Netral?
Langsung kepada inti dan sekaligus sebagai statement pembuka, penulis tidak setuju jika sains diajak bergabung dalam kubu free thinker – yang mendiskreditkan adanya Sang Absolut dan menganggap sains sebagai sekutu utamanya. Anggapan free thinker tersebut terdengar lumrah sebab:
Sains dianggap beroperasi secara netral tanpa dipengaruhi apa pun yang merupakan efek langsung dari abad pencerahan.[1]
Sains juga dianggap bersifat revolusioner dengan kebiasaannya mendobrak sesuatu yang dianggap absolut di masa sebelumnya.
Pergerakan perkembangan sains terlihat objektif dengan hanya mengandalkan hasil eksperimen secara empiris saja.
Sungguh sains sepertinya telah menjadi “juruselamat” bagi mereka karena seolah terlihat menjadi satu-satunya cara mengetahui dan menemukan kebenaran. Nyatanya, sains sebenarnya adalah penggabungan antara data empiris dan juga narasi dari pemikiran si peneliti itu sendiri. Singkatnya, narasi inilah yang sering diadu dan yang akan dibahas di bawah ini.
Sedikit Konteks Sejarah
Dalam sejarahnya, sebenarnya sains tidak pernah menjadi sekutu siapa pun untuk melawan Tuhan. Kelihatannya saja seperti itu karena kasus Galileo versus Gereja. Sains sebenarnya menjadi catatan paling berharga bagaimana Tuhan bekerja dalam alam ini dan juga catatan tentang cara berpikirnya manusia itu sendiri. Mengapakah sains terlihat berkonflik dengan keyakinan? Salah satunya adalah karena sains tidak pernah bekerja tanpa adanya “Sang Absolut” kecil dalam proses pemikirannya. Tidak, saya tidak sedang menuduh sains sedang memberhalakan sesuatu menggantikan Tuhan. Namun, memang sains mempunyai keyakinan dasar yang tidak boleh diubah (seperti iman).[2] Kita bisa mempelajari sendiri dan menelusuri apakah yang menjadi pokok pemikiran utama dari sistem berpikirnya, sehingga aspek keseluruhannya menjadi apa yang kita tahu sekarang. Hal utama yang sering digembar-gemborkan tentang Galileo versus Gereja sebenarnya adalah pertarungan antara keyakinan dasar ilmiah antara para clergy saat itu dan Galileo. Narasi diadu dengan narasi lain. Hal ini tidak membenturkan secara langsung keyakinan iman Kristen itu sendiri. Mari kita telusuri dengan singkat beberapa pokok pemikiran penting dalam sains.
Sistem Newtonian
Mekanika Newton sebenarnya bisa dikatakan mengabsolutkan keberadaan satu kerangka acuan yang tidak bergerak “di sana”, yang terhadapnya seluruh pergerakan benda di alam ini diukur.[3] Dari sinilah, Newton mulai bernarasi tentang cara kerja alam ini seperti apa. Kerangka ini bisa kita sebut sebagai kerangka inersia absolut di mana inersia berkaitan erat dengan kondisi kerangka tersebut yang sedang diam atau bergerak dengan kecepatan konstan ke satu arah. Dalam Newtonian, keberadaan kerangka-kerangka inersia kecil juga diperbolehkan yang terhadapnya seluruh pergerakan benda bisa diukur. Kerangka-kerangka inersia kecil ini akan terlihat sedang diam atau sedang bergerak dengan kecepatan tertentu menurut kerangka inersia absolut tadi. Bahkan, sistem Newtonian memperbolehkan adanya kerangka yang tidak inersia atau sedang bergerak dengan dipercepat (seperti bumi) di mana kerangka ini diperbolehkan mengukur pergerakan benda lain menurutnya (kalau tidak, bagaimana kita bisa melakukan eksperimen awalnya di bumi ini?). Hanya saja, kita harus puas menerima bahwa dalam kerangka ini akan muncul efek-efek fiktif seperti efek koriolis yang menyebabkan angin berpusar di belahan bumi utara dan selatan (Anda bisa coba membuktikan bahwa air yang masuk lubang toilet akan berputar dengan arah yang tergantung dari posisi lintang Anda dalam permukaan bumi).3
Selain mengabsolutkan kerangka absolut ini, sistem Newtonian sangat mengabsolutkan waktu itu sendiri. Laju perubahan waktu dianggap sama dalam seluruh kerangka baik yang besar maupun yang kecil-kecil tadi. Maksudnya di sini adalah rentang waktu berjalan dalam seluruh kerangka dianggap sama dan ini sangatlah logis dalam pengalaman kita sehari-hari. Saat saya bilang satu jam lagi saya akan datang, maka satu jam lagilah saya akan datang menurut Anda yang sedang menunggu di gereja misalnya. Untuk kasus ini, kita sering mendengar istilah jam karet dan fenomena jam karet ini tidak ada hubungannya dengan hukum fisika sama sekali. Ini murni akibat kesalahan orang yang terlambat tersebut.
