Reflection on Oratorio Messiah (15): He Was Despised

Pengasingan atau merasa terasing merupakan salah satu masalah sosial yang tidak pernah bisa hilang dari sejarah manusia. Walaupun banyak kampanye dan ajakan untuk kita peduli terhadap sesama manusia, terutama orang-orang yang memang membutuhkan, di setiap zaman, tema diskriminasi selalu terjadi dan ramai dibahas. Berbagai organisasi mulai dari skala komunitas yang kecil hingga yang berskala global dapat kita temui di dalam berbagai bentuk, tetapi tetap saja ada orang-orang yang mengasingkan diri atau diasingkan oleh orang lain. Pada tahun lalu saja misalnya, kampanye “Black Lives Matter” menyebar ke mana-mana, bukan hanya di Amerika saja, tetapi ke berbagai belahan dunia. Bahkan menariknya, di dalam dunia musik klasik sendiri. Di Amerika dan juga beberapa negara di benua Eropa, isu diskriminasi dan rasisme di dalam konteks musik klasik cukup populer. Bahkan sebuah riset pada tahun 2016 di Amerika menyebutkan bahwa proporsi pemain orkestra yang “non-white” berada di dalam proporsi yang sangat kecil. Diskriminasi bagaikan duri yang tidak pernah bisa hilang dari sejarah manusia dan tersebar di dalam berbagai aspek kehidupan.

Di sisi yang lain, isu keterasingan dari masyarakat modern ini makin merebak di berbagai daerah. Kemajuan teknologi di dalam masyarakat menyodorkan berbagai kemeriahan hidup. Bahkan berbagai wadah interaksi sosial begitu dipermudah dengan pesatnya perkembangan media sosial di dunia digital. Namun, semuanya itu tidak dapat menghilangkan masalah keterasingan manusia dari kelompok sosial mereka. Orang-orang yang merasa kesepian dan terasing dari komunitas justru makin banyak. Mereka bisa saja begitu aktif di media sosial tetapi jiwanya tetap merasa terasing. Makin dunia ini ramai di dalam berbagai tawaran yang meriah, justru jiwa manusia makin terasing.

Sebagai orang Kristen, kita seharusnya menyadari bahwa kedua masalah ini, yaitu manusia yang terasing dan diasingkan adalah buah dari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Efek atau konsekuensi terbesar dari kejatuhan manusia ini adalah rusaknya relasi manusia dengan Allah. Akibatnya, manusia terasing dari relasinya dengan Allah. Manusia diciptakan untuk selalu terhubung dengan Allah, tetapi karena dosa, manusia menjadi terasing dari Sang Sumber Kehidupan itu. Manusia yang jauh dari Allah menjadi seorang yang hidup di dalam “insecurity” karena dosa dan bayang-bayang maut terus menghantui dirinya. Signifikansi dan arti dari hidup manusia menjadi kabur dan tidak jelas karena manusia terasing dari Allah yang seharusnya memimpin hidup kita. Hal ini berdampak kepada relasi manusia dengan diri dan sesamanya.

Namun, Allah yang berbelaskasihan kepada manusia menyatakan anugerah terbesar bagi umat manusia, yaitu dengan mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk menjadi Penebus yang merekonsiliasi relasi Allah dengan manusia, sehingga signifikansi Kristus di dalam sejarah umat manusia sangatlah besar, bahkan yang terbesar di sepanjang sejarah. Pdt. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa Kristus secara aktif taat kepada rencana Allah Bapa yang mengutus-Nya menjadi Juruselamat manusia. Oleh karena itu, Kristus adalah tokoh yang paling agung di dalam sejarah umat manusia, karena Ia merelakan status-Nya sebagai Allah dan rela untuk menjadi manusia demi menebus manusia berdosa. Bahkan jalan hidup yang ditempuh-Nya adalah jalan hidup yang bagi manusiapun merupakan jalan hidup yang begitu mengerikan dan tidak layak. Ia ahir di tempat yang tidak bermartabat di palungan yang merupakan tempat makan binatang, bahkan harus menjalani kematian yang begitu keji yaitu disalibkan. Yesaya 53:3 mencatat, “Orang menutup mukanya terhadap dia.” Semua ini Kristus rela jalani demi kita, manusia yang berdosa, supaya dapat kembali berdamai dengan Allah.

Di dalam Oratorio Messiah bagian kedua, Handel menjadikan ayat ini sebagai lagu yang terpanjang di dalam seluruh oratorio ini. Ini adalah salah satu lagu di dalam Oratorio Messiah yang menggambarkan penderitaan yang harus Kristus jalani. Jikalau di dalam lagu pembuka dari bagian kedua ini, Handel membawa perhatian untuk melihat Kristus sebagai Anak Domba Allah yang akan menghapus dosa dunia, di dalam lagu ini, Handel menggambarkan lebih jelas penderitaan yang Kristus alami di dalam menjalankan karya keselamatan tersebut.

23. Aria: Behold the Lamb of God

He was despised and rejected of men; a man of sorrows, and acquainted with grief: and we hid as it were our faces from him; he was despised, and we esteemed him not. (Isa. 53:3)

Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan. (Yes. 53:3)

I gave my back to the smiters, and my cheeks to them that plucked off the hair: I hid not my face from shame and spitting. (Isa. 50:6)

Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi. (Yes. 50:6)

Lagu ini dimainkan di dalam kunci Es mayor, tetapi nuansa yang diberikan oleh lagu ini adalah berbagai nuansa sedih, suram, berat, dan mencekam. Tempo dari lagu ini juga lambat, dengan pola melodi yang seolah-olah menghela napas atau sigh, dan cenderung menurun untuk menggambarkan kondisi yang harus dijalani dengan berat dan begitu suram. Pola melodi yang seperti menghela napas atau sigh paling jelas muncul ketika solois menyanyikan kata “de-SPIS-ed” dan “re-JECT-ed”, dengan memberikan penekanan pada suku kata yang di tengah. Lalu Handel juga menempatkan pola melodi yang menurun pada kata “sorrows” untuk menggambarkan kesedihan dan kesuraman. Lalu pada kata “grief” diberikan harmoni yang disonan untuk memberikan kesan yang menyakitkan.

Setelah sekitar beberapa menit lagu ini memasuki bagian kedua, yaitu pada teks “He gave His back to the smiters, and His cheeks to them that plucked off the hair: He hid not my face from shame and spitting”, lagu secara tiba-tiba berubah menjadi kunci C minor. Orkestra mengiringi tanpa henti untuk memberikan suasana yang mencekam, dan melodi lagu pun banyak yang menggunakan rapid dotted rhythms, yang pada zaman Baroque sering kali digunakan untuk menggambarkan cambukan. Pengaturan musik seperti ini memberikan kesan suasana yang begitu ganas dan mencekam ketika Yesus disiksa dan disalibkan. Lalu kata “smiters” sering kali dinyanyikan dengan diberikan penekanan seolah-olah kita bisa merasakan adanya pukulan yang sedang menghantam. Lalu kata “shame” sering kali dinyanyikan dengan cara “sliding”, yaitu dinyanyikan dengan menyambung dari satu nada ke nada berikutnya, untuk menggambarkan rasa malu.

Setelah bagian ini, lagu pun dilanjutkan dengan kembali kepada frasa “He was despised” dan mengulang seluruh bagian ini untuk menekankan kembali penderitaan yang dialami oleh Sang Anak Domba Allah tersebut. Aria ini adalah lagu yang terpanjang, kurang lebih memerlukan waktu sekitar sembilan hingga belasan menit, seolah-olah ingin menunjukkan penderitaan dan betapa beratnya kuk yang harus Kristus pikul ketika menggantikan kita yang berdosa. Ini adalah satu-satunya bagian di dalam Oratorio Messiah yang menggambarkan penderitaan yang dialami oleh Kristus.

Refleksi

Di dalam doktrin keselamatan, karya Kristus di dalam keselamatan menyelesaikan beberapa hal terkait penebusan umat Allah, di antaranya adalah propitiation dan reconciliationPropitiation berarti Kristus menanggung murka Allah yang seharusnya kita tanggung karena dosa kita (Rm. 3:25; Ibr. 2:17; 1Yoh. 2:2; 4:10). Kekudusan Allah tidak bertoleransi apalagi berkompromi dengan keberadaan dosa. Alkitab menyatakan bahwa tidak ada sedikit pun bayang-bayang kegelapan atau ketidakkudusan di dalam diri Allah. Bahkan Ia adalah Allah yang adil dan sangat peka terhadap hal yang benar dan salah. Ia akan dengan tegas menyatakan keadilan dan murka-Nya atas dosa yang terjadi di hadapan-Nya. Dan satu-satunya yang dapat meredakan murka Allah adalah Kristus. Ketika disalib, Kristus menerima segala murka Allah yang seharusnya kita terima.

Namun kita tidak boleh melupakan keberadaan kasih di dalam salib. Allah yang mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk menjalankan karya keselamatan adalah bukti dari kasih Allah terhadap umat-Nya. Inilah keagungan dari salib Kristus, yang di dalamnya terdapat murka sekaligus kasih Allah. Bahkan keagungan kasih Allah itu dinyatakan sebelum kita jatuh ke dalam dosa. Alkitab menyatakan bahwa sebelum kita menjadi seteru Allah, Ia sudah menyatakan kasih-Nya terlebih dahulu. Kasih Allah yang dinyatakan oleh Kristus di atas kayu salib adalah karya Kristus yang merekonsiliasi manusia berdosa dengan Allah. Ketika murka Allah terhadap kita sudah tuntas ditanggung oleh Kristus dan kebenaran Kristus diimputasikan kepada kita, maka relasi kita dengan Allah pun kembali dipulihkan. Kita tidak lagi menjadi seteru Allah, kita diadopsi menjadi anak-anak Allah, sehingga manusia yang tadinya terasing dari Allah sekarang dapat kembali diterima dan hidup bersama dengan Allah. Pulihnya relasi manusia dengan Allah menjadi dasar atau fondasi dari pulihnya relasi kita dengan diri dan sesama. Keterasingan manusia tidak mungkin dapat diselesaikan oleh manusia yang masih terikat di dalam jeratan dosa, karena akar masalah mereka yang utama adalah rusaknya relasi diri mereka dengan Allah, sehingga satu-satunya cara untuk membereskan masalah keterasingan ini adalah ketika manusia berekonsiliasi dengan Allah.

Melalui Ia yang ditolak dan dicerca oleh manusia, bahkan Allah Bapa pun memalingkan muka dan meninggalkan-Nya, kita dapat kembali bersatu dengan Allah. Oleh karena itu, kita yang sudah percaya kepada Kristus dan kembali diterima oleh Allah, marilah kita juga menerima orang-orang lain yang masih terjerat di dalam dosa dan membawa mereka kepada Kristus, sehingga mereka yang terasing dapat kembali kepada Allah dan hidup di dalam kebenaran.

Simon Lukmana

Pemuda FIRES