Beberapa waktu lalu ada seorang YouTuber yang memperlihatkan kebiasaan ia makan bersama keluarga. Di sana ia menunjukkan, bagaimana sewaktu kecil, setiap kali sebelum makan, ia selalu berdoa, atau menyanyikan sebuah lagu pendek, dengan lirik yang dikenal sebagai nursery rhymes. Kalau kita menelusuri lebih dalam, nursery rhymes yang tertua yang masih dinyanyikan hingga sekarang berasal dari abad ke-16. Nursery rhymes kadang digunakan untuk menghibur anak-anak, namun banyak juga yang mendidik, seperti mengajarkan anak berhitung, ataupun mengenal alfabet. Kita bisa melihat, bahwa sejak dahulu, sudah disadari bahwa musik memiliki kemampuan untuk mempermudah kita menghafal dan mengerti sebuah rangkaian kata. Kita mungkin tidak mengingat semua isi buku yang pernah kita baca sewaktu kecil, tetapi sering kali kita mengingat lagu-lagu yang kita nyanyikan atau dengarkan sewaktu kecil.
Sebagai orang Kristen, kita sering kali diidentikkan dengan orang yang bernyanyi. Alkitab menunjukkan banyak sekali tokoh yang bernyanyi, seperti Musa, Miryam, Daud, Maria, Zakharia, dan banyak lainnya. Lagu-lagu Kristen atau himne, yang terus dinyanyikan hingga sekarang juga berjumlah ribuan bahkan mungkin jutaan. Fanny Crosby sendiri menulis hingga 9.000 himne. John Wesley, saudara Charles Wesley, menulis 8.989 himne. Lebih dalam dari sekadar bernyanyi, Agustinus pada tafsirannya terhadap Mazmur 148 mengatakan bahwa himne bukanlah ketika kita memuji Tuhan tetapi tidak bernyanyi; bukan juga ketika kita bernyanyi, tetapi tidak memuji Tuhan; bukan juga ketika kita memuji yang lain selain Tuhan, walaupun kita sedang bernyanyi dan memuji. Maka, apa itu himne dalam kehidupan seorang Kristen, mengapa itu harus selalu ada dalam liturgi kita setiap minggu, dan bagaimana kita sebagai jemaat harusnya bernyanyi di dalam ibadah?
Dalam Republic karya Plato, dikatakan bahwa pelatihan akan musik lebih penting daripada pelatihan lainnya, karena ritme dan harmoni langsung menyentuh hati setiap manusia. Kita bisa melihat bagaimana banyak sekali penelitian dilakukan untuk menunjukkan bahwa orang yang mempelajari musik dan mengerti musik akan bersikap graceful, dan bertindak adil serta membenci yang jahat. Calvin memercayai bahwa musik mampu mendorong kita untuk berdoa. Calvin percaya bahwa yang terpenting dari musik adalah kemampuan emosionalnya. Musik memiliki kemampuan yang tidak hanya menyentuh hati manusia, tetapi juga membakar hati manusia dan membuatnya bergairah dalam memuji Tuhan.
Kita tentu percaya bahwa kehidupan seorang Kristen adalah kehidupan yang memuji Tuhan. C. S. Lewis mengatakan bahwa ketika kita memuji apa yang kita senangi, itu bukan sekadar mengekspresikan perasaan senang itu sendiri, tetapi lebih dari itu karena memuji dapat menyempurnakan perasaan senang itu. Sepasang kekasih sering kali memuji keindahan satu sama lain, karena kesenangan akan yang indah itu menjadi utuh ketika kita mengekspresikannya keluar. Maka, seorang Kristen memuji Tuhan, bukan hanya karena merasa senang kepada Tuhan, tetapi karena dengan memuji Tuhan kita menemukan keutuhan dalam menikmati Tuhan.
Kita melihat ada kaitan yang erat antara musik dan pujian. Agustinus mengatakan bahwa himne harus mengandung tiga unsur, yakni nyanyian, pujian, dan ditujukan kepada Tuhan. Maka, himne seharusnya menjadi hal yang dekat dengan kehidupan kita sebagai orang Kristen. Himne tidak terbatas pada suatu kelompok musik yang diciptakan oleh rohaniwan ratusan tahun lalu. Himne adalah semua musik dan nyanyian yang ditujukan untuk Tuhan. Dengan demikian, himne seharusnya menjadi salah satu hal yang penting dalam kehidupan Kristen, karena kehidupan Kristen adalah kehidupan yang memuji Tuhan. Itulah mengapa bagi Luther musik adalah salah satu hadiah terbesar dari Tuhan di samping Alkitab dan theologi. Hati yang menyanyi dan memuji Tuhan adalah hal yang mendasar, sehingga bagi Calvin, lagu sekuler adalah hal yang sia-sia dan bodoh.
Kalau kita melihat sejarah musik, semua berawal dari gereja. Kita tahu bahwa dalam zaman Medieval, Paus Gregorius I memulai dengan mengumpulkan musik monofoni (satu suara) dan tanpa instrumen, yang biasanya dinyanyikan oleh biarawan/pendeta gereja. Kumpulan musik monofoni tersebut kemudian dikenal sebagai Gregorian chant. Lalu, musik juga berkembang bukan lagi sebagai suatu ekspresi memuji Tuhan, tetapi sebagai suatu hiburan. Dalam kehidupan kerajaan/bangsawan, berkembanglah musik-musik yang mengambil cerita mengenai kehidupan sehari-hari, seperti misalnya kisah kepahlawanan, cinta, atau patah hati, walaupun melodi dan not-not yang digunakan diambil dari musik monofoni gereja. Lama kelamaan, musik sekuler mulai berkembang dengan keinginan bebas dari kehidupan gereja, dan makin mengekspresikan perasaan manusia. Inilah yang dapat menjadi kebahayaan dari musik. Dalam hal mendengarkan, kita menjadi lebih tertarik dengan emosi yang terkandung dalam musiknya. Kita perlu berhati-hati akan musik yang lebih banyak bermain di emosi, atau bahkan emosi yang dangkal. Tidak semua musik sekuler adalah buruk, karena tidak semua musik sekuler bermain dengan emosi yang dangkal. Musik klasik misalnya, para komponis yang tergolong komponis klasik tidak hanya menunjukkan emosinya karena they feel like it, namun mereka mampu membuat sesuatu yang menyakitkan menjadi indah. Contohnya, di dalam opera “The Magic Flute” karya Mozart terdapat sebuah aria yang berjudul “Queen of the Night”. Jika didengarkan sekilas, kita bisa mendapatkan kesan yang cukup semangat dan playful. Padahal dalam ceritanya, aria ini menggambarkan dendam sang ratu yang siap menghunus pedang ke dada anak perempuannya. Tetapi sayang sekali, di era teknologi ini, di mana semua orang dapat membuat musik dan menampilkannya ke khalayak ramai, musik menjadi dangkal, baik secara afeksi yang dibawa dalam melodi dan ritmenya, maupun dalam keindahan syairnya. Maka, Calvin mengatakan bahwa orang Kristen membutuhkan lagu yang tidak hanya jujur, namun juga suci.
Bernyanyi menjadi elemen yang penting dalam kehidupan seorang Kristen. Namun dalam ibadah, tidak selamanya bernyanyi adalah hal yang dapat dilakukan oleh semua orang. Pada zaman Medieval, menyanyikan pujian hanya dilakukan oleh seorang profesional, orang yang terdidik dan terlatih dalam musik dan bernyanyi. Sebagai jemaat, kita cukup duduk manis dan biar jiwa kita saja yang turut memuliakan Tuhan.
Martin Luther memberikan banyak kontribusi terhadap musik gerejawi. Sejak Luther, jemaat mulai menyanyikan pujian dalam bentuk choral. Choral memiliki ritme dan melodi yang kuat, dan menggunakan bahasa daerah, sehingga choral ini dipakai untuk dinyanyikan oleh semua jemaat. Maka, sejak Reformasi, mulailah bermunculan orang-orang yang menulis himne dalam bentuk choral, khususnya di daerah Jerman dan Skandinavia.
Berbeda dengan Luther yang menyanyikan himne dengan berbagai macam teks, tidak hanya teks Alkitab, John Calvin memilih untuk menyanyikan hanya teks-teks yang berasal dari Alkitab. Ini yang sekarang kita kenal sebagai Psalter atau nyanyian Mazmur. Calvin sendiri mengembangkan nyanyian Mazmur yang disebut sebagai Genevan Psalter. Genevan Psalter sendiri mengalami banyak perkembangan yang menarik.
Calvin mulai mengembangkan psalter setelah melihat adanya 2.000 jemaat gereja di Strasbourg pada tahun 1535. Di gereja tersebut ada seorang liturgis yang berperan memimpin paduan suara sekolah yang sebelumnya telah dilatih untuk menyanyikan lagu pujian. Paduan suara ini kemudian berfungsi untuk mendorong jemaat turut bernyanyi bersama. Ini menjadi pengalaman menarik bagi Calvin, karena selama ini, dalam tradisi gereja Katolik Roma, hanya ada paduan suara profesional, yang menyanyikan lagu polifoni (alur suara yang berbeda dari setiap grup) dan berbahasa Latin. Ini akhirnya mendorong Calvin pada tahun 1537 untuk meminta gereja di Jenewa untuk mengajarkan anak-anak mereka lagu gereja yang sederhana. Suara anak-anak memiliki pitch yang lebih tinggi dari orang dewasa. Ini akan membuat orang mudah untuk mendengar suara anak-anak tersebut, dan mulai perlahan-lahan dapat ikut bernyanyi bersama.
Perjalanan Calvin membukukan Genevan Psalter dari tahun 1542 hingga 1562 memberikan kepada kita prinsip-prinsip yang dapat kita gunakan ketika kita sekarang bernyanyi secara komunal di dalam ibadah. Dalam pendahuluan edisi tahun 1543, Calvin menuliskan bahwa menyanyi itu sama dengan berdoa. Dalam ibadah, terdapat tiga elemen yang penting dan mendasar, yakni khotbah, doa, dan sakramen. Ketika menyanyi disamakan dengan berdoa, berarti kegiatan bernyanyi juga adalah kegiatan yang penting dalam ibadah. Kita tidak boleh menganggap bernyanyi sekadar basa-basi di awal, menunggu datangnya menu utama, yakni khotbah. Dalam bernyanyi, kita harus menggunakan baik hati maupun pikiran. Calvin sendiri berpendapat bahwa menyanyikan teks Mazmur dapat lebih mudah menyentuh hati dan pikiran manusia daripada membacakan sebuah frasa dari Institutio miliknya. Maka, ia memulai nyanyian Mazmur ini dengan harapan jemaat juga makin mengerti Alkitab. Ketika dinyanyikan dengan sungguh-sungguh secara bersama-sama sebagai suatu congregation, kita akan mendapatkan pengertian yang lebih mendalam akan teks yang kita nyanyikan. Maka, dalam bernyanyi bersama sebagai suatu jemaat, baiklah kita bernyanyi juga dengan serius.
Congregational singing tentu dapat menimbulkan masalah. Sebagai jemaat awam, kita mungkin merasa ada lagu-lagu yang terlalu sulit untuk dinyanyikan. Mungkin juga kita tidak memiliki kepercayaan diri untuk turut bernyanyi di dalam ibadah, karena kita memang tidak terdidik secara musik. Genevan Psalter sendiri mengalami banyak perubahan. Di tahun 1551, sembilan tahun setelah versi pertamanya, Louis Bourgeois sebagai musical editor menyederhanakan beberapa melodi sehingga lebih intuitif bagi penyanyi dengan kemampuan rata-rata. Misalnya, ia mengubah nilai not hanya ke dalam dua jenis saja, ia menyesuaikan beberapa suku kata dengan melodinya, sehingga ritme-ritme yang dinyanyikan mirip dengan ritme-ritme dalam bahasa Prancis. Himne-himne yang kita nyanyikan sekarang bahkan telah mengalami banyak penyederhanaan. Melodinya tentu sudah lebih sederhana daripada Genevan Psalter karena kita sudah memiliki standar penulisan lagu yang lebih teratur. Lagu-lagu terjemahan seperti dalam Kidung Reformed Injili juga terus-menerus mengalami pembaruan lirik yang disesuaikan dengan melodinya agar lebih mudah dinyanyikan dan dimengerti. Lagu-lagu dengan melodi dan ritme yang terlalu rumit juga sering kali kita tinggalkan dan mencari lagu alternatif dengan tema yang sama. Namun, sebagai orang Kristen yang terus mengalami pertumbuhan, seiring berjalannya waktu, kita juga perlu untuk menambah kemampuan bernyanyi kita sedikit demi sedikit. Bukan karena kita mau terdengar lebih indah dan keren daripada orang di samping kita, tetapi karena kita makin mengasihi Tuhan dan makin rindu untuk memuliakan Tuhan dengan cara-cara yang makin indah dan teratur.
Sebagai jemaat, kita tentu bukanlah orang yang terlatih secara profesional di bidang musik apalagi menyanyi. Mungkin banyak dari antara kita yang tidak mengerti not-not atau bahkan buta nada. Dalam ibadah, apalagi dalam jemaat yang besar dan speaker yang kuat, kadang kita merasa enggan dan malu untuk mengeluarkan suara. Kita merasa kurang layak untuk bernyanyi. Rasanya, orang di samping kita sudah memiliki suara yang cukup indah sehingga tidak perlu ditambah oleh suara kita. Kita harus kembali mengingat bahwa orang Kristen adalah orang yang senantiasa bersukacita dan memuliakan Tuhan, dan bernyanyi membawa kita kepada pengertian yang lebih mendalam akan firman Tuhan. Maka, dengan cukup percaya diri kita dapat turut menyembah Tuhan dengan bernyanyi bersama sebagai satu jemaat, karena kita memang bernyanyi untuk menyembah Tuhan dan bukan manusia. Kita bukan sedang berlomba-lomba menyanyikan pujian dengan indah. Justru dengan adanya orang-orang yang terlatih secara musik dan memiliki suara indah harusnya mendorong kita untuk juga ikut bernyanyi dan memuji Tuhan.
Maka, marilah kita sebagai orang Kristen, menjadi seorang yang senantiasa bernyanyi, baik dalam kehidupan sehari-hari kita maupun kehidupan berjemaat. Bernyanyi untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam akan firman Tuhan, sehingga kita makin terdorong lagi untuk menyanyi dan memuliakan Tuhan, baik dalam kehidupan sehari-hari kita, maupun dalam ibadah kita.
Eunice Girsang
Pemudi FIRES