Introduksi
Artikel ini ditulis dalam konteks perenungan dan pergumulan penulis terkait “seni sekuler”. Sebagai orang Kristen yang bertanggung jawab, sejauh mana kita bisa menikmati, melakukan eksplorasi, dan mempelajari hal-hal terkait “seni sekuler”? Artikel ini merupakan sebuah perenungan singkat, yang masih perlu untuk terus dikembangkan di waktu-waktu ke depan.
Dalam Galeria Sophilia (tautan media sosial resmi), ada satu segmen lukisan Barat yang terbagi menjadi dua. Sisi kiri merupakan kumpulan lukisan sekuler dan sisi kanan merupakan kumpulan lukisan sakral. Tentu dalam konteks museum dan untuk kemudahan pengunjung, pembagian ini cukup lumrah. Namun jika kita merenungkan lebih jauh, apa itu pemisahan sekuler-sakral ini? Apakah pemisahan ini sebenarnya bisa dipertanggungjawabkan? Bukankah dalam konteks iman Kristen, secara spesifik prinsip Reformasi, tidak ada pemisahan sekuler dan sakral, terutama jika kita memikirkan bahwa segala aspek hidup harus bertanggung jawab kepada Tuhan?
“Sekuler” cenderung tidak terkait dengan keagamaan atau kerohanian. Salah satu akar kata “sekuler” adalah dari bahasa Latin, yakni saeculum yang bisa berarti generasi, abad (age), maupun dunia (worldliness). Pengertian “sakral” tentu sebaliknya, hal-hal terkait ke-Tuhan-an, agama, Ilahi, transenden. Secara tema dan focus, di sebelah kiri banyak terdapat lukisan-lukisan raja, ratu, bangsawan, dan revolusi. Sementara di sebelah kanan terdapat lukisan tokoh Alkitab, penyaliban Yesus, dan peristiwa mujizat oleh Tuhan. Pada zaman Renaissance, hampir semua seni visual yang dihasilkan adalah seni sakral. Karya-karya sakral oleh Masaccio dianggap sebagai awal mula era Renaissance. Pada awal abad ke-19, muncul kebangkitan seni sekuler dengan Monet, Rothko, dan Picasso. Tetapi subjek penting yang akan direnungkan dalam artikel ini adalah nilai seni sekuler dalam kehidupan orang Kristen. Apakah karena orang Kristen sudah punya keindahan Injil maka semua karya dunia menjadi sampah? Tentu tidak.1
Perenungan mengenai Seni Sekuler
Ketika kita bicara mengenai “seni sekuler”, yang seringkali menjadi kontroversial adalah tema-tema yang memang cukup jelas berdosa, seperti kekerasan, kesadisan, dan pornografi. Lebih dalam lagi, ada tema-tema “sekuler” yang bisa kita lihat sebagai “roh zaman”, juga aspek pergumulan yang memerlukan jawaban, misalnya tema-tema mengenai kemiskinan, ketimpangan sosial, penjajahan, serta polusi akibat industri dan teknologi. Jika kita menghadapi dan mengamati seni tersebut dengan lensa kritis, seni sekuler dapat bantu menginformasikan kita dan bukan menyengsarakan kita. Seni sekuler tidak lepas dari perlunya pembelajaran. Lebih dalam lagi, dalam konteks theologi Reformed, seharusnya orang Kristen memiliki cara pandang (worldview) yang lebih terbentuk dan setia kepada prinsip firman, terutama dalam melakukan analisis terhadap seni sekuler.