Newton mengonfirmasi pergerakan sistem planet sebagai bentuk elips dengan rumus gravitasinya yang terkenal itu. Hal ini berhasil mendukung runtuhnya absolutisme palsu yang beredar di akademia sejak zaman Aristoteles termasuk yang beredar di antara beberapa para clergy yang melawan Galileo satu generasi di atas Newton. Dulu, orang mengira bahwa benda-benda langit haruslah berbentuk ideal yang absolut. Bumi juga diabsolutkan menjadi pusat tata surya sebab kelihatannya seperti itu. Aristotelian dengan segala keyakinan absolut palsunya sangat tidak terima jika benda langit ternyata tidak absolut. Apakah absolut menurut mereka? Lingkaran dan bola mulus. Jadinya, orang selalu berpikir bahwa bulan, bintang, dan planet-planet haruslah berbentuk bola mulus dan lintasan mereka berbentuk lingkaran (dengan bintang selalu diam di tempatnya) karena mereka berada di langit atas sana yang mereka kira haruslah absolut. Betapa kagetnya orang saat Galileo menemukan bahwa bulan mempunyai permukaan yang berlubang-lubang dan berpendapat bahwa bumi bukanlah pusat tata surya. Maka dari itu, lebih mengejutkan lagi saat Newton berhasil memastikan bentuk elips dari lintasan planet yang sudah lama diprediksi oleh Kepler dengan data dari Tycho Brahe. Jadi, ini bukanlah perlawanan antara sains dan gereja, melainkan perlawanan antara absolutisme yang satu melawan absolutisme yang lain, yakni antara narasi melawan narasi. Dalam pemikiran Galileo dan Copernicus, bumi sebagai pusat tata surya merupakan absolutisme yang tidak perlu dipertahankan walaupun mereka masih terbawa konsep lintasan planet yang lingkaran. Lebih lanjutnya lagi, Kepler dan Newton tidak merasa perlu mempertahankan absolutisme lintasan lingkaran. Cara pandang mereka mempersilakan keberadaan bentuk selain lingkaran dan bola, dibanding cara pandang kalangan ilmuwan yang bisa dilacak semenjak Ptolemi di abad ke-2 dan astronomer lain setelahnya (yang sangat Aristotelian) di mana mereka mencoba membuat bentuk orbit lingkaran di dalam lingkaran (disebut epicycle) hanya untuk menjelaskan data empiris yang sama yang juga dianalisis oleh Kepler dan lain-lain.
Paradigma Einstein
Saat ini kita mengetahui bahwa sistem Newton mengalami kegagalan saat sistem yang sedang dipelajari bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Bahkan, dalam perkembangannya, sains menemukan bahwa kecepatan cahaya bersifat absolut mutlak dalam segala kerangka acuan yang sudah disebutkan Newton tadi. Kecepatan benda dalam kerangka Newton bukanlah sesuatu yang absolut sebab kita sendiri tahu bahwa untuk mengejar sepeda maka kita bisa menggunakan mobil yang bergerak lebih cepat. Namun, Maxwell memberikan gambaran baru tentang cahaya yang ternyata selalu memiliki kecepatan yang sama bagaimanapun kita bergerak. Ini absolutisme yang harus disisipkan ke dalam pemikiran sains saat itu.
