Theologi Reformed dan Apresiasi Seni

Di dalam perjalanan sejarah gereja, seni terus mengalami masa pasang naik turun dengan beberapa perubahan signifikan terjadi di dalamnya. Hal ini bisa kita lihat mulai dari masa sebelum Reformasi terjadi. Gereja Barat yang diwakili gereja Katolik, memiliki nuansa ibadah yang sangat kental dengan seni. Ketika terjadi Reformasi, bukan hanya ajaran dan doktrin saja yang mengalami perubahan di dalam gereja Protestan, tetapi juga aspek seni ini. Berbagai usaha menghancurkan patung-patung di dalam gereja, yang dikenal sebagai iconoclasm, membuat gereja Protestan khususnya Calvinisme, terkesan sebagai gereja yang anti terhadap seni. Sekalipun karya seni seperti lukisan tidak mengalami banyak serangan, namun dalam perjalanannya karya seni ini pun tidak lagi menjadi hal yang diperhatikan di dalam gereja Protestan. Lantas, apakah benar Calvinisme anti terhadap seni? Bagaimana sebenarnya Theologi Reformed memandang seni?

Apa Itu Seni?
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), seni adalah keahlian membuat karya yang bermutu atau karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa. Berdasarkan pengertian ini bisa kita katakan bahwa tidak semua orang dapat menciptakan karya seni. Sebab untuk menciptakan karya seni, seseorang harus memiliki keahlian khusus yang sesuai dengan bidang seni yang ingin diciptakannya. Keahlian atau kemampuan tersebut tentu saja didapatkan melalui proses belajar dan berlatih. Seorang seniman mungkin tidak memerlukan waktu yang lama untuk menghasilkan karya seni yang indah karena memiliki bakat, seorang seniman yang lain mungkin memerlukan waktu dan pengalaman yang banyak untuk menghasilkan karya seni yang indah. Tetapi, proses mana pun yang dilalui, sebuah karya seni pasti dihasilkan oleh seseorang yang memiliki kemampuan khusus di dalam bidang seni tersebut. Pemahaman ini penting untuk kita pegang agar kita tidak sembarangan menerima sebuah karya yang dibuat orang lain dan kita anggap sebagai seni tanpa melihat latar belakang orang yang membuatnya. Apalagi karya seni tersebut adalah karya yang akan kita bawa ke dalam ibadah gereja, baik musik maupun seni lainnya.

Di dalam Alkitab, seni sangat erat hubungannya dengan ekspresi manusia untuk berelasi dengan Tuhan. Daud sebagai pemazmur menggunakan seni musik dan syair untuk memuji Tuhan, menyatakan keluh kesah, dan untuk menaikkan doa. Ketika Tabut Perjanjian dibawa masuk ke dalam Yerusalem, Daud menggunakan seni tari untuk menyatakan sukacitanya dan memuji Allah (2Sam. 6:14). Kemudian ketika Salomo membangun Bait Allah, bangunan Bait Allah dipenuhi dengan ornamen-ornamen yang sangat indah. Dinding-dinding Bait Allah diukir dengan gambar kerub, pohon kurma, dan bunga mengembang (1Raj. 6:29). Berbagai perabotan dibentuk sedemikian rupa dengan keindahan yang luar biasa. Belum lagi 2 buah patung kerub yang sayapnya membentang sepanjang lebar Bait Allah.

Uniknya, karya seni pertama yang tercatat dibuat di dalam Alkitab justru diperintahkan oleh Allah sendiri, yaitu ketika Musa diperintahkan untuk membangun Kemah Suci beserta dengan berbagai perabotnya dengan bentuk yang sama seperti yang diperlihatkan oleh Allah. Jadi, jelas bahwa Allah tidak menentang melainkan Ia berkenan dengan karya seni yang dibuat oleh manusia untuk memuliakan Allah. Tetapi harus kita ingat bahwa seni hanyalah alat untuk menunjukkan kemuliaan Allah. Ketika kita kehilangan pengertian ini dan lebih kagum terhadap keagungan karya seni ketimbang kemuliaan Allah yang ditampilkannya, maka kita telah jatuh kepada penyembahan berhala. Seperti yang terjadi pada bangsa Israel, ketika mereka menyembah patung ular tembaga yang seharusnya mengingatkan mereka kepada pemeliharaan Allah di padang gurun, maka patung ular tersebut dihancurkan karena tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya (2Raj. 18:4).

Pandangan John Calvin mengenai Seni
Sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Alkitab, Calvin pun tidak anti terhadap seni. Abraham Kuyper di dalam bukunya berjudul “Calvinism and Art” mengatakan bahwa Calvinisme memberikan sebuah cara pandang terhadap seni yang menginspirasi para seniman untuk menginterpretasi dunia dengan cara tertentu. Menurut Kuyper, inspirasi tersebut muncul oleh karena cara pandang Calvin terhadap peristiwa penciptaan di dalam Alkitab. Menurutnya, para seniman dipanggil untuk menemukan keindahan di dalam bentuk alami, memperkaya keindahan tersebut dengan pengetahuan yang lebih tinggi, dan menghasilkan sebuah dunia yang indah yang melebihi keindahan natural. Panggilan ini sesuai dengan pengertian seni yang dibahas sebelumnya, bahwa untuk membuat karya seni dibutuhkan sebuah keahlian khusus. Maka di dalam hal ini, keahlian khusus tersebut mencakup pengetahuan yang lebih tinggi. Seni yang baik yang dapat digunakan untuk memuliakan Tuhan tidak hanya dibuat berdasarkan keterampilan tetapi juga pengetahuan yang tinggi, baik dalam bidang seni tersebut maupun dalam bidang theologi. Maka dari itu, tidak semua orang dapat menghasilkan lukisan yang indah dan dapat diinterpretasikan dengan baik untuk memuliakan Tuhan. Demikian juga, tidak semua orang dapat menghasilkan musik indah dan agung yang dapat dipakai untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Berdasarkan panggilan seorang seniman yang dijelaskan Kuyper, karya seni juga berperan untuk mengingatkan kita bahwa kita sedang hidup di dalam dunia yang telah terkutuk dan bahwa ada pengharapan yang telah diberikan bagi kita untuk hidup di dunia yang akan disempurnakan di dalam kedatangan Kristus yang kedua.

John Calvin tidak hanya memberikan inspirasi kepada para seniman melalui theologinya, tetapi juga membebaskan para seniman dari kurungan gereja pada saat itu. Masa sebelum Reformasi, karya seni yang dibuat di luar konteks gereja dan ibadah dianggap sebagai seni rendahan. Tentu saja hal ini membuat seniman hanya mengerjakan karya seni untuk gereja dan akhirnya mereka seperti menjadi budak-budak gereja. Tetapi Reformasi telah membuat para seniman Protestan menjadi lebih bebas dalam berekspresi dan menghasilkan karya seni. Lalu apakah karya seni yang dibuat di luar konteks gereja tidak lagi memuliakan Tuhan? Tidak. Justru ketika seni dikurung oleh konteks gereja saja, karya seni menjadi sempit dan terbatas kelimpahannya. Seni yang berlimpah dan luas adalah seni yang dapat menggunakan seluruh bagian dunia sebagai inspirasi untuk menciptakan keindahan yang transenden. Toh, seperti yang Calvin katakan bahwa tidak ada bagian dari dunia ini yang tidak menunjukkan kemuliaan Allah. Dunia ini seperti panggung pertunjukan yang mempertontonkan kemuliaan dan kebesaran Allah. Selain itu, karena para seniman lebih leluasa menginterpretasikan ciptaan Tuhan, maka sebuah karya seni menjadi lebih relevan dengan masyarakat. Bukan hanya karena karya seni tersebut dibuat berdasarkan hal-hal di sekitar, tetapi juga karena seniman tersebut menjadi wakil dari orang-orang sezamannya sehingga karya seni yang dihasilkan akan sesuai dengan konteks zaman yang sedang dihadapi. Sekalipun gereja tidak lagi membatasi seni, gereja tetap dapat membentuk genre seni tersendiri yang berpusat pada kisah Alkitab. Tetapi genre ini tidak lagi menjadi satu-satunya, melainkan salah satu bagian genre dalam seni yang utuh dan yang harus menceritakan kemuliaan Allah dari pelbagai aspek.

Pandangan Abraham Kuyper mengenai Seni
Abraham Kuyper sendiri punya pandangan yang unik mengenai seni. Dia mengatakan, “The arts exist to elevate the Beautiful and the Sublime in its eternal significance.” Menarik untuk diperhatikan, Kuyper menggunakan awalan huruf kapital untuk menuliskan Beautiful (Keindahan) dan Sublime (Mahamulia) yang menunjukkan bahwa kedua kata tersebut tidak hanya sedang menggambarkan suatu sifat saja, tetapi juga sedang menunjuk kepada Pribadi.

Seni ada bukan hanya untuk menunjukkan keindahan dan keagungan dunia tetapi keindahan dan keagungan Allah yang menciptakan dunia ini. Seni adalah salah satu pemberian Tuhan yang paling melimpah kepada umat manusia. Kuyper percaya seni mempunyai peranan dalam membantu membangun kerohanian yang tepat sehingga membantu kita sebagai jemaat untuk menyadari manfaat atau pentingnya agama yang sejati. Walaupun begitu, Kuyper tetap menentang kecenderungan untuk membuang pembentukan kerohanian yang demikian hanya karena kecintaan terhadap seni yang berlebihan. Kecintaan terhadap seni yang berlebihan inilah yang membuat gereja Protestan mula-mula melakukan aksi ikonoklasme. Banyak praktik ibadah saat itu yang lebih condong kepada penyembahan berhala. Oleh karena itu, untuk mencegah hal yang sama terjadi, jemaat gereja Protestan melakukan pembersihan patung-patung dari dalam gereja.

Theologi Reformed dan Seni di dalam Konteks Postmodernisme
Kewaspadaan yang sama juga harus dimiliki oleh diri kita sebagai umat Tuhan di dalam zaman ini. Kita memang lebih sulit untuk jatuh kepada kesalahan praktik penyembahan patung karena gereja-gereja Protestan saat ini sangat jarang menggunakan ornamen patung di dalam gedung gereja. Tetapi kita sangat rawan untuk jatuh di dalam aspek musik. Musik adalah alat yang kita gunakan di dalam ibadah untuk mempermudah kita memuji Tuhan secara komunal. Ketika kita bernyanyi, maka kita harus menghayati setiap kata di dalam pujian yang kita nyanyikan karena kata-kata tersebutlah yang menjadi isi doa kita kepada Tuhan. Jangan sampai kita terlalu menikmati alunan musik tersebut sehingga kita tidak lagi fokus mengucapkan setiap syair pujian. Kita harus sanggup membedakan antara syair, respons, atau bahkan doa kita melalui nyanyian tersebut dan alunan musik yang bersifat iringan. Kita harus sanggup membedakan antara menyenangkan jiwa kita melalui alunan musiknya atau menyenangkan Tuhan melalui respons kita yang benar di hadapan-Nya.

Dalam zaman Postmodern ini, kita harus berhati-hati terhadap semangat penilaian estetikanya yang terfragmentasi. Kita diajar untuk menikmati suatu karya seni tidak secara utuh, tetapi hanya melihat bagian tertentu saja, dan menikmati fragmen itu, lalu memberikan penilaian akan karya seni tersebut berdasarkan standar penilaian diri kita yang subjektif. Kalau di dalam konteks musik, sering kali suatu lagu dinilai dari aspek alunan melodinya yang bisa memberikan perasaan “feel good” atau tidak.

Di satu sisi, keahlian atau kepiawaian hasil karya seni dari manusia harus kita hargai dan kita syukuri. Karena keahlian ini pun adalah anugerah Tuhan. Tetapi kita harus berhati-hati agar tidak terbawa untuk menikmati seni secara instan dan parsial. Di dalam Theologi Reformed kita diajarkan untuk melihat kebenaran di dalam keutuhan dan keluasan, hal ini berlaku juga dalam bidang seni. Kita harus melihat seni itu di dalam keutuhan dan keluasannya. Melihat karya itu bukan hanya untuk dinikmati secara parsial. Di dalam keluasan kebenaran, kita diajak untuk mengapresiasi seni baik di luar maupun di dalam gereja. Tetapi dengan keutuhan kita diajak untuk menikmati seni secara komprehensif di dalam relasinya dengan Allah.

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa Theologi Reformed tidak hanya memperbolehkan dan mendukung seni, tetapi juga telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan seni di dalam sejarah umat manusia. Memang tidak bisa kita pungkiri bahwa diperlukan waktu agar seni dapat diterima sepenuhnya setelah terjadinya ikonoklasme. Kita bersyukur di zaman ini Tuhan mengizinkan di dalam Gerakan Reformed Injili kita terus didorong dalam mempelajari seni dan terus mengembangkannya demi kemuliaan Allah yang kita sembah.

Deddy Welsan
Pemuda GRII Bandung

Referensi:
Calvin and Culture: Exploring a Worldview, Edited by David W. Hall, Marvin Padgett.