sungguh agar muncul orang-orang yang menjalankan prinsip keadilan dengan penuh integritas dan ketegasan. Seperti Samuel yang selama menjadi hakim tidak pernah memeras rakyat dan menerima suap,[19] Yusuf dan Daniel yang tidak pernah dicatat kebobrokannya selama bertugas sebagai pejabat publik, Daud dan Salomo yang mampu menyelidiki kasus-kasus rumit sampai kedalaman motivasi yang tersembunyi,[20] dan Paulus yang selama memimpin jemaat dan tua-tua Efesus tidak kenal lelah terus berkorban dan menjadi berkat bagi jemaat.[21]
Keberadaban
Kapasitas untuk berbudaya dan mengembangkan peradaban hanya secara khusus dan unik dimiliki oleh manusia. Tuhan yang menciptakan manusia telah menempatkan manusia sebagai mahkota ciptaan, juru kunci yang diberi kepercayaan untuk mengatur dan mengelola seluruh alam.[22] Sepanjang sejarah, peradaban-peradaban raksasa terus bergulir, datang dan pergi. Mulai dari peradaban Mesopotamia, Aztek, Mesir, Cina, Yunani, dan India. Ada sangat banyak perspektif dalam memberikan kriteria suatu bangsa dan peradaban adalah peradaban yang besar dan bermutu. Mulai dari kompleksitas struktur masyarakat, keharmonisan relasi antarmanusia, keagungan standar etika sosial, kemajuan simbol-simbol dan komunikasi, keindahan ekspresi seni di berbagai bidang, kemegahan infrastruktur dan bangunan, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan riset. Franklin D. Roosevelt menyatakan, “If civilization is to survive, we must cultivate the science of human relationships – the ability of all peoples, of all kinds, to live together, in the same world at peace.” Ir. Soekarno dalam pidatonya di Hari Pahlawan tahun 1961 menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawan-pahlawannya. Dalam penghayatannya, kita tentunya tidak boleh naif dalam mengembangkan peradaban. Sejak kejatuhan, unsur dosa telah begitu mengikat dan melumuri setiap sendi-sendi masyarakat. Sebagai orang Kristen, apakah yang selama ini kita kerjakan dan kembangkan? Apakah kita berjuang sekuat tenaga untuk mengembangkan menara Babel untuk membesarkan nama sendiri? Atau kita sudah giat dan mempersiapkan diri begitu rupa untuk membangun bait Allah yang sesuai dengan isi hati Tuhan?[23]
Penutup
Di akhir bagian dari artikel ini, penulis sangat berharap ada sekelompok orang dalam Gerakan Reformed Injili yang benar-benar menggumulkan panggilan dan perannya sebagai orang Kristen di Indonesia. Semoga ada sekelompok orang yang dengan sungguh-sungguh merenungkan statusnya sebagai warga negara Indonesia dan warga negara Kerajaan Sorga. Pdt. Stephen Tong kerap kali menekankan bahwa ruang dan waktu adalah dua contoh anugerah yang begitu besar, namun sangat sering tidak disadari. Mengapa kita dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia, bukan di negara lain? Mengapa kita hidup di dunia setelah zaman Indonesia merdeka, bukan sebelumnya?[24] Semoga dua lirik lagu ini bisa memberikan momen singkat kepada para pembaca Buletin PILLAR untuk merenungkan panggilan dan peran kita di dalam keluarga, sekolah, tempat pekerjaan, gereja, kota, masyarakat, negara, dan tentunya Kerajaan Allah secara luas.
Almighty Father, Master and Lord,
King of all kings and Redeemer,
Wonderful Counsellor, Comforter, Friend,
Saviour and Source of our life without end.
Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR
Reference:
http://www.monergism.com/thethreshold/sdg/berkhof/systematic_theology.html
http://www.reformedreflections.ca/biography/abraham-kuyper.html
https://www.youtube.com/watch?v=ugrQOEeNVCo – Hope, Race, and Power
Endnotes:
[1] Dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa, ketegangan antara dua hal ini tidak bisa dihindari. Sebagai orang Kristen, kita harus memilih untuk menyenangkan Allah daripada manusia. Sama halnya seperti Sadrakh, Mesakh, dan Abednego di hadapan Nebukadnezar, ataupun Paulus di hadapan Raja Agripa.
