Di dalam konteks Natal, karya Oratorio Messiah adalah karya musik klasik yang paling banyak dipentaskan baik dalam konteks religius sebagai bagian dari ibadah Natal maupun di dalam konteks pementasan musik yang bersifat umum. Luasnya apresiasi terhadap karya ini dapat melintasi baik bidang agama maupun musik karena karya ini bukan hanya memiliki keindahan di dalam aspek komposisi musik, namun juga makna theologis yang dalam dan alkitabiah. Pujian dan apresiasi tidak hanya datang dari kalangan orang-orang beragama Kristen, tetapi juga dari kalangan orang-orang sekuler bahkan atheis. Hal ini merupakan kabar baik bagi kita orang-orang Kristen, karena hal ini berarti berita mengenai Mesias atau, lebih spesifik lagi, Injil yang disampaikan melalui musik ini dapat diterima oleh khalayak yang lebih luas. Namun, seberapa jauh pengertian akan signifikansi Mesias ini dimengerti oleh orang luas tersebut? Karena sesungguhnya berita Mesias ini bukan sekadar apresiasi terhadap Pribadi Kristus saja, tetapi berita ini sangat esensial bagi umat manusia, karena berita ini berkaitan dengan masalah hidup dan mati umat manusia secara kekal.
Signifikansi kehadiran Mesias mungkin tidak mudah dimengerti oleh kita yang hidup di masa ini. Namun, signifikansi berita kehadiran Mesias sangat dimengerti oleh orang-orang Yahudi yang hidup pada saat Kristus lahir. Walaupun terdapat pengertian yang salah sehingga mereka tidak bisa menyadari kehadiran Mesias, tetapi setidaknya mereka tahu betapa pentingnya kehadiran Sang Mesias tersebut. Mereka mengerti bahwa kehadiran Mesias ini adalah harapan bagi kehidupan dan kekelaman yang mereka alami saat itu. Namun ironisnya, karena terdapat kesalahan interpretasi yang menimbulkan ekspektasi yang salah terhadap arti kehadiran Mesias, akhirnya mereka menjadi sekelompok manusia yang pada akhirnya menolak bahkan menyalibkan Sang Mesias itu sendiri.
Maka di dalam konteks Natal ini, kita perlu kembali merenungkan signifikansi kehadiran Sang Mesias ke dalam dunia ini. Natal adalah hari raya kekristenan yang maknanya sudah dibelokkan sangat jauh dari yang seharusnya. Bukan hanya karena orang-orang non-Kristen yang memanfaatkan Natal demi keuntungan pribadi, tetapi juga orang-orang Kristen sudah memanfaatkan Natal untuk sebuah perayaan yang meriah, jauh daripada makna yang seharusnya. Oleh karena itu, di dalam artikel ini kita akan membahas beberapa poin mengenai signifikansi kehadiran Sang Mesias. Seorang theolog yang bernama Anselm pernah mengungkapkan sebuah pertanyaan yang berkaitan dengan hal ini, “Why God became man?” Lebih jelasnya, ia bertanya seperti demikian:
“By what logic or necessity did God become man, and by His death, as we believe and profess, restore life to the world, when he could have done this through the agency of some other, angelic or human, or simply by willing it?”
Di kalangan para theolog, pertanyaan ini mengundang perdebatan akademis yang panjang, bahkan hingga saat ini pun masih dibicarakan. Namun perdebatan ini tidak akan kita bahas di dalam artikel ini, karena pembahasan ini akan berkait dengan pengenalan akan Pribadi Allah itu sendiri. Artikel ini akan membahas aspek relasi manusia dengan Allah, yang kita kenal dengan istilah “covenantal relationship”.
Di dalam relasi perjanjian (covenantal relationship) tersebut, manusia berada di dalam suatu ikatan perjanjian dengan Allah. Manusia dituntut untuk hidup taat kepada Allah sebagai Tuan dari perjanjian tersebut. Di dalam relasi ini, Tuhan memberikan janji-janji-Nya kepada manusia dengan syarat manusia harus taat dan setia kepada Allah. Oleh karena itu, inti relasi antara Allah dan manusia adalah “covenantal obedience”. Secara sederhana, ini berarti tuntutan Allah dan sukacita manusia dipelihara di dalam relasi yang penuh kasih dan kesetiaan.
Di dalam relasi perjanjian Allah dengan manusia, Theologi Reformed membagi umat manusia ke dalam dua kelompok besar, yaitu covenant breaker yang diwakili oleh Adam pertama dan covenant keeper yang diwakili oleh Adam kedua, yaitu Kristus. Sebagai perwakilan umat manusia, Adam pertama memiliki tugas untuk memenuhi dan menaklukkan dunia ini di dalam ketaatan kepada Allah. Namun, Adam gagal karena ia ingin menjadi sama seperti Allah dengan memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat. Ia ingin menjadi allah atas dirinya sendiri dan menentukan apa yang baik dan jahat. Hal ini mengakibatkan umat manusia berada di dalam status sebagai covenant breaker yang layak untuk mendapatkan hukuman kekal dari Allah. Kejatuhan manusia ke dalam dosa menjadikan mereka sebagai seteru Allah. Status ini sangat bertolak belakang dengan relasi Allah dan manusia yang seharusnya, yaitu relasi yang menuntut ketaatan secara total dan sempurna. Kegagalan Adam pertama untuk taat kepada Allah membawa umat manusia menuju jurang kematian. Kondisi inilah yang kita alami saat ini. Kita hadir sebagai seteru Allah dan kehidupan kita menuju jurang kematian. Dengan status Adam pertama yang seperti ini, tatanan ciptaan yang Allah ciptakan bagi kemuliaan-Nya, sekarang menjadi ciptaan yang melawan dan mendukakan hati Tuhan.
Maka pertanyaannya adalah, “Siapa yang sanggup menyelamatkan kita, baik dari perseteruan dengan Allah maupun dari jurang kematian kekal?” Di dalam konteks relasi Allah dan manusia ini, maka seorang Juruselamat haruslah pribadi yang dapat menyatakan kesetiaan yang total dan sempurna kepada Allah. Ia harus menjalankan relasi covenantal obedience yang mewakili manusia di hadapan Allah. Dengan ketaatan-Nya, Juruselamat ini menjadi teladan bagi umat manusia yang adalah gambar Allah. Ia haruslah gambar dan rupa Allah yang sejati, dan dengan ketaatan-Nya memuliakan Tuhan, mengembalikan seluruh tatanan ciptaan kembali di dalam naturnya, yaitu memuliakan Tuhan.
Maka, di sini setidaknya ada dua aspek penting dari alasan mengapa Allah harus menjadi manusia. Mesias hadir sebagai mediator antara Allah dan manusia. Di hadapan Allah, Ia harus menanggung murka yang seharusnya ditanggung oleh kita manusia berdosa. Di hadapan umat manusia, Ia menjadi teladan bagaimana seharusnya gambar dan rupa Allah yang sejati menjalankan hidupnya di hadapan Allah.
Simon Lukmana
Pemuda FIRES