Saat dirunut secara logika oleh Einstein, kecepatan cahaya yang absolut di sini mengakibatkan rentang waktu yang tidak absolut. Waktu menjadi relatif tergantung siapa yang mengukur. Di sinilah salah satu titik konflik paradigma Newton dan Einstein. Kita tidak biasa dengan rentang waktu yang relatif tergantung menurut siapa yang mengukur. Jika 1 detik berlalu, maka artinya 1 detik untuk semua orang. Kita akan mengernyitkan alis saat mengetahui ada orang yang mengukur peristiwa tersebut menjadi 0.1 detik menurut kerangkanya yang sedang bergerak. Mungkin sekarang istilah jam karet menjadi sangat literal. Namun inilah fakta paradigma Einstein yang berhasil menjelaskan fenomena lensa gravitasi[4] di mana paradigma Newton sama sekali tidak bisa menjelaskan fenomena itu. Kebingungan yang kita rasakan tentang waktu yang relatif sangatlah wajar dan sangat sebanding dengan apa yang dirasakan orang saat ada sekelompok orang yang mengatakan “Bumi bukan pusat tata surya! Seluruh planet bergerak mengitari matahari!” Pada saat itu mungkin orang berkata, “Kamu gak bisa lihat ya bahwa matahari mengelilingi bumi?” Kebingungan ini sama saja dengan respons kita saat ini terhadap paradigma Einstein kalau kita berkata, “Apakah kamu tidak bisa lihat jam bahwa satu jam ya satu jam?”
Saat Einstein mengeluarkan ide ini, kita tidak begitu mendengar orang berargumen tentang pertentangan agama melawan sains sebab sekarang ilmuwan sepertinya telah menang dari para clergy dan dianggap menjadi nabi baru. Padahal, salah satu pencetus dan pelopor teori Big Bang yang diturunkan dari paradigma Einstein sebenarnya adalah seorang clergy Katolik bernama Lemaitre. Pendeta ini yang berulang kali berdiskusi dengan Einstein meyakinkan bahwa alam semesta mempunyai titik awal mula berdasarkan rumus yang Einstein buat sendiri. Jadi Big Bang bukanlah usulan seorang atheis dan ini perlu dicatat dan kalau perlu dibuat viral di internet.[5] Jika kembali kepada narasi, Einstein saat itu mencoba menambahkan sebuah konstanta baru memperlebar rumus aslinya untuk mempertahankan “absolutisme palsu” Einstein bahwa alam semesta itu kekal. Ia tidak bisa menerima narasi alam semesta yang memiliki awal seperti usulan Lemaitre yang sebenarnya didapati dari rumus orisinal miliknya sendiri. Sampai saat ini, sebenarnya kosmologi masih terbagi menjadi dua kelompok yaitu yang setuju Big Bang dan yang setuju kekekalan alam semesta. Salah satu pendukung alam semesta kekal contohnya adalah Fred Hoyle yang mengembangkan teori steady state universe. Dalam suatu kesempatan wawancara dengan BBC, Fred Hoyle bahkan dengan gamblang menyatakan bahwa ilmuwan suka dengan teori Big Bang sebab ada bayang-bayang Kitab Kejadian di belakangnya. Namun, bukti-bukti seperti redshift dari teleskop Hubble, Cosmic Background Radiation (CMB), dan lain-lain menunjukkan bahwa Big Bang masih berjaya sampai saat ini bahkan mengalami perkembangan menjadi Inflationary Theory.[6] Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa sains tidaklah seobjektif itu dalam urusan interpretasinya bahkan sampai memaksa Einstein memodifikasi rumusnya sendiri yang akhirnya disebut “the greatest mistake of Einstein”.