[2] Pada peringatan lahirnya Pancasila tanggal 5 Juli 1958 di Istana Negara, Bung Karno berkata bahwa ada begitu banyak suku, agama, golongan, dan aliran pemikiran di Indonesia.
[3] Istilah-istilah lain: sense of divinity, seed of religion, sensus deitatis, semen religionis.
[4] Dalam pengajarannya mengenai “Filsafat Asia”, Pdt. Stephen Tong membedakan ajaran-ajaran dari agama lain sebagai reaksi dari wahyu umum (bukan wahyu umum). Reaksi itu bisa tepat dan bisa tidak. Maka ada beberapa ajaran agama lain yang memiliki kemiripan dengan ajaran Kristen.
[5] Bahasa Jerman: Weltanschauung, bisa juga digunakan istilah life-view atau world-view.
[6] Secara khusus perenungan mengenai istilah “esa”. Bagaimana bisa di dalam majemuknya agama dan kepercayaan di Indonesia, bisa muncul pengertian mengenai Allah yang esa? Apakah pengertian esa di sini?
[7] Contoh-contoh kepercayaan lain: Islam Kejawen, Pelebegu, Sunda Wiwitan, Baha’i.
[8] Baik itu yang percaya Allah tidak ada, tidak peduli ada Allah atau tidak (pencapaian, materi, dan kenyamanan yang menjadi allah), tidak tahu ada Allah atau tidak (agnostik).
[9] Roma 1:18-32.
[10] Dalam seminar mengenai “Kedaulatan Allah dan Kuasa Pemerintahan”, Pdt. Stephen Tong menyatakan bahwa Allah yang memberikan kebebasan beragama kepada manusia, bukan pemerintah. Allah memberikan ruang bagi manusia untuk bahkan memberontak kepada-Nya.
[11] Pluralisme dan beragamnya pandangan filsafat yang menentang Tuhan baru terjadi setelah manusia jatuh dalam dosa. Bibit skeptisisme ditanam oleh ular kepada Hawa agar Hawa mulai ragu dan mencurigai Tuhan.
[12] Misalkan saja: Dalam Hindu ada konsep Avatar, yakni dewa-dewi (jamak), yang mau turun ke dunia atas kerelaannya sendiri. Konsep Rén (仁) dalam Konfusianisme menekankan aspek kemanusiaan dan kebajikan yang memiliki kemiripan dengan ajaran Alkitab mengenai relasi antarsesama manusia. Dalam buku “Iman dan Agama”, Pdt. Stephen Tong menekankan hampir semua agama mengajarkan konsep penciptaan, konsep moralitas, adanya kejatuhan dalam dosa, dan pengharapan akan kekekalan.
[13] Contoh referensi mengenai pembahasan akan dua hal ini:
http://www.allofliferedeemed.co.uk/Klapwijk/@Antithesis_&_Common_Grace.pdf.
[14] Bisa bandingkan dengan dua artikel ini:
[15] Kejadian 13:15, Matius 13:24-30, Matius 25:31-46.
[16] Contoh: http://www.monergism.com/thethreshold/sdg/berkhof/systematic_theology.html#parttwo.
[17] Seri pembahasan komprehensif mengenai tema Image of God yang pernah disampaikan oleh Pdt. Stephen Tong: https://www.buletinpillar.org/transkrip/manusia-peta-teladan-allah-bagian-1.
[18] Pengertian keadilan bisa mendapatkan sense dan penghayatan yang berbeda dalam arus-arus pemikiran tertentu, misalkan saja pengertian keadilan melalui perspektif utilitarian, kontrak sosial, egalitarian, dan distributive justice.
[19] 1 Samuel 12:1-5.
[20] 2 Samuel 14:18-20, 2 Samuel 18:12-13, 1 Raja-Raja 13:16-28.
[21] Kisah Para Rasul 20:17-38.
[22] Mazmur 8, Kejadian 2:15.
[23] Bandingkan dengan artikel https://www.buletinpillar.org/artikel/the-two-towers.
[24] Dalam klip SPIK 2014, Pdt. Stephen Tong menyatakan pentingnya manusia mengetahui alasan dan maksud mengapa ia harus hidup di dunia: https://www.youtube.com/watch?v=IUjr_Rhd0v0.