Di dalam sebuah wawancara, seorang psikolog asal Kanada, Jordan Peterson, pernah bercerita bagaimana orang selalu bertanya kepadanya apakah ia percaya kepada Tuhan. Ia pun menjawab bahwa ia bertindak seolah-olah Tuhan itu ada. Karena baginya tindakan adalah indikasi terbaik untuk mengetahui kepercayaan seseorang daripada pernyataan orang tersebut tentang keyakinannya. Kita selalu menginginkan hasil yang nyata, bukan? Kita tentu tidak suka jika seseorang menggombal kepada kita, tetapi di dalam kesehariannya dia tidak menunjukkan kasih dalam perbuatannya. Zaman ini sangat menekankan tindakan yang nyata.
Di antara 200 kantata yang Bach pernah tulis, salah satu di antaranya berjudul “Herz und Mund und Tat und Leben” yang dapat diterjemahkan sebagai “Hati, Mulut, Perbuatan, dan Hidup”. Kantata ini bagaikan perjalanan kerohanian kita yang berawal ketika kita menerima Tuhan dalam hati kita, lalu kita memakai mulut kita untuk memuji Tuhan dan melakukan perintah-perintah Tuhan dalam keseluruhan hidup kita.
Dari sepuluh bagian dalam kantata BWV 147 ini, lirik bernomor ganjil awalnya disiapkan oleh Salomon Franck untuk Minggu Adven ke-4. Namun karena gereja di Leipzig tidak menyanyikan kantata selama masa Adven, maka seorang penyair anonim menambahkan teks pada bagian bernomor genap. Bach kemudian menggubahnya menjadi kantata untuk perayaan Pesta Santa Perawan Maria. Chorale di bagian sepuluh mungkin cukup familier dengan kita. Chorale ini sering kali dimainkan dalam pernikahan ataupun dalam perayaan Natal atau Paskah. Dalam bahasa Inggris, chorale ini dikenal dengan judul “Jesu, Joy of Man’s Desiring”.
Di dalam tradisi Gereja Katolik Roma, mereka merayakan Pesta Santa Perawan Maria pada tanggal 2 Juli. Pesta ini memperingati momen Maria datang mengunjungi Elisabet. Dalam perayaan ini, mereka biasanya membacakan Yesaya 11:1-5, Lukas 1:39-56, dan juga nyanyian Maria yang biasa kita kenal sebagai Magnificat. Momen ini adalah momen yang cukup penting karena menunjukkan bagaimana Yohanes Pembaptis sejak dalam kandungan sudah menyambut dan mengakui Yesus. Momen ini menjadi momen di mana semua orang Kristen dipanggil untuk bergabung.
Seperti perayaan yang identik dengan perasaan gembira dan meriah, kantata ini dimulai dengan chorus yang meriah. Ketika kita baru saja menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat satu-satunya, kita pasti merasakan perasaan gembira tersebut. Inilah yang digambarkan oleh Bach dalam sepuluh birama pertama.
Setelah sepuluh birama yang meriah, chorus pertama ini dilanjutkan dengan kata-kata “ohne Furcht und Heuchelei”, yang artinya tanpa rasa takut dan kemunafikan. Di sini Bach menggambarkan kata-kata tersebut dengan menarik. Bach menghilangkan basso continuo (bas yang terus berjalan, bukan ditahan) yang melambangkan hilangnya “safety guard” kita. Kalau kita diumpamakan sebagai domba, bagian ini menjadi adegan di mana kita tiba-tiba dilempar ke tengah-tengah serigala. Dalam hidup kita, kita pasti sering mengalami pergumulan seperti ini.
Ketika kita berada di tengah-tengah dunia, di lingkungan yang bukan Kristen, kita sering kali gagal dalam menyatakan iman kita. Ketika kita makan bersama teman kita yang bukan Kristen, mungkin akan sulit bagi kita untuk tetap berdoa menutup mata melipat tangan sebelum makan. Kita sering kali berkompromi dengan berargumen bahwa Tuhan selalu melihat isi hati kita, tidak perlu selalu dari tindakan.