Respons
Kembali kepada paradigma orisinal milik Einstein sendiri, seakan-akan kita harus bersiap-siap untuk mengadopsi titik absolut baru yaitu bahwa waktu tidaklah absolut. Seakan kita hendak bersikap ilmiah dengan segera beralih ke penemuan baru dan meninggalkan penemuan lama yang salah. Namun faktanya, sampai saat ini kita tetap menggunakan sistem Newtonian dalam kehidupan sehari-hari asalkan tidak menyentuh dekat-dekat area kecepatan tinggi mendekati cahaya. Respons ini sangatlah berbeda dengan respons kita terhadap sistem Aristotelian yang kita tinggalkan sama sekali walaupun tetap banyak karya Aristoteles yang kita tetap akui sampai saat ini. Sistem mekanika Aristoteles sama sekali salah berdasarkan apa yang kita alami di dunia ini dan tidak ada area mana pun di mana pemikiran mereka berlaku. Mungkin kita bisa melihat matahari yang mengitari bumi dan bukan sebaliknya namun pengertian ini tidak akan membawa kita ke mana-mana dan juga sama sekali salah. Sedangkan, membawa manusia ke bulan tidak perlu sampai mengadopsi cara berpikir Einstein dan cukup dengan mekanika Newton. Mungkin kita akan lebih sering mengadopsi pemikiran Einstein untuk sehari-hari jika kecepatan cahaya ternyata hanya 25 m/s misalnya (bandingkan c=299.792.458 m/s) sehingga lebih mudah untuk didekati dengan kendaraan yang kita punya saat ini. Dari sini, kita bisa melihat bahwa sains bergerak bukan semata karena ingin mendobrak sistem absolut masa lalu melainkan didorong juga oleh fakta kegunaannya.
Contoh lainnya, sistem fisika klasik secara keseluruhan juga sudah terbukti gagal saat kita hendak mempelajari benda yang ukurannya sangat kecil seperti atom dan elektron. Di sinilah paradigma fisika kuantum digunakan untuk menjelaskan fenomena di dunia kecil ini. Fisika kuantum yang klasik masih mengabsolutkan waktu seperti pendahulunya namun tidak lagi mengabsolutkan pembedaan materi dan gelombang. Pada kenyataannya mereka berdua disatukan menjadi satu kesatuan untuk menjelaskan keberadaan materi di dunia ini. Setelah itu, keadaan suatu benda tidak lagi diabsolutkan menjadi satu keadaan saja melainkan merupakan gabungan dari kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi terhadap benda tersebut. Hal ini terdengar aneh sekali dalam paradigma Newton maupun Einstein. Walau Einstein merelativisasi rentang waktu, namun keadaan sesuatu pastilah sama dalam setiap kerangka. Sedangkan dalam fisika kuantum, keadaan sesuatu tidaklah bisa ditentukan sampai terjadi suatu pengukuran oleh pengamat. Yang kita bisa tahu dari awal hanyalah kemungkinan terjadinya suatu peristiwa. Hal inilah yang menyebabkan Einstein mengeluarkan kalimat terkenalnya yaitu “God does not play dice” sebab menurutnya dunia kuantum seperti tergantung pada hasil kocokan dadu. Interpretasi dari fisika kuantum sendiri memang masih menjadi bahan perdebatan sampai saat ini. Namun, kalkulasi matematika fisika kuantum tetaplah berjaya di ranah yang kecil ini karena kegunaannya yang masif. Contohnya, Anda bisa membaca tulisan ini lewat layar komputer yang berkembang dengan teknologi dari fisika kuantum.
Posisi Sains
Dari pembahasan yang panjang ini, sangat jelas sains bukanlah sekutu free thinker untuk melawan Tuhan sebab yang terjadi bukanlah gereja melawan sains melainkan pertandingan narasi si peneliti satu melawan narasi si peneliti yang lain. Justru sains adalah alat terhebat yang disediakan Tuhan untuk manusia menjelajahi alam ciptaan-Nya dan bernarasi berdasarkannya. Alat ini sama sekali tidak menunjukkan ketidakberadaan Tuhan melainkan justru perlahan-lahan menjelaskan cara kerja-Nya dan juga diri-Nya. Kita sudah melihat bahwa sains tidaklah beroperasi dengan netral melainkan mendasari kegiatannya dengan asumsi dasar yang biasanya sulit diubah bahkan menyerupai iman. Setelah itu, sains sama sekali tidak mempunyai semangat revolusi mendobrak otoritas masa lalu sebab pergerakannya sama sekali bukan dengan unsur memberontak melainkan karena unsur kegunaannya untuk menjelaskan/bernarasi akan alam ini. Berdasarkan kegunaan ini, kita juga tidak membuang pengertian yang terbukti kurang cukup yaitu sistem Newton sebab toh masih berguna untuk kehidupan sehari-hari kita. Walau sudah terbukti benar, kita tidak seperlu itu mempelajari sistem Einstein untuk kegiatan sehari-hari kita karena memang tidak begitu terasa gunanya dan kita pun tidak dicap kurang ilmiah karena itu. Newton seperti berada di antara dua dunia yang berbeda yaitu dunia materi besar dan dunia materi kecil. Masing-masing dunia ini dikuasai oleh dua paradigma yaitu Relativitas dan Fisika Kuantum yang sama sekali berbeda lalu ada Newton sebagai bentuk antaranya berada di tengah-tengah menjembatani. Dari sini, sains sama sekali bukan satu-satunya cara mencari kebenaran sebab nyatanya sains malah memberikan dua kebenaran yang saling bertentangan tentang fakta dunia ini.
