Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa inipun dari tangan Allah. Karena siapa dapat makan dan merasakan kenikmatan di luar Dia? (Pkh. 2:24-25)
Introduksi
Dalam bagian pembuka ini, penulis ingin memberikan sedikit konteks dan limitasi ekspektasi terkait artikel ini. Penulis adalah seorang penikmat seni lukisan dan pelukis amatir. Dalam perkembangan pengalaman, penulis pernah berkunjung ke berbagai museum dan juga menuliskan artikel dan buku terkait lukisan. Beberapa bagian dalam artikel ini juga diambil dari tulisan-tulisan tersebut (misalnya, bagian mengenai konteks pelukis dan lukisan, interpretasi lukisan). Paul Cezanne sendiri bukanlah pelukis yang sangat terkenal (dalam konteks Asia), apalagi jika dibandingkan dengan sosok seperti Da Vinci, Van Gogh, Raffaello (Raphael), atau Picasso. Namun bagi penulis, Cezanne adalah seorang pelukis yang paling berkesan. Karyanya yang berjudul The Card Players terus memberikan inspirasi dan perenungan bagi penulis. Semoga artikel pendek ini bisa menjadi berkat dan memicu kecintaan pembaca terhadap seni. Terlebih lagi, sebagai orang Kristen, kita bisa melihat aspek seni (atau estetika) sebagai aspek (domain atau ranah) yang Tuhan anugerahkan kepada manusia untuk dinikmati dan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Konteks Pelukis dan Lukisan
Paul Cézanne adalah seorang pelukis Prancis yang meletakkan dasar perubahan besar dari gaya lukisan abad ke-19 menuju abad ke-20. Dengan gaya pasca-Impresionisme yang begitu khas, goresan kuasnya sangat berkarakter dan mudah dikenali. Dengan keunikan ini, karya-karya Cézanne seolah-olah tidak dilukis, tetapi bagaikan bangunan yang dirancang dan dibangun dengan arsitektur yang begitu megah. Karya-karya awalnya didominasi oleh lukisan pemandangan. Dalam perkembangannya, Cézanne berusaha keras agar karya-karyanya merefleksikan daya observasi atau analisis yang khas dan mendalam.
Dalam masa-masa yang lebih matang, bahkan gambar sebuah apel yang sederhana merepresentasikan elemen struktural dan analisis properti yang begitu teliti. Ketika masih hidup, karya-karyanya tidak terlalu mendapat sambutan yang baik. Pelukis-pelukis aliran Impresionisme cenderung memberikan kritik tajam dan bahkan mengolok-olok. Meskipun demikian, ia memiliki pengaruh signifikan terhadap pelukis-pelukis setelahnya. Matisse dan Picasso sendiri mengakui bahwa Cézanne-lah yang menjadi “bapa” mereka.
The Card Players merupakan salah satu karya Cézanne yang paling terkenal. Lukisan ini memiliki berbagai macam versi dengan variasi ukuran dan jumlah subjek dalam lukisan. Jumlah subjek yang dilukisnya makin berkurang pada versi-versi ke belakang, demikian pula dengan ekspresi emosi dan kombinasi warna yang digunakannya. Versi yang dianggap paling baik dan matang adalah yang kini tersimpan di Musée d’Orsay. Dalam lukisan ini, terlihat dua orang pria yang sedang bermain kartu dengan begitu hening, serius, dan sekaligus misterius; suatu suasana permainan kartu yang tanpa pertukaran tatapan mata, tanpa interaksi, tanpa sepatah kata pun yang terlontar di antara mereka. Ekspresi wajah dan bahasa tubuh mereka seolah-olah hilang tertelan momen-momen kontemplatif dalam permainan ini. Suasana meditatif mendalam dan keheningan monumental terpancar kuat dalam karya ini.
Interpretasi Lukisan
Jika dilihat sepintas, lukisan ini sepertinya begitu simetris dan seimbang. Dua sosok pria duduk berhadapan di sisi kiri dan kanan, juga sebuah meja berdiri kokoh di tengah lukisan, lengkap dengan sehelai taplak sederhana dan sebotol minuman anggur. Namun, jika diperhatikan dengan lebih saksama, ada unsur-unsur paradoks yang membuat lukisan ini menarik. “Keseimbangan” tadi ternyata tidak benar-benar seimbang. Meja tersebut justru agak miring dan digores dengan garis-garis yang bengkok. Tidak ada garis yang benar-benar lurus dalam seluruh lukisan, bahkan termasuk kaca yang terletak di belakang. Warna latar belakang yang gelap dan agak kabur menambah intens suasana misterius dan kontemplatif lukisan ini.
Kritikus-kritikus seni kerap memberikan istilah “human still life” untuk lukisan ini. Sangat berbeda dengan lukisan-lukisan lain mengenai permainan kartu yang sangat sarat unsur keserakahan, kemabukan, pesta pora, luapan emosi, paradigma menang-kalah, dan dominasi materi, lukisan ini justru tidak menghadirkan unsur-unsur tersebut. Yang tersaji di meja hanyalah sebotol anggur, tanpa gelas yang bisa digunakan untuk meminumnya. Uang taruhan juga sama sekali tidak terlihat di atas meja. Dari ekspresi kedua pria yang tersimpan rapat, sulit dikatakan siapa yang unggul dan siapa yang kalah dalam kesengitan permainan ini. Elemen-elemen ini sekali lagi memberikan penekanan kuat terhadap aspek meditatif, sekaligus pengendalian keinginan dan nafsu.
Kenikmatan dan Moderasi
Bagi penulis, lukisan The Card Players masuk dalam tiga lukisan yang paling disukai. Makna dan perenungan terkait lukisan ini tidak bosan-bosan untuk terus dihayati. Salah satu aspek yang sama-sama bisa kita renungkan dan kaitkan dalam konteks hidup kita sekarang adalah mengenai “kenikmatan dan moderasi”. Tentu kita tidak usah membahas lagi kasus-kasus kenikmatan “tanpa batas”, kebebasan liar, hedonisme ekstrem, dan pameran kekayaan berlebihan yang sepertinya sering kita lihat dalam konteks iklan atau media sosial. Apalagi kalau kita mendengar hal-hal seperti anggur (baca: alkohol), atau permainan kartu (baca: judi, yang juga erat kaitannya dengan narkoba dan seks liar), pasti ada bayangan negatif, pesta pora, dan keliaran yang langsung muncul di kepala kita.
Justru inilah keindahan dan keunikkan dari lukisan The Card Players! Meskipun simbol-simbol mengenai anggur dan permainan kartu terlihat jelas di dalam lukisan, namun sama sekali tidak ada kesan kenikmatan berlebihan maupun keliaran. Justru sebaliknya, yang dapat dirasakan jelas adalah suasana khusyuk, kontemplatif, dan hening. Penulis menilai adanya penekanan yang begitu kuat mengenai pengendalian diri dan moderasi. Kenikmatan dapat dihayati secara tepat dan proporsional, tanpa harus berlarut-larut ataupun berlebihan. Lebih jauh lagi, kenikmatan-kenikmatan bisa membawa kita ke dalam suasana perenungan, kontemplasi, bahkan ibadah (aspek religi).
Dari perspektif Alkitab, sudah jelas bahwa Allah tidak melarang kenikmatan. Bahkan aspek kenikmatan, keindahan, dan estetika adalah hal-hal yang Tuhan ciptakan. Sesuai Kitab Pengkhotbah, kesempatan bisa menikmati juga merupakan anugerah dari Tuhan. Sudah sewajarnya manusia dapat menikmati keseluruhan ciptaan (baca: makan, minum, jalan-jalan) dan tetap menghayati hal-hal tersebut dengan bertanggung jawab di hadapan Tuhan. Lebih jauh lagi, orang Kristen juga sadar bahwa dalam hati terdalam setiap manusia, ada sebuah kekosongan atau “erangan akan kenikmatan” yang tidak dapat diisi oleh kenikmatan apa pun. Suatu kekosongan yang hanya bisa diisi oleh Pribadi Tuhan sendiri.
Semoga melalui artikel singkat ini, pembaca Buletin PILLAR dapat menikmati aspek-aspek kenikmatan (dalam ciptaan) yang Tuhan sudah anugerahkan dalam kehidupan kita, dan terlebih lagi, menikmati Pribadi Tuhan sendiri, yang sudah berinkarnasi dan memberikan diri-Nya untuk kita.
The law of the Lord is perfect,
Converting the soul;
The testimony of the Lord is sure,
Making wise the simple.
More to be desired are they than gold.
Yea, than much fine gold:
Sweeter also than honey
And the honeycomb.
(Hymn: The Law of the Lord is Perfect)
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Editorial PILLAR
Pengasuh rubrik: iman dan pekerjaan (faith & vocation)
Bacaan & eksplorasi lebih jauh:
50 Lukisan Agung dan Makna di dalamnya: https://www.goodreads.com/id/book/show/34867558