Baru-baru ini media massa ramai memberitakan tentang lukisan The Scream yang memecahkan rekor lukisan termahal dunia senilai hampir 120 juta dolar di rumah lelang Sotheby’s New York. Sebagai penikmat seni yang amatir, Google banyak membantu saya mendapatkan beberapa akses untuk mempelajari sedikit tentang lukisan adikarya Edvard Munch (1863–1944) tersebut. Siapa Edvard Munch?
Pelukis kelahiran Norwegia ini hidup sezaman dengan pelukis terkenal yang juga sekaligus temannya yaitu Paul Gauguin. Selain dengan Gauguin, Munch juga hidup sezaman dengan Nietzsche, zaman yang ditandai dengan semangat modernisme.
Latar belakang hidup pelukis ini kurang menyenangkan. Ibunya meninggal karena tuberkulosis waktu ia masih berusia 5 tahun, lalu ia kehilangan saudara perempuannya saat berumur 14 tahun. Ketika ia berumur 25 tahun, ayahnya meninggal dunia. Tidak lama setelah itu, saudara perempuan satu-satunya, Laura, mengalami depresi berat dan masuk rumah sakit jiwa. Bagi Munch, hidupnya dikelilingi dengan tanda-tanda kematian. Mungkin latar belakang yang demikian menjadi salah satu alasan mengapa Munch melihat seni sebagai sebuah pengalaman pribadi. Seni menjadi medium untuk menjelaskan tentang hidup dan maknanya bagi dirinya sendiri. Dan mungkin latar belakang itu pula yang membuatnya memilih gaya ekspresionis dalam melukis.
Munch suka menggunakan bentuk yang terdistorsi untuk menggambarkan keadaaan jiwa manusia dan warna-warna yang sangat kontras untuk mengungkapkan kecemasan dan keterasingan jiwa manusia modern. Gambar yang memiliki makna yang kuat seperti The Scream. Lukisan Munch yang sangat terkenal ini melukiskan sebuah figur menyerupai tengkorak sedang menyeberang jembatan (menghadap ke arah pengunjung) dengan menutup kupingnya dan berteriak menyatakan kegalauan jiwanya. Di latar belakang ada dua figur yang berjalan ke arah yang berlawanan dengan sikap seolah tidak sadar atau tidak peduli terhadap teriakan yang seolah merobek cakrawala itu. Munch mengubah lanskap matahari terbenam yang tenang menjadi sebuah kesatuan yang menggemakan nada tinggi (teriakan) yang berasal dari kepala yang sedang tenggelam dalam sebuah swirling form.
Beberapa pengamat dan kritikus seni melihat lukisan ini sebagai ekspresi dari pengalaman batin yang menakutkan. Pemandangan matahari terbenam seharusnya merupakan pemandangan yang indah tetapi dalam pandangan Munch berubah menjadi pemandangan yang sangat menakutkan. Munch memang sedang mengalami depresi berat saat mengerjakan lukisan ini seperti dituliskannya dalam catatan hariannya mengenai latar belakang pembuatan The Scream.
“I was walking along the road with two friends. The sun was setting. I felt a breath of melancholy – Suddenly the sky turned blood-red. I stopped, and leaned against the railing, deathly tired – Looking out across the flaming clouds that hung like blood and a sword over the blue-black fjord and town. My friends walked on – I stood there, trembling with fear. And I sensed a great, infinite scream pass through nature.” (Munch, 1892).
Lukisan ini kemudian menjadi ikon budaya populer yang dipakai dalam beberapa film, lukisan pop Andy Warhol, film kartun The Simpsons, dan berbagai acara televisi serta iklan. Hal ini tidak terlalu mengherankan karena semangat zaman budaya populer berusaha menjadikan hampir seluruh aspek hidup termasuk seni menjadi komoditas. Itu pula sebabnya The Scream ikut menjadi bagian dari ekonomi kapitalisme.
Dalam pandangan awam saya, konteks zaman Munch yang sejalan dengan semangat zaman dewasa ini yang membuat karyanya dihargai sangat tinggi. Selain karena karya adiluhung telah menjadi komoditas karena dianggap sebagai salah satu investasi berharga kalangan super kaya, memahami The Scream tidaklah serumit memahami Monalisa karya Leonardo da Vinci misalnya. Ditambah lagi cerita yang membidani karya seni ini senafas dengan kebudayaan dewasa ini, wajarlah jika lukisan ini kemudian menjadi ikon budaya populer. Singkatnya, lukisan Munch sejalan dengan konteks zaman ini, baik dari visualisasi lukisan maupun dari cerita di belakangnya. Tetapi seperti juga dengan karya seni yang sebelumnya, setelah ini saya percaya akan muncul karya seni lain yang akan menandingi rekor penjualan The Scream.
Di atas saya menyinggung bahwa cerita di balik The Scream menjadi salah satu kunci ketenaran lukisan ini. Sepanjang zaman manusia memang menyukai cerita, karena hidup kita memang dijalin di dalam cerita, seperti judul buku dari Richard Pratt, He Gave Us Stories. Tuhan menjadikan dunia ini dan segala isinya di dalam sebuah rangkaian cerita. Hidup kita lahir dan berjalan serta akan berakhir dalam sebuah cerita. Tetapi cerita hidup kita tidak bisa berjalan sendirian, selalu terkait dengan cerita Tuhan. Munch mungkin tidak pernah membayangkan bahwa lukisannya dijual begitu mahal bahkan sampai memecahkan rekor. Ia mungkin hanya bermaksud menyampaikan apa yang menjadi pergulatan batinnya dengan jujur dalam kisah hidupnya yang kelam.
Masih ingatkah Anda bahwa setiap kita memiliki kisah yang kelam? Silakan membaca Efesus 2:1-4 untuk memastikan hal itu. Tetapi seperti akhir kisah film Hollywood, kita semua merindukan akhir yang bahagia untuk selamanya. Injil anugerah telah memastikan hal itu. Pertanyaan saya adalah sungguhkah cerita hidup kita berpadanan dengan kisah Injil? Bagi saya, Munch dan Nietzsche yang hidup sezaman dengannya, telah berusaha untuk dengan jujur menyatakan pergulatan kisah mereka, terlepas dari apakah hal itu berasal dari kebodohan dan keangkuhan. Anda? Jujurkah Anda dalam menorehkan kisah pergulatan hidup agar sepadan dengan Injil anugerah? Jangan-jangan Munch lebih jujur…
Ev. Maya Sianturi
Pembina Remaja GRII Pusat
Kepala SMAK Calvin