Berikut adalah dua hal singkat yang saya bisa renungkan dan bagikan, terkait pembelajaran saya dalam melihat seni sekuler:
Pertama, saat menikmati seni, kita bisa merenungkan apa tujuan dan konteks karya tersebut. Misalkan karya Francisco Goya “The Disasters of War”, sebuah seri cetakan (prints) yang penuh dengan kekerasan menanggapi penganiayaan dan eksekusi publik terhadap warga sipil Spanyol di tangan militer Prancis yang berkuasa. Saya pribadi menilai bahwa bila diberikan konteks, karya ini justru menekankan dan mendorong nilai-nilai anti peperangan. Lukisan-lukisan tersebut bisa berfungsi sebagai peringatan. Bagaimana jika karya ini dilihat di luar konteks yang seharusnya? Bisa saja kita malah menafsir bahwa Goya memuliakan/mendewakan kekerasan, yang sebenarnya tidak demikian jika kita sudah mempelajari konteks pelukis dan lukisan tersebut. Maka Anda dapat melihat pentingnya konteks penafsiran dalam seni. Dan sebenarnya ini juga berlaku untuk pembacaan dan perenungan firman Tuhan. Seperti halnya seni, firman Tuhan harus ditafsirkan dengan benar dan sesuai konteks (dengan kata lain, tidak boleh sembarang comot ayat). Saat ditafsirkan dengan benar, pembacaan dan perenungan firman akan menjadi berkat besar.

The Disasters of War, Francisco Goya
Seni sekuler tidak lepas dari perlunya pembelajaran. Lebih dalam lagi, dalam konteks theologi Reformed, seharusnya orang Kristen memiliki cara pandang (worldview) yang lebih terbentuk dan setia kepada prinsip firman, terutama dalam melakukan analisis terhadap seni sekuler.
Kedua, dalam kehidupan orang Kristen, kita dipanggil untuk menginjili dan melayani orang-orang dengan pergumulan berat. Seringkali, seni sekuler dihasilkan oleh seniman yang sangat mengerti pergumulan ini dan dengan mengamati karya-karya tersebut, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih personal tentang pergumulan mereka. Mari kita mengamati karya “Nighthawks” oleh Edward Hopper. Pada awalnya, karya ini terlihat sederhana dan kosong tanpa makna, tetapi ketika diamati lebih dalam, kita bisa mengerti pergumulan yang begitu berat. Hidup Edward Hopper penuh dengan kesendirian dan kesusahan. Ia mengalami karir yang stagnan dan pernikahan yang penuh kebencian. Dalam lukisan ini, Hopper mengungkapkan keterpisahan ini dalam tokoh-tokoh suram yang merasa kesepian meskipun ada orang yang menemaninya. Seni yang hebat memperluas pergumulan internal ini kepada pengamat, sehingga mereka dapat mengambil bagian dalam emosi yang begitu dalam. Melalui seni, kita dapat berempati dengan pengertian. Sekarang teman-teman kita yang tidak percaya dapat merasakan bahwa kita tidak menghadapi mereka dengan retorika hampa, tetapi dengan kepedulian yang tulus.

Nighthawks, Edward Hopper
Penutup
Yesus menyatakan bahwa kita adalah garam dan terang dunia. Terang tidak akan kalah melawan kegelapan, melainkan mengalahkannya. Garam tidak menjauh dari yang tawar, tetapi justru mengangkatnya ke dalam kualitas garam dan memberikan rasa asin yang positif. Dalam seni, kita juga perlu berperan sebagai garam dan terang. Melalui seni sekuler, kita bisa mempelajari apa yang menjadi pergumulan dalam zaman ini, dan itu bisa menjadi pintu masuk untuk membawa orang kepada Kristus. Semoga artikel singkat ini bisa mendorong pembaca PILLAR untuk lebih setia dalam mendalami firman dan seni, sehingga kita bisa menjadi orang Kristen yang limpah dan menjadi berkat dalam zaman ini.
Jamie Elijah Yauw
Jemaat GRII Graha Famili, Surabaya
- Katekismus Westminster menulis bahwa tujuan utama manusia adalah untuk memuliakan Tuhan dan menikmati Tuhan. Salah satu cara untuk menikmati Tuhan adalah secara estetis. Dalam Mazmur, keindahan Tuhan dan rasa kagum manusia tidak terpisah. Manusia dicipta dengan emosi untuk merespons keindahan. Tuhan tidak membuat keindahan Injil sebagai satu-satunya hal yang dapat kita nikmati, melainkan ciptaan-Nya juga.