Bagian kedua, ketiga, dan keempat memiliki tema yang sama, mengingatkan kita untuk berani menyatakan iman kita. Namun, masing-masing bagian memiliki nuansa yang berbeda.
Bagian kedua menceritakan mengenai Maria yang bernyanyi mengenai keajaiban Tuhan. Dengan melodi dan iringan yang lembut, nyanyian Maria ini mengingatkan kita akan Tuhan yang telah menyelamatkan kita. Namun, kita sering kali keras kepala dan tidak mau mengakui Tuhan.
Di bagian ini, musiknya pun menjadi tegang, dengan progres akor disonan, karena ingin menunjukkan penghakiman Tuhan yang akan datang kepada orang yang malu menyatakan keajaiban Tuhan.
Bagian ketiga mengingatkan kita untuk tidak malu mengakui Tuhan di tengah-tengah dunia sekarang ini, karena orang seperti ini akan diakui Kristus di hadapan Bapa seperti yang tertulis dalam Matius 10:32. Di sini Bach menggunakan suara alto dengan diiringi oleh obo. Keduanya membawa nuansa gloomy seperti berada di hutan yang berkabut. Dalam perjalanan iman kita, ketika kita merasa sendirian dan bingung, merasa tidak memiliki teman, biarlah bagian ini menjadi pengingat bagi kita untuk tidak malu dan tetap berpegang pada pengharapan yang telah Tuhan janjikan.
Bagian keempat dimulai dengan ketegangan, mengingatkan kita bahwa Tuhan akan menghancurkan takhta penguasa-penguasa dunia. Lalu bersamaan dengan kata-kata “Tuhan akan mengangkat orang-orang yang malang”, musiknya pun mulai dari nada yang rendah naik ke nada yang tinggi. Bagian ini ditutup dengan ajakan untuk kita, orang-orang Kristen, bersiap, karena sekarang adalah saatnya untuk memeluk-Nya dengan iman.
Kantata ini dilanjutkan dengan bagian kelima yang dimulai dengan biola, yang menggambarkan orang yang mencari-cari akan Tuhan, sambil meminta agar Ia membuka jalan-Nya dan memanggil kita untuk datang kepada-Nya. Di sini Bach sedikit mengubah teks dari Franck. Sebelumnya, Franck menulis “masuklah ke dalam rongga hati dan jiwa”. Bach mengubahnya menjadi “Juruselamatku, pilihlah jiwa yang beriman”.
Selesai dari bagian kelima, ini seperti pergumulan dalam hati kita yang juga sudah selesai. Kita sudah dengan penuh keyakinan percaya akan Tuhan yang menjadi Juruselamat kita satu-satunya, maka di chorus bagian keenam ini, mulai ditunjukkan bagaimana kita bisa bersuka karena Tuhan menjadi teman kita yang tidak meninggalkan kita saat sakit dan putus asa. Di dalam perayaan Pesta Santa Perawan Maria, setelah bagian keenam selesai, ibadah dilanjutkan dengan khotbah, baru kemudian masuk ke bagian ketujuh sampai kesepuluh.
Dalam komposisi musik, khususnya zaman Barok, dikenal istilah yang disebut kontrapung. Ketika kita mendengarkan sebuah lagu, akan selalu ada melodi yang lebih menonjol, yang menjadi benang merah lagu tersebut, dan yang tidak terlalu menonjol disebut dengan iringan. Sedangkan di dalam kontrapung, semua suara menjadi penting. Semua suara adalah melodi yang perlu ditonjolkan. Dalam sebuah lagu bisa terdapat dua alur melodi, bisa tiga, atau bahkan lima. Semua alur melodi ini berdiri sendiri, namun tetap terdengar harmonis satu dengan yang lainnya. Lalu bagaimana kita bisa mencermati semua alur melodi ini? Setiap alur melodi berbeda baik di dalam warna suara maupun jenis nada yang dimainkan. Dalam bagian ketujuh, terdapat kontrapung antara solo tenor dan harpsichord. Solo tenor akan bernyanyi dengan lebih santai secara syllabic (satu nada untuk setiap suku kata) sedangkan harpsichord penuh dengan triol (tiga nada dalam satu ketukan).
Kedua suara tersebut terdengar sangat harmonis, namun kita tetap dapat mendengarkan alur melodi dari masing-masing suara. Melodi dari harpsichord menggambarkan bahwa di dalam menyatakan iman kita keluar, pasti selalu akan ada kegelisahan dan ketakutan. Namun seperti kata-kata yang dinyanyikan oleh solo tenor, biarlah kita selalu meminta kepada Tuhan di dalam iman dan ketenangan untuk hati kita selalu terbakar oleh cinta kepada Tuhan.
Dalam Lukas 1:41, ketika Maria memberi salam kepada Elisabet, maka melonjaklah Yohanes Pembaptis di dalam rahim Elisabet dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus. Bagian kedelapan dari kantata ini menggambarkan peristiwa tersebut. Dalam beberapa interpretasi, kita bisa mendengar bagaimana solo alto akan menyanyikan bagian hüpft und springet (melompat) dengan sedikit lebih cepat dan oboe da caccia akan bermain dengan staccato untuk menggambarkan lompatan ini.
Lirik dalam bagian kedelapan dan kesembilan mengingatkan kita bahwa daging kita lemah, tetapi Tuhan akan memenuhi kita dengan Roh Kudus sehingga kita dimampukan untuk menyatakan pekerjaan-Nya yang ajaib. Seperti menjadi penutup dari pergumulan kerohanian kita, bagian kesembilan memiliki nuansa yang meriah. Setelah semua pergumulan dan kesulitan yang ada, kita diingatkan akan Tuhan dan karya-Nya, serta Roh Kudus yang akan memimpin kita untuk menyatakan kemuliaan Tuhan. Kantata ini kemudian ditutup dengan chorale yang terkenal, “Jesus bleibet meine Freude”.
Selain kontrapung, salah satu bentuk komposisi yang terkenal di zaman Barok adalah ritornello. Ritornello adalah sepotong melodi yang terus berulang, namun berulang dalam berbagai variasi. Variasi ini bisa menjadi lebih sederhana ataupun lebih kompleks. Dalam chorale keenam dan kesepuluh yang identik, kita bisa melihat melodi yang awalnya dimainkan oleh biola muncul kembali dalam bentuk yang lebih sederhana saat dinyanyikan oleh kur.
Dari keseluruhan kantata ini, kita melihat akan pergumulan sebagai seorang Kristen dalam memuji Tuhan dan melakukan setiap perintah Tuhan. Setiap orang pasti memiliki penderitaan dan ketakutannya masing-masing. Mungkin takut akan ancaman dari sekitar, atau takut merasa dihakimi dan dianggap paling suci oleh orang sekitar, dan takut ditertawakan. Kantata ini mengajarkan kita untuk kembali kepada Kristus dan memahami karya keselamatan yang telah Ia kerjakan.
Zaman ini menekankan tindakan yang nyata. Kita mungkin sering mendengar kata-kata seperti “semua agama mengajarkan cinta kasih” dan menuntut semua orang untuk mampu mengasihi. Tetapi nyatanya, manusia tidak mampu mengasihi tanpa pengertian yang benar di dalam hatinya. Dari kantata ini kita belajar bahwa pergumulan kita akan terus menjadi pergumulan yang tanpa solusi jika kita tidak bergumul bersama Tuhan. Kita diingatkan kembali bahwa kekuatan kita adalah Tuhan Yesus itu sendiri. Tanpa kita benar-benar mengenal Tuhan dan karya-Nya, tanpa kita benar-benar meminta kepada-Nya, tidak mungkin kita bisa memiliki mulut yang mampu menceritakan keajaiban Tuhan, tidak mungkin kita mampu menjalankan perintah-perintah-Nya dan memiliki hidup yang berbuah lebat.
Eunice Girsang
Pemudi FIRES