Free thinker harusnya sangat terganggu sekali dengan fakta ini dan segera menolak menerima kedua paradigma sebagai kebenaran secara bersamaan untuk segera mencari kebenaran lain yang menudungi kedua dunia ini. Sudah tentu mereka bisa saja berusaha menerima kedua fakta ini dengan membiarkan ketidakkonsistenan yang gamblang ini di dalam hati sambil berharap akan hadirnya paradigma terbaru yang akan divalidasi di kemudian hari. Bahkan sebenarnya, bisa saja fakta alam semesta ini memanglah seperti itu, yaitu kontradiktif. Apa pun langkah yang dituju, tidak ada yang bisa menjamin sedari mulanya bahwa memang alam semesta ini haruslah bersifat rasional jika dipandang dari narasi yang tidak ber-Tuhankan Allah yang Tritunggal. Hanya orang Kristen yang bisa secara konsisten dengan presuposisinya menghadapi dua paradigma ini dengan tenang, mengaplikasikannya dalam ranah masing-masing, dan juga sambil memikirkan cara menggabungkannya. Jadi, jika free thinker menyebut proses ini sebagai pergulatan sains mencari kebenaran, hal ini justru terlihat sebagai peminjaman atau bahkan perampokan ide dasar dari cara pandang orang Kristen yang sedari mula sudah memiliki ide tersebut dalam sains dan juga cara berpikir lainnya.
Kristus Sang Penopang
Dalam Alkitab, kita mempelajari bahwa Kristuslah yang menopang seluruh keberadaan dunia ini.[7] Di dalam tangan-Nyalah setiap paradigma sains ini berada (dan juga paradigma lain yang mungkin akan tercetuskan). Kita tidak perlu takut dan khawatir dengan natur indeterministik dari fisika kuantum sebab yang memiliki dunia ini adalah seorang Pribadi yang dinamis dan bebas seutuhnya. Kita juga tidak perlu merasa bingung saat mendengar natur deterministik dari Relativitas sebab memang si empunya alam ini juga adalah seorang Pribadi yang setia dan pasti.[8] Kita tidak perlu bingung akan relatifnya waktu menurut siapa yang melihat sebab memang waktu itu sendiri juga adalah ciptaan milik-Nya. Setelah itu, kita tidak akan menjadi merasa sia-sia jika ada paradigma lain yang bisa menggabungkan dua dunia ini di kemudian hari dan lebih mudah dimengerti oleh kita sebab memang semua itu adalah cara kita bernarasi terhadap Narasi besar milik Tuhan sendiri. Mungkin memang selama ini ada hal lain yang sedang kita absolutkan namun perlu kita lepaskan. Sebaliknya, ada hal lain yang ternyata harus kita absolutkan namun selama ini kita abaikan. Memang faktanya, kita tidak pernah dipanggil mengabsolutkan sesuatu pun di dunia ini selain mengabsolutkan Tuhan sesuai firman-Nya. Jika Tuhan memang menyatakan bahwa alam semesta ini ada awalnya yaitu saat Ia menciptakan, maka perjuangan Lemaitre haruslah sangat kita dukung. Di sisi yang lain, kita tidak perlu mengabsolutkan posisi bumi sebagai pusat tata surya seperti yang dilakukan oleh para clergy zaman dulu sebab memang Alkitab tidak pernah mengajarkan demikian. Selain itu, kita juga tidak perlu anti mendengar dan mempelajari mutasi dan seleksi alam yang menjadi dua faktor utama dalam teori evolusi hanya karena pembacaan Kejadian pasal 1 milik kita.
Dalam hubungan dengan Sang Pencipta, rasionalitas dalam narasi sains sangatlah tertopang teguh di atas Pribadi-Nya sendiri yang memang rasional. Narasi perjuangan sains mencari kebenaran sebenarnya bisa dibaca menjadi narasi pekerjaan manusia untuk mengerti cara kerja Sang Kristus mengatur alam ini. Pergantian teori sains bukanlah tindakan mendobrak keyakinan kuno apalagi melawan Kristus itu sendiri melainkan satu kesatuan proses pengenalan akan pekerjaan Tuhan yang dilakukan manusia. Saat narasi ini kita hidupi, kita bukanlah sedang bergantung pada sains untuk menjadikannya sebagai juruselamat kita untuk berjuang hidup dalam semesta yang katanya tak terbatas dan buas ini. Sebaliknya, ini adalah proses belajar di hadapan Sang Pencipta di mana kita akan sering berdecak kagum akan karya-Nya dan juga sadar bahwa setiap pengertian kita hanyalah sebagian kecil dari pemikiran-Nya secara keseluruhan. Sebab sedari mulanya, Ia mau kita bekerja untuk mengusahakan semuanya ini guna mengubah Taman Eden yang asri menjadi Kota Yerusalem yang megah dan indah.
Sandy Adhitia Ekahana
Pemuda GRII Singapura
Referensi:
Isaac Newton, 1687, Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica.
http://vaticanobservatory.org/research/history-of-astronomy/54-history-of-astronomy/the-galileo-affair/370-the-galileo-affair.
Simon Singh, 2005, Big Bang: The Origin of the Universe.
Galileo Galilei, 1632, Dialogue Concerning the Two Chief World Systems.
Ptolemy, He mathematike syntaxis.
James Clerk Maxwell, 1865, A Dynamical Theory of the Electromagnetic Field.
Lemaitre, 1927, Un Univers homogène de masse constante et de rayon croissant rendant compte de la vitesse radiale des nébuleuses extragalactiques.
Donald Goldsmith, 1995, Einstein’s Greatest Blunder? The Cosmological Constant and Other Fudge Factors in the Physics of the Universe.
Claudio Garola et. al., 2000, The Foundations of Quantum Mechanics.
S. Diner et.al, 2012, The Wave Particle Dualism.
John Lennox, 2007, God’s Undertaker: Has Science Buried God?
Endnotes:
[1] http://biologos.org/resources/multimedia/os-guiness-on-science-faith-and-the-culture-war.
[2] Bisa baca lebih lanjut beberapa edisi PILLAR seputar presuposisi, asumsi dasar, dan worldview, misalnya: https://www.buletinpillar.org/artikel/kursi-dalam-ruangan, https://www.buletinpillar.org/resensi/dari-iman-kepada-iman, https://www.buletinpillar.org/artikel/pengantar-wawasan-kristen.
[3] https://www.youtube.com/user/1veritasium/videos.
[4] Albert Einstein, 1936 Lens-like action of a star by the deviation of light in the gravitational field, Young, P et.al. (1980). “The double quasar Q0957 + 561 A, B – A gravitational lens image formed by a galaxy at Z = 0.39”. Astrophysical Journal 241: 507–520, D.Walsh, R.F.Carswell, R.J.Weymann 31 May 1979, Nature 279, S.381-384: 0957 + 561 A, B: twin quasistellar objects or gravitational lens?
[5] Pandangan secara umum lebih melihat teori Big Bang sebagai posisi dari orang atheis yang menentang Tuhan.
[6] Inflationary Theory awalnya dikembangkan oleh dua fisikawan, yakni Alan Guth dan Andrei Linde sekitar tahun 1980-an.
[7] Ibrani 1:3: “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi.”
[8] Allah yang kita sembah bukanlah sekadar abstraksi, hukum, atau kuasa supranatural yang tidak berpribadi atau impersonal. Allah yang kita sembah adalah Allah yang berpribadi dan sekaligus absolut.