Reflection on Oratorio Messiah (24): Living as Followers of Christ

49. Secco recitative: Then shall be brought to pass

Then shall be brought to pass the saying that is written: “Death is swallowed up in victory.” (1Cor. 15:54)

Maka akan genaplah firman Tuhan yang tertulis: “Maut telah ditelan dalam kemenangan.” (1Kor. 15:54)

Di dalam lagu ini, kita masuk ke dalam bagian yang menggambarkan kekuatan terakhir dari kuasa dosa, sebelum akhirnya ditaklukkan sepenuhnya saat kedatangan Yesus yang kedua kalinya. Terdapat penekanan ketika menyanyikan kata “death” dan “victory” yang memang menjadi pesan utama dalam lagu-lagu selanjutnya. Setelah berita kebangkitan dari kedua lagu sebelumnya, lagu ini membicarakan mengenai kematian dari kuasa dosa, serta bagaimana kita menang atas semua hal itu di dalam Yesus Kristus. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana kematian seolah-olah diolok-olok dengan cara yang anggun.

50. Duet: O death, where is thy sting

O death, where is thy sting? O grave, where is thy victory? The sting of death is sin, and the strength of sin is the law. (1Cor. 15:55-56)

Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu? Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. (1Kor. 15:55-56)

Lagu ini memiliki melodi yang diambil dari love duet antara sopran dan alto dari karya Handel yang lain, berjudul “Se tu non lasci amore” (HWV 193). Duet ini merupakan duet yang cukup riang dan kelihatannya tidak sesuai dengan kalimat yang dinyanyikan, berbicara tentang sengat dari maut dan kemenangan atas kematian. 

Nuansa dari lagu ini dinyanyikan dengan riang, seakan-akan sedang menertawakan maut dan kematian, sambil mempertanyakan di manakah kekuatan dan kemenangan mereka. Kedua solois secara bersahut-sahutan mengolok-olok kematian. Kemudian keriangan dari lagu ini ditutup ketika memasuki kalimat selanjutnya yang berbunyi, “The sting of death is sin, and the strength of sin is the law” (sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat). Pembicaraan tentang kuasa dosa dibuat makin tegang untuk mempersiapkan jalan menuju bagian selanjutnya. Suasana tegang ini akan menjadi kontras yang sangat kuat dengan bagian selanjutnya yang berisi ucapan syukur kepada Allah yang memberikan kemenangan melalui Yesus Kristus dengan penuh keriangan dan kekuatan.

51. Chorus: But thanks be to God

But thanks be to God, who giveth us the victory through our Lord Jesus Christ. (1Cor. 15:57)

Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. (1Kor. 15:57)

Bagian ini menjadi ucapan syukur yang sangat indah sebagai respons kepada Tuhan atas kemenangan yang Tuhan nyatakan atas kuasa dosa dan maut yang kelam melalui Yesus Kristus, Tuhan kita. Bagian ini merupakan jawaban dari bagian “O death, where is thy sting”. Kedua bagian ini membentuk pola A-B-A.

A: O death, where is thy sting? O grave, where is thy victory?

B: The sting of death is sin, and the strength of sin is the law.

A’: But thanks be to God, who giveth us the victory through our Lord Jesus Christ.

Hal yang unik dari jawaban ini adalah Handel merangkainya untuk dinyanyikan oleh paduan suara. Bagian awal dari lagu ini pun dirangkai cukup serupa dengan lagu duet sebelumnya, yang dinyanyikan secara bersahut-sahutan. 

Nuansa yang dibagikan dalam lagu ini dapat dilihat dalam dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang sedang mengatakan, “But thanks be to God, who giveth us the victory” (tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan). Bagian ini dinyanyikan dengan bersahut-sahutan, penuh kelincahan dan kegirangan, yang menjadi gambaran dari ucapan syukur yang dipenuhi dengan sukacita. Bagian kedua adalah pernyataan “through our Lord Jesus Christ” (oleh Yesus Kristus, Tuhan kita) yang selalu dinyanyikan oleh empat suara secara bersamaan. Ini menjadi penekanan yang menggambarkan Yesus Kristus sebagai penyebab satu-satunya setiap orang dapat bersyukur atas kemenangan yang Tuhan berikan. Bagian ini menjadi bagian yang betul-betul mengekspresikan ucapan syukur atas kemenangan manusia dari kuasa dosa dan maut oleh karena Yesus Kristus. Lagu selanjutnya akan memberikan gambaran kepastian keselamatan di dalam Yesus Kristus yang memberikan kepada kita kemampuan untuk senantiasa bersyukur atas kemenangan yang Tuhan berikan kepada kita melalui Yesus Kristus.

52. Aria: If God be for us

If God be for us, who can be against us? Who shall lay anything to the charge of God’s elect? It is God that justifieth, who is he that condemneth? It is Christ that died, yea rather, that is risen again, who is at the right hand of God, who makes intercession for us. (Rom. 8:31, 33-34)

Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita. (Rm. 8:31, 33-34)

Pada bagian ini, Handel memberi penutup dengan satu jaminan, yaitu bahwa jika Allah di pihak kita, tidak ada yang akan melawan kita (Rm. 8:31). Berbeda dari penutup babak 1 dan 2, lagu ini dinyanyikan oleh sopran dengan alunan tempo lambat, namun menjelang akhir lagu, Handel mengubah tempo menjadi lebih cepat.

Dengan alunan melodi yang lembut, setiap kalimat dinyanyikan dengan begitu indah untuk menyatakan kebesaran cinta Allah di tengah-tengah umat-Nya. Hampir setiap frasa dinyanyikan secara berulang-ulang untuk mempertegas frasa-frasa tersebut. Adapun frasa “who can be against us” selalu dinyanyikan dengan nada yang tinggi di kata “can”, seolah-olah ingin memberitakan bahwa tidak ada kuasa setinggi apa pun yang dapat melawan kuasa Allah. Alunan nada tersebut seperti hendak mengajak kita untuk menikmati Allah yang membenarkan dan Allah yang membela umat-Nya. Kemenangan Kristus atas dosa adalah total dan sempurna.

53. Chorus: Worthy is the Lamb

Worthy is the Lamb that was slain, and hath redeemed us to God by His blood, to receive power, and riches, and wisdom, and strength, and honour, and glory, and blessing. Blessing and honour, glory and power, be unto Him that sitteth upon the throne, and unto the Lamb, for ever and ever. Amen. (Rev. 5:12-13)

Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian! Bagi Dia yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya! (Why. 5:1213)

Pujian terakhir dari bagian ketiga Oratorio Messiah ini adalah salah satu dari beberapa anthem-like choruses selain dari “Hallelujah” di akhir bagian kedua. Rangkaian lagu “Worthy is the Lamb” dan “Amen”, dengan panjang total 159 bar, merupakan salah satu dari choral finale terbaik di dunia. Chorus ini ditulis di dalam tangga nada D, sama seperti lagu “Hallelujah” dan “The trumpet shall sound”. Tangga nada D memiliki tema kemegahan, kemuliaan, dan kemenangan, sehingga tepat untuk digunakan dalam chorus ini, yang menyerukan pelantikan Anak Domba Allah. Di awal karya ini, paduan suara memulai dengan menyanyikan “Worthy is the Lamb that was slain, and hath redeemed us to God by His blood” dengan tempo yang sangat lambat, lalu dilanjutkan dengan “to receive power, and riches, and wisdom, and strength, and honour, and glory, and blessing”, yang dinyanyikan dengan tempo yang lebih cepat dan memiliki penekanan pada kata-kata “power, riches, wisdom, strength, honour, glory, and blessing”. Kontras dalam dua bagian ini adalah untuk menyatakan sebuah pesan, yaitu “glory through suffering” yang Kristus alami.

Kemudian pada bagian selanjutnya, frasa “forever and ever” dinyanyikan berulang-ulang oleh seluruh paduan suara dengan alunan nada yang terus menurun tetapi terdengar seperti tanpa batas, hingga kembali naik dan diakhiri dengan frasa “forever and ever” yang dinyanyikan secara panjang. Lalu ditutup dengan choralAmen”.

Amen” dinyanyikan dengan teknik fugue (fuga), yaitu teknik musik di mana beberapa suara dengan tema melodi yang sama dimainkan bersamaan sehingga menciptakan harmoni yang sangat rumit tetapi berlimpah. Handel menggunakan teknik ini untuk melambangkan kata “Amen” yang tidak henti-hentinya dinyanyikan di akhir kemenangan kita bersama Anak Domba Allah. Fuga ini dimulai dari suara bas lalu dilanjutkan satu per satu dengan tenor, alto, dan sopran, membentuk melodi polifoni yang begitu indah. Semua ini diakhiri dengan suku kata “-men” secara bersamaan, namun kata “Amen” terdengar belum utuh atau usai. Lalu lagu memasuki bagian di mana dua bagian biola memainkan fuga tanpa paduan suara, seperti mewakili seluruh instrumen seraya berkata, “Amen!” Lagu ini diakhiri dengan fuga yang panjang, yang terus-menerus memainkan tema “Amen”, dengan kompleksitas dan keindahan yang makin memuncak. Semua ditutup dengan menyanyikan tiga kali “Amen” secara serentak.

Kemegahan dan keagungan yang tertinggi bagi Tuhan semesta alam merupakan aspek yang berusaha ditampilkan melalui rangkaian choral finale ini. Handel ingin kita mengasosiasikan trompet dan timpani dengan natur dan sifat kerajaan dari Raja atas segala raja (King of kings). Masuknya trompet pun menandakan kedatangan Tuhan dan bala tentara sorga pada hari ketika sorga turun dan Kristus datang untuk yang kedua kalinya. Dengan seluruh orkestra dan paduan suara ikut bermain dan bernyanyi, Kristus yang telah menang, yang layak menerima kuasa, kekayaan, hikmat, kekuatan, hormat, dan kemuliaan, menerima puji-pujian dari seluruh anggota dalam satu konklusi final yang amat megah dan indah.

Kesimpulan

Pembelajaran mengenai Kristus sering kali kita dengar melalui khotbah-khotbah di hari Minggu, khususnya di masa Natal. Seluruh karya penebusan yang Ia lakukan di dalam sekitar 3,5 tahun pelayanan-Nya telah dengan jelas dinyatakan kepada kita melalui firman Tuhan. Bahkan Oratorio Messiah ini sendiri pun menjadi sebuah “khotbah” mengenai Kristus yang disampaikan dalam bentuk musik. Melalui rangkaian 53 lagu dalam oratorio ini, kita dapat mengerti secara gambaran besar mengenai siapa Kristus dan apa yang Dia lakukan di dalam hidup-Nya, sehingga Ia layak menerima segala pujian. Maka di dalam refleksi penutup dari pembahasan oratorio ini, kita akan sedikit melihat dua pertanyaan yang ada di Katekismus Heidelberg. 

Pertanyaan 31: Mengapa Dia dinamakan Kristus, yang artinya ‘Yang Diurapi’?

Jawaban: Sebab Dia telah ditetapkan oleh Allah Bapa dan diurapi dengan Roh Kudus, menjadi Nabi dan Guru, Imam Besar, dan Raja kita. Sebagai Nabi dan Guru kita yang tertinggi, Dia telah menyatakan kepada kita dengan sempurna seluruh rencana dan kehendak Allah yang tersembunyi mengenai penebusan kita. Sebagai Imam Besar kita satu-satunya, Dia telah menebus kita dengan korban satu-satunya, yaitu tubuh-Nya sendiri, dan senantiasa menjadi Pengantara kita di hadapan Allah dengan doa syafaat-Nya. Sebagai Raja kita yang kekal, Dia memerintah kita dengan firman dan Roh-Nya serta melindungi dan memelihara kita sehingga tetap memiliki keselamatan yang telah diperoleh-Nya.

Pertanyaan 32: Tetapi, mengapa Saudara disebut orang Kristen?

Jawaban: Sebab aku, melalui iman, adalah anggota tubuh Kristus, dan dengan demikian mendapat bagian dalam pengurapan-Nya. Tujuannya supaya aku mengakui nama-Nya, mempersembahkan diriku kepada-Nya menjadi korban syukur yang hidup, di dalam hidup ini berperang melawan dosa dan Iblis dengan hati nurani yang bebas dan tulus, dan kelak di akhirat bersama-sama Dia memerintah segala makhluk untuk selama-lamanya.

Melalui dua pertanyaan ini, kita dapat melihat sebuah relasi yang sangat erat antara Kristus dan umat-Nya. Jikalau kita mengidentifikasikan diri sebagai orang-orang Kristen, jawaban dari pertanyaan 32 seharusnya menjadi komitmen dari hidup kita. Kita dipanggil untuk mempersembahkan diri kita sebagai korban syukur bagi-Nya. Tidak ada cara yang lebih tepat selain kita memberikan diri kita sebagai alat di tangan-Nya. Hal ini berkaitan dengan fungsi kita sebagai imam.

Di dalam Theologi Reformed, manusia memiliki tiga fungsi yaitu sebagai nabi, imam, dan raja. Di dalam fungsi sebagai imam, kita sering kali dikaitkan dengan true holiness. Untuk mengerti hal ini, kita dapat melihat kembali tugas dan peran seorang imam di dalam Alkitab, khususnya di dalam Perjanjian Lama. Secara sederhana, ada beberapa ciri dari seorang imam di dalam Perjanjian Lama yang perlu kita mengerti:

Seorang imam harusnya seorang yang sempurna dan tidak boleh memiliki cacat cela di dalam dirinya.

Seorang imam adalah seorang yang menjalankan pelayanannya yang kudus dan memiliki sebuah kehormatan untuk dapat memasuki Bait Allah yang Mahakudus untuk melakukan pelayanannya.

Bukan hanya berada di dalam pelataran Allah yang Mahakudus, seorang imam juga harus melakukan pelayanannya dan memberikan korban persembahan di mezbah Allah.

Fungsi kita sebagai imam tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri dari seorang imam di Perjanjian Lama. Sebagai umat tebusan Allah, kita telah dinilai tidak memiliki cacat cela dan dianggap sempurna, bukan karena usaha kita, tetapi karena kebenaran Kristus yang diimputasikan kepada kita, sehingga ketika Allah melihat diri kita, Ia melihat kebenaran Kristus. Seberapa rusak pun hidup kita, anugerah keselamatan Allah ini sudah diberikan dan menjadi jaminan bagi kehidupan kita. Namun, kita tidak dapat berhenti di sini saja, kita pun harus menjadi seorang yang hidup dekat dengan Allah. Karya penebusan Kristus telah merekonsiliasi relasi kita dengan Allah sehingga kita menjadi seorang yang hidup di hadapan Allah.

Kedua hal ini saja seharusnya sudah dapat mendorong hidup kita untuk hidup sesuai dengan firman Tuhan. Karena bukan hanya status saja yang Allah benarkan di dalam diri kita, tetapi juga karya pengudusan-Nya dinyatakan secara progresif di dalam diri kita. Oleh karena itu, sudah menjadi sebuah konsekuensi logis jikalau hidup kita mengejar kekudusan sesuai dengan yang Allah kehendaki di dalam hidup kita.

Namun, hal ini masih belum lengkap jikalau kita tidak memberikan diri kita sendiri sebagai korban persembahan di hadapan Allah. Seluruh hidup kita dipakai menjadi alat di tangan Tuhan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang Allah percayakan kepada kita. Sehingga melalui semua ini, hidup kita bukan hanya dibenarkan secara status, tetapi juga dikuduskan secara progresif, serta dikembalikan kepada fungsi yang seharusnya, yaitu memuliakan Allah di dalam seluruh aspek dan menjadikan diri sebagai persembahan yang hidup bagi kemuliaan Allah. Inilah yang seharusnya menjadi dorongan di dalam hidup kita sebagai pengikut Kristus.

Kiranya melalui artikel-artikel pembahasan Oratorio Messiah yang singkat ini, kita bukan hanya mengapresiasi karya tersebut, tetapi juga makin dibawa untuk mengenal Kristus yang mendorong hidup kita makin memuliakan Allah. Kiranya Tuhan menolong kita untuk menghargai warisan-warisan yang begitu indah seperti Oratorio Messiah ini, dengan makin merelakan diri kita hidup dipakai menjadi alat kemuliaan-Nya. Kiranya Tuhan menolong kita!

Simon Lukmana

Pemuda